Bismillaahirrahmaanirrahiim
DALAM ISLAM MURNI JANGANKAN DUA INSAN YANG YANG BERLAWANAN JENIS KELAMIN BERKHUSUK - SEPI BERDUA-DUAAN, SALING MEMANDANG LAMA SAJA DI DEPAN PUBLIK DILARANG
(Q.S. An Nur 30, 31)
hsndwsp
di
Ujung Dunia
(Q.S. An Nur 30, 31)
hsndwsp
di
Ujung Dunia
Dalam Islam Mazhab Jakfari atau Islam Syiah Imamiah 12 atau pengikut setia Ahlulbayt Rasulullah saww tidak ada istilah pacaran (perkenalan secara pribadi tanpa ikatan pernikahan) yang sering dipraktekkan oleh masyarakat Islam non Syiah . Namun di sisi lain, hampir mustahil nikah tanpa perkenalan sebelumnya, terkhusus berbicara dari hati ke hati yang hanya melibatkan dua orang saja. Dan Islam harus mampu memberikan solusinya. Nikah mut’ah adalah solusi terbaik dalam hal ini.
Mut'ah adalah jawabannya buat orang non Muslim, dimana mereka menganggap Islam itu kolot dengan alasan masak dua insan yang hendak melanjutkan perkawinannya dilaksanakan tanpa pendekatan persesuaian terlebih dahulu (baca pacaran). Mut'ah adalah versi "pacarannya" Islam dimana lebih indah daripada pacaran non Syiah, dimana mereka dalam masa persesuaian itu bebas melakukan hubungan suami - isteri sebagaimana nikah Bain. Tinggal lagi nikah Mut'ah tidak wajib memberikan nafkah lahir dan bathin. Namun suami yang murah hati tidak mungkin tidak memberikan belanjanya kepada sang Isteri sebagai kekasih yang resmi, kecuali memang benar-benar belum punya rezki. Logisnya pasangan pacaran non Syiah yang murah hati juga akan melakukan hal yang sama sebagai nilai kasihsayangnya kepada sang kekasih.
Adapun perbedaan "pacaran" Islam (baca mut'ah) dengan pacaran non Syiah Imamiah 12 diantaranya yang pertama hukumnya halal berdasarkan surah an Nisa' ayat 24, sedangkan yang ke dua hukumnya haram. Yang pertama bebas bergaul sebagaimana lazimnya suami- isteri dalam nikah ba'in sedangkan yang kedua bukan saja dosa besar melakukan hubungan suami - isteri tetapi juga haram berdua-duan.
Diawal perkembangan Islam kawin mut'ah pada umumnya diaplikasikan oleh pejuang ketika jauh dari isterinya. Ini membuktikan bahwa Islam itu benar-benar agama yang haq disisi Allah (baca innad diina 'indallahil Islam). "Al Islamu ya'lu wala yukla 'alaih" (hadist), dimana Islam itu tidak memberatkan pemeluknya dan senantiasa ada jalan keluarnya asal saja tidak keluar jalan. Masa Perang jaman Rasulullah adalah masa darurat, justeru itu maharnya diselesaikan ketika itu juga hingga ada yang berupa sebuah baju (hadist). Hal ini dapat dipahami bahwa apabila tidak diselesaikan maharnya dengan segera, besar kemungkinan tidak terselesaikan mengingat pasukan tersebut senantiasa berpindah-pindah. Sedangkan nikah mut'ah dimasa aman, tidak disyaratkan maharnya kecuali ketika habis masa mut'ahnya, nyakni memasuki fase nikah bain (baca nikah permanent) atau berpisah andaikata dalam masa persesuaian itu tidak berjalan dengan baik hingga isteri berhak menolak untuk diteruskan ke nikah Bain. Sedangkan dalam nikah ba'in isteri tidak memiliki hak untuk menceraikan suami (baca hak suami lebih besar dari hak isteri)
Perlu juga digarisbawahi bahwa nikah mut'ah itu dilakukan secara suka-rela tidak boleh ada paksaan sebagaimana juga nikah ba'in. Dari itu masak bodoh calon isteri atau orang tuanya bersedia nikah mut'ah hanya dalam jangka satu minggu atau satu bulan. Inilah yang membuat musuh Islam berkesempatan untuk merendahkan nikah mut'ah dengan alasan jangka yang demikian pendek sebagaimana kawin kontrak yang terlarang dalam Islam. Jangka waktunya yang normal cukup untuk saling mengenal watak masing-masing, minimal 2 tahun. Sedangkan masa perang jaman Rasulullah dulu bisa saja terjadi dalam tempo satu minggu atau malah 2,3 hari sekalipun. Itu adalah kepentingan jihad fisabilillah yang diistimewakan Allah dan Rasul Nya. Kalau ada pihak yang mempersoalkan hal ini dengan alasan tidak ada nilai orang perempuan, mereka lupa kenapa Allah membenarkan melakukan hubungan suami - isteri terhadap perempuan yang didapat dalam peperangan sebagai harta rampasan, padahal perempuan itu juga sebahagian besar masih memiliki suaminya sendiri.
