By : Ismail Asso*
Pendahuluan
Guna refleksi untuk kita semua, saya mau kutip, Syafi’i Ma’arif, Mantan ketua PP Muhammadiyah, seorang sejarawan pemikir, pada seminar oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI). Dalam makalah judul : “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia Perspektif Islam”. Syafi’i mendefinisikan PENJAJAHAN, mengutip Mostafa Rejai : ‘Nasionalism, East and West’ dari buku : ‘Ideologies and modern politics’, dalam Reo M Cristenson dkk, saya kutip :
“Kita baru saja merayakan Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI ke 50, setelah kita hidup dalam suasana penjajahan dan penindasan oleh berbagai kekuasaan asing dalam kurun waktu yang cukup lama. Sistem penjajahan adalah system eksploitatif dan destruktif. Rakyat terjajah diperlakukan sebagai sub-human, bukan sebagai manusia penuh. Alangkah keji dan kejamnya system serupa itu. Kolonialisme pada stadium ketiga; nasionalisme ekspansive. Pada stadium ini suatu bangsa melakukan aneksasi atau penaklukan terhadap negeri atau negeri-negeri lain. Imprealisme menampakkan berbagai bentuk : politik, ekonomi, dan cultural, dengan watak utamanya dominasi dan eksploitasi oleh suatu bangsa atas bangsa lain”.
Bagaimana dengan nasib bangsa yang belum Merdeka? Kita hidup dalam alam Negara merdeka berdaulat penuh seperti Indonesia. Bagaimana bangsa yang belum berdaulat penuh secara politik, ekonomi dan budaya? Lebih lanjut Ma’arif angkat masalah substansial tentang identitas :
“Pada akhir abad ke-20 ini dominasi militer dan politik secara terangan-terangan hampir-hampir telah berlalu, sedangkan dominasi ekonomi dan cultural dari suatu bangsa terhadap bangsa lain masih kita rasakan. Khususnya imprealisme cultural, itu pasti akan menimbulkan roses brain-washing atas kebudayaan suatu bangsa yang tidak memiliki sendi-sendi jati diri yang tangguh. Padahal, bangsa yang benar-benar merdeka adalah bangsa yang berdaulat lahir batin, kedalam dan keluar. Indonesia secara militer dan politik telah merdeka 100%, sementara dibidang ekonomi dan budaya kita berada dalam tahap ujian yang cukup berat”.
Saya kutip agak panjang tapi kita sulit membayangkan kalau paparan Syafi’i diatas ada dalam alam nyata Papua sesungguhnya. Malah Papua lebih gawat dari paparan Ma’arif. Mengingat Papua sepenuhnya secara politik, militer, ekonomi dan budaya belum berdaulat penuh. Bagaimana Ma’arif bisa membayangkan jika dia tidak pernah menjadi orang Papua? Papua sesungguhnya sudah diambang kehancuran menuju proses genosida (kepunahan).
Soal Integrasi Dalam Perdebatan
Tahun 2009 terbit buku tipis kecil rangkuman wawancara tokoh tidak refresentatif Papua judul : “Integrasi Sudah Selesai, Komentar Tokoh atas Papua Road Map”. Buku sederhana itu isinya lebih sebagai rekayasa kalau bukan pseudo kebenaran. Tujuanya indoktrinasi dan brain washing karena buku “jelek” itu dibedah ditengah mahasiswa Papua diberbagai kota study seluruh Indonesia oleh penyunting. Proyek brain washing itu agaknya disponsori (didanai) Pusat (Menkopolhukam RI?) dari dana khusus untuk -mengatasi penyakit ketakutan (paranoide) -menghambat gerakan Papua Merdeka. Redaksi isi buku dikemas sedemikian rupa sesuai keinginan bukan kebenaran sebenarnya pikiran tokoh diwawancarai, malah bagian-bagian tertentu inti isi dari buku itu disesuaikan sesui tujuan dan hasrat penyunting.
Karena begitu kebenaran fakta wajib dibuang, yang itu sebenarnya inti dari pikiran tokoh Papua yang diwawancarai sebagai nara sumber oleh penyunting. Buku tipis sederhana disunting Agus Edy Santoso, diterbitkan Pusat Study Nusantara itu wawancara tokoh dipilih, difilter agar steril, kalau ada sengaja dipotong dan dibuang agar lebih sesuai dengan keinginan kelanggengan kolonialisme. Akhirnya buku itu lebih sebagai rasa ketakutan atas temuan ilmiah melalui penelitian LIPI judul : “Road Map Papua”, Muridan dkk (LIPI, 2008) yang merekomendasikan kepada pemerintah pusat agar perlu dilakukan dialog pelurusan sejarah integrasi Papua kedalam NKRI.
Sebagai anti tesis pembohongan public pihak anti HAM dan demokrasi oleh kaki tangan kolonialisme melalui kampanye buku itu dilawan Pendeta Socrates Yoman. Karena muncul buku tandingan sebagai countre balance ditulis Socrates dengan judul : “Integrasi Belum Selesai”. Buku ini membantah seluruh isi buku diatas sekaligus membeberkan fakta baru yang itu lama dan sering disembunyikan penguasa atau mau disembunyikan penyunting buku “Integrasi Sudah Selesai” tanpa bisa terbantah lagi.
Hal itu semakin membuka mata kita semua, kedok kebohongan inteligen Negara, sekaligus membantah seluruh isi buku manipulasi secara intelektual tapi kurang intelektual itu. Buku tandingan anti tesis judul : “Integrasi Papua Belum Selesai” diterbitkan selang beberapa waktu kemudian. Karya intellectual anak koteka yang biasa buat kuping merah penguasa atas semua manipulasi ketidakadilan dan kebohongan itu dilakukannya semata-mata hanya, sebagaimana pengakuannya sendiri, selama ini diketahui umum, dia sebagai hamba Tuhan bicara lugas dan itu semata hanya menyampaikan, “suara Umat/Gereja”.
Tandingan judul buku Socrates itu meruntuhkan manipulasi fakta oleh penguasa. Pendeta Socrates secara tidak langsung mendukung Dialog Nasional yang digagas rekan se-‘koteka’-nya, Neles Tebay, sebagai sintesa, dari buku anti tesis Muridan dkk dari LIPI yang merekomendasikan pentingnya dialog Papua-Jakarta. Buku Tebay elaborasi rekomendasi LIPI dan dia mengemukakan gagasanya dalam bentuk buku tipis. Pertarungan intellectual demikian menjadi ramai dan babak baru perjuangan mewarnai sepanjang 10 tahun terakhir sejak tahun 2000 sampai kedepan ini.
Pembohongan public dan rekayasa politik demikian hanya sanggup bertahan beberapa waktu untuk selanjutnya system politik seperti itu runtuh dan hancur karena ketinggalan zaman. Praktek pemerintahan Negara seperti itu hanya menungu waktu hancur berkeping-keping, akhirnya jadi beberapa negara karena dunia kini dan kedepan kontruksi pikiran orang lebih ditentukan oleh kesadaran kesamaan budaya dan agama bukan lagi nasionalisme ideaologi totaliter tertutup seperti Unisoviet bangkrut akhirnya bubar.
Hal itu terbukti negara Adidaya, Uni Soviet, atas penguasaannya bangsa Eropa Timur, pada akhirnya ideology totaliter seperti itu pada akhirnya runtuh hancur berkeping-keping tersisa hanya Rusia. Samuel P Huntington, ‘Benturan Peradaban’ (class of civilization, 1995) yang bukunya banyak mendapat sorotan kritikan karena prediksi pasca runtuhnya Uni Soviet, musuh baru yang paling mungkin patut diwaspadai Amerika selanjutnya adalah ideologi Islam. Mengapa Osama bin Laden dan Al-Qoidah tujuan utama politik Amerika menjadi prioritas harus dihancurkan? Jawabannya ideology Islam paling mungkin muncul pesaing pasca Komunisme Uni Soviet.
Dari paparan ini patut diperhatikan untuk dimengerti bahwa salah satu negara diambang perpecahan menjadi beberapa Negara kata Huntinton dalam bukunya itu adalah Indonesia. Karena seperti Soviet, ideologi Negara kesatuan seperti Indonesia itu bisa, akhirnya bakal bubar selanjutnya berdiri sendiri membentuk pemerintahan melalui pemilu secara demokratis untuk pertama kalinya sebagaimana itu terjadi pada negara-negara bekas Uni Soviet dan Yogoslavia kemudian telah membuktikan kenyataan ini benar adanya.
Urgensi Integrasi Internal
Dalam judul ini saya mau vocuskan pembahasan soal integrasi dalam arti luas, yakni pembauran dan pergaulan antar sesama warga Papua secara internal (kedalam) dulu sebelum kembali untuk memasuki pembahasan eksternal ke yang lain. Karenanya tema pembahasan kita kali ini terkait erat dengan pentingnya integrasi internal warga pribumi Papua (orang Papua asli?) dengan “Amber”, urban (orang Papua pendatang?) yang senantiasa belum selesai- yang kini ada dalam persimpangan jalan. Hal itu terutama dalam menghadapi isu-isu keadilan, kebenaran dan kemanusian. Selama ini didapati kenyataan ada gap cultural dalam beradaptasi secara emotional kedua cultur antar sesama warga masyarakat Papua pribumi dan urban.
Pembauran karenanya menjadi tema penting pembahasan tulisan ini mau dimaksudkan, namun bagaimana format ideal pembauran agar lebih efektif adalah perhatian tulisan ini mau diangkat disini agar diperhatikan semua pihak. Proses integrasi dalam hal ini yang paling penting adalah akulturasi-inkulturasi budaya Papua dan non Papua. Dewasa ini gejolak beda ideology politik antara elit Papua dan Jakarta berimplikasi langsung pada rakyat bawah. Dan itu melahirkan disharmonisasi pergaulan antar sesama warga sipil yang itu sesunguhnya kedua kelompok ini tidak diuntungkan oleh apa yang dinamakan didalam pembangunan nasional itu.
Jika hal ini dibiarkan tanpa ada usaha inovasi contrucsi pembauran maka akibatnya bisa vatal. Karena itu harus ada solusi dari sekarang untuk bagaimana cara merancang untuk mengatasinya. Mungkin proses akulturasi-inkulturasi social budaya demikian kasus Amerika Serikat dan Brazil contoh lain buat kita Papua kedepan. Jika tidak diatasi maka itu sama artinya kita menyimpan bom waktu dan sewaktu-waktu siap meledak kapan saja, jika itu diinginkan pihak tertentu, maka ledakannya sangat dasyat –konflik horizontal- bisa meluluhlantahkan sendi-sendi kebersamaan yang harusnya terbangun kokoh.
Dalam teori ilmu sosial (meminjam istilah, teori Hegel) gambaran ini sebagai gejala anti tesa. Tesis-nya adalah keadan pra kondisi, dimana orang Papua dulu masyarakatnya homogen dan monoton tanpa kehadiran pemerintah dengan segala kebijakan lain dan baru,. Tapi kemudian runtuh, “kehadiran” menyebabkan semua kenyataan pra kondisi itu mulai goyah, tak dapat dipertahankan lagi seperti dulu. Dalam kondisi demikian muncul mentaliltas complex inferiority dipihak korban pembangunan. Mereka yang dikalahkan dalam perubahan dan persaingan (kompetesi) seperti itu dikhawatirkan sebagai akibatnya menyebabkan gejala disorientasi, dislocation, devrivasion.
Tingal usaha kita sekarang memilih jalan mana, apakah jalan aman selamat atau membiarkan keadaan damai terjadi secara alami dengan tingkat resiko benturan dan konflik terus menerus tanpa usaha mengakhiri itu secara sengaja dalam internal warga Papua beragam etnis? Disini berarti saya bicara soal urgensi bagaimana cara merecontrucsi social. Usaha itu adalah rekayasa soaial pembauran beragam etnis, suku dan bahasa dalam kesatuan warga Papua menuju hakekat pembauran (integrasi) kedua kelompok masyarakat terbedakan (distingtif) secara ideology politik untuk menjadikan mereka berbeda dalam satu kondisi ideal (sintesa). Dimana sintesa disitu dapat melahirkan integrasi (pembauran) sarat dengan nilai-nilai humanism, egalitarianism, liberalism dijunjung tingi sebagai penegakan nilai asasi HAM dan demokrasi.
Sarana untuk urgensi untuk itu semua tidak lain, tidak bukan kecuali penegakan HAM dan demokrasi. Karena ini yang lebih bisa menjajinkan perbaikan hubungan semua perbedan alami itu. Namun factor sekunder usaha penegakan HAM dan demokrasi di Papua senantiasa lamban terjadi disatu pihak dan semangat gerakan papuanisasi dilain pihak,yang itu berarti dalam proses transisi dapat berubah wujud menjadi konflik horizontal. Mentalitas warga Papua karenanya seringkali dalam situasi labil, kompleks devrivation, disorientasi, dislokasi akibatnya benturan peradaban cultural internal sesama warga sipil Papua. Hal ini dimaksudkan disini sesunguhnya tidak lain-tidak bukan pembauran antara etnis Papua asli dengan non Papua adalah urgen perlu dan perbaikan itu waktunya harus sekarang juga.
Dalam pengertian sempit bahwa integrasi NKRI telah berhasil diantaranya unsure-unsure integrasi itu bisa kita hayati, kalau tidak boleh bilang, kita nikmati saat ini, mulai dari kasus paling sederhana, makan nasi, menggunakan bahasa Indonesia, agama, kawin campur, mata uang rupiah, birokrasi, dsb adalah gejala adanya integrasi Papua kedalam NKRI itu juga maksudnya. Tapi sebelumnya disini sedikit akan disinggung integrasi Amerika Serikat sebelum kembali kedalam negeri dalam arti kebangsaan kebernegaraan seperti apa yang dinamakan kini dalam kerangka kebangsaan NKRI.
Adalah cita-cita seorang Pendeta Protestan dan itu terjadi diera tahun 1950-an diabad 20 lalu, tempatnya di benua Amerika, Martin Luther Jr, seorang Pendeta intelektual pejuang HAM dan demokrasi negeri Paman Sam itu punya impian yang konsepnya dikenal dengan integrasi. Dalam pidato yang dihadiri ribuan orang, dihadapan mereka, dia menyatakan impian integrasinya itu katanya : “Saya impikan suatu saat kelak warga Amerika duduk bersama (dia maksudkan disitu maksudnya integrasi; antara pendatang keturunan Afro-Amerika, bangsa negro, keturunan Afrika-bekas budak dengan pendatang Anglo Xason dari Eropa Utara, Inggris, bekas Tuan mereka), dapat hidup sama rata sebagai satu warga Amerika”.
Dan akhirnya perjuangan mewujudkan impian itu terbukti berhasil 50 tahun kemudian impian itu benar-benar terwujud dengan pembauran antara warga imigran Eropa dan Afrika kini menyatu dalam satu atap kebangsaan, bangsa Amerika dalam Negara Adi Daya Amerika Serikat yang super power itu. Artinya pembauran (integrasi) yang diimpikan pejuang HAM dan Demokrasi Amerika, seorang Pendeta berkulit hitam itu berhasil walaupun impian itu lebih sebagai perwujudan perjuangan Malcom X daripada gerakan intelektual Martin Luther Jr. Bisa dikatakan begitu karena kini punjaknya Barak Obama yang Bapaknya Husein Barak Obama seorang Muslim duta PBB asal Kenya lebih sebagai impian perjuangan Malcom X (seorang pemimpin Islam Kulit Hitam Amerika era tahun 50-an) daripada Marthin Luther Jr. Karena Malcom X juga pejuang HAM dan Demokrasi sezaman dengan Pendeta Martin Luther. Pastinya Presiden Amerika kini keturunan Islam asal Afro Amerika.
Integrasi Papua Sudah Final?
Integrasi dalam arti sempit bahwa ke Indonesian orang Papua sangatlah tipis utamanya jika prose situ dilihat dari sisi integrasi militer dan politik terutama cultural. Dengan demikian nasionalisme orang Papua dalam NKRI dalam proses transisi seringkali terlihat sangat masih longgar. Namun kita harus jujur akui fakta disini bahwa realitas hari ini kita hidup dalam alam integrasi Papua kedalam Indonesia sudah final. Hal itu terutama status teritory wilyah Papua sebagai bagian dari NKRI sudah diakui final oleh PBB. Walaupun integrasi Papua sebagai bagian dari NKRI seperti itu tanpa henti senantiasa terus akan dipersoalkan orang Papua. Integrasi dalam arti militer-politik Papua Barat sudah final sebagai bagian tak terpisahkan dari Indonesia. Walaupun banyak masalah namun integrasi secara sosio-cultural masih berat kita hadapi juga secara jujur harus diakui disini.
Status politik Papua dengan demikian sudah tidak ada masalah berarti lagi walaupun masih ada gangguan tak berarti dari orang Papua tapi itu bisa diatasi pemerintah, karena hanya segelintir orang –beberapa orang kecil saja -yang merasa tidak puas. Tapi batang tubuh dan sendi-sendi kebangsan NKRI tetap utuh dari Sabang sampai Merauke. Memang secara sporadic disana-sini masih ada ganguan, letupan-letupan ketidakpuasan orang Papua tapi tetap saja bisa diatasi pemerintah pusat dengan berbagai kebijakan politik pendekatan pembangunan, kucuran dana Otsus besar melalui media pemerintah namun bahasa penyederhanaan statemen oknum pejabat seperti itu menunjukan ada fakta lain dibalik eufemisme seperti itu yakni ada fakta lebih berarti berusaha mau disembunyikan disitu.
Namun tidak bagi orang Papua seperti tokohnya Socrates Sofyan Yoman (Integrasi Papua Belum Selesai, 2010) menjadi fakta pula bahwa integrasi Papua secara politik-militer yang sudah final itu dan tidak sah menurut sebaliknya seperti itu, saat ini, dan itu tidak ditunjang dan dianggap sudah terintegrasi sempurna terutama dari sudut integrasi cultural dan ekonomi rakyat Papua belum menikmati sebagai dirinya dalam pembangunan Indonesia disana selalu saja ada problem, kita hendaknya tidak boleh menyerhanakan kasus ini begitu saja.
Dalam soal ini Papua senantiasa dililit persoalan kompleks tanpa sanggup diatasi oleh kedua kelompok berbeda ideology yang bertikai (baca- isme Papua-NKRI) karena alasan pertama, bagi NKRI, Papua secara de jure PBB dan itu didukung Amerika dan negara lainya setuju integrasi sudah sah. Papua diakui internasional sebagai bagian tak terpisahkan dari NKRI, sejak Mei 1963 melalui PEPERA. Walaupun melalui hasil “curang” karena tanpa mekanisme one man one vote, bangsa Papua Barat telah terintegrasi sampai dengan detik ini hingga entah nanti sampai kapan, wallahu’alam (“hanya Tuhan saja yang tahu”). Yang pasti realitas fakta Papua hari ini berbicara lain bahwa sesunguhnya integrasi sudah selesai sekaligus belum selesai.
Integrasi versi sudah selesai karena secara de jure PBB memang demikian. Belum selesai karena secara de vacto PEPERA tanpa mekanisme one man one vote selain fakta bahwa Papua bagi orang Papua tidak mau berintegrasi dengan NKRI (jika bisa jajak pendapat sekarang hamper bisa dipastikan seluruh rakyat Papua memilih memisahkan diri dari NKRI). Indonesia mengakui Papua sebagai bagian tidak terpisahkan dari dirinya. Justificasi ide ini, oleh Soekarno agaknya diambil sebagai dasar filosofi pembenaran invasi berdasarkan sumpah Palapa masa kejayaan kerajaan Hindu-India di Jawa pada masa silam. Walaupun dalam kitab kuno huruf palapa itu yang disebut Pulau kecil dekat Fak-Fak (Onim) yang tidak termasuk keseluruhan Wilayah Papua-Papua Barat sesunguhnya.
Kedua, bagi kontra, Papua diintergrasikan secara “terpaksa” kalau bukan “dipaksa” (perspektif mereka-orang Papua) kedalam wilayah NKRI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua tahun 1963 yang disaksikan UNTEA, dianggap tidak sah karena tanpa mekanisme one man one vote. Countre balance, sebagai anti tesa dari tesis integrasi Papua sudah selesai, tidak ada masalah, berarti karena hal itu didukung dan diakui internasional melalui pemerintahan resmi mereka terutama negara-negara besar dunia seperti Amerika, Inggris, Australia dan sekutu lainnya. Karena memang hal itu terlihat dari dan dinyatakan mereka kita saksikan bersama melalui stateman mereka dimedia public bahwa status Papua sudah final dan tidak perlu dipersoalkan lagi sebagai bagian dari NKRI.
Anti tesis dari asumsi integrasi Papua sudah final dan telah selesai kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) senantiasa dirundung selalu masalah politik keabsahan legitimasi secara politik dan militer, sudah bisa dikatakan disini hampir tidak ada masalah karena secara de jure di PBB telah selesai final bagi Indonesia dan itu didukung dan diakui internasional. Secara sepihak rakyat Papua menganggap tidak absah karena alasan utama mereka tanpa melalui mekanisme one vote one man tahun 1963 secara de vacto dan secara de jure PBB resmi tahun 1969 sesudah PT Freeport Mc Moren sudah beroperasi di Tembagapura Timika. Implikasinya dari kedua ideology paradox senantiasa dirundung berbagai pergolakan masalah social-politik dan ekonomi seakan tanpa pernah usai untuk menyatakan Proses integrasi antara Papua non Papua adalah suatu masalah penting tapi tanpa ada solusi significant senantiasa dari kedua bela pihak berlainan ideology harus dipikirkan ulang disini.
*** ***
*Ismail Asso : Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua adalah kelahiran Walesi Wamena pernah belajar di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Parung Bogor dan Mantan Qori Nasional utusan Propinsi Papua (Irian Jaya) tahun 1988 di Bandar Lampung Sumatera.