Persoalannya, kenapa orang non Syiah Imamiah 12 mengira nikah Mut'ah itu haram? Jawabannya adalah terlalu percaya kepada Umar bin Khattab. Hanya dialah dan konco-konconya yang berani melawan ketentuan Allah dan Rasul Nya sebagai mana keterangan berikut ini:
Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah kuharamkan”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh Umar bin Khattab.
Adapun legalitas hukumnya kawin mut'ah demikian jelas dalam surah an Nisa' ayat 24: ".................................................................... Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Q,S. an Nisa' 24)
Sebahagian tokoh Sunni berpegang pada ketentuan Umar bukan ketentuan Allah dan Raasul Nya. Adakah orang yang waras menganggap Umar lebih berhak menentukan sesuatu daripada Rasulullah? Sementara tokoh Sunni lainnya meyakini bahwa Umar tidak berhak membatalkan atau memansuhkan Ketentuan Allah dan Rasulnya, namun mereka berkilah bahwa benar nikah Mut'ah di aplikasikan para shahabat akan tetapi Rasulullah sendiri yang memansuhkannya. Tokoh tersebut tidak memahami bahwa Ayat Qur-an tidak boleh diman suhkan oleh Hadist dan bagi Rasulullah sendiri mustahil melawan ketentuan Allah. Ayat Qur-an hanya dapat dimansuhkan dengan ayat Qur-an yang lainnya sebagaimana ayat yang berhubungan dengan Khamar (baca minuman yang memabukkan), dimana pada mulanya Allah tidak mengharamkan, tinggal lagi memberitahukan bahwa pada khamar itu mengandung kebaikan dan keburukan tetapi keburukan lebih besar dari kebaikan. Ayat tersebut dimansuhkan dengan ayat terakhir turun mengenai larangan minum khamar.
Tidak ada satu ayatpun yang memansuhkan ayat nikah Mut'ah (baca an Nisa' 24). Namun Para tokoh Sunni lainnya telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka seba gai ayat naasikhah (yang memansukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6)
Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya meng gauli seorang wanita karena dua sebab;
Pertama, hubungan pernikahan (permanen).
Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahuluan dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az zamakhsyari menukilIbnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh). Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para Imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanent dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saww. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan – dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para tokoh dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saww. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Adu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab (33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat tersebut kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Billahi fi sabililhaqMut'ah adalah jawabannya buat orang non Muslim, dimana mereka menganggap Islam itu kolot dengan alasan masak dua insan yang hendak melanjutkan perkawinannya dilaksanakan tanpa pendekatan persesuaian terlebih dahulu (baca pacaran). Mut'ah adalah versi "pacarannya" Islam dimana lebih indah daripada pacaran non Syiah, dimana mereka dalam masa persesuaian itu bebas melakukan hubungan suami - isteri sebagaimana nikah Bain. Tinggal lagi nikah Mut'ah tidak wajib memberikan nafkah lahir dan bathin. Namun suami yang murah hati tidak mungkin tidak memberikan belanjanya kepada sang Isteri sebagai kekasih yang resmi, kecuali memang benar-benar belum punya rezki. Logisnya pasangan pacaran non Syiah yang murah hati juga akan melakukan hal yang sama sebagai nilai kasihsayangnya kepada sang kekasih.
Adapun perbedaan "pacaran" Islam (baca mut'ah) dengan pacaran non Syiah Imamiah 12 diantaranya yang pertama hukumnya halal berdasarkan surah an Nisa' ayat 24, sedangkan yang ke dua hukumnya haram. Yang pertama bebas bergaul sebagaimana lazimnya suami- isteri dalam nikah ba'in sedangkan yang kedua bukan saja dosa besar melakukan hubungan suami - isteri tetapi juga haram berdua-duan.
Diawal perkembangan Islam kawin mut'ah pada umumnya diaplikasikan oleh pejuang ketika jauh dari isterinya. Ini membuktikan bahwa Islam itu benar-benar agama yang haq disisi Allah (baca innad diina 'indallahil Islam). "Al Islamu ya'lu wala yukla 'alaih" (hadist), dimana Islam itu tidak memberatkan pemeluknya dan senantiasa ada jalan keluarnya asal saja tidak keluar jalan. Masa Perang jaman Rasulullah adalah masa darurat, justeru itu maharnya diselesaikan ketika itu juga hingga ada yang berupa sebuah baju (hadist). Hal ini dapat dipahami bahwa apabila tidak diselesaikan maharnya dengan segera, besar kemungkinan tidak terselesaikan mengingat pasukan tersebut senantiasa berpindah-pindah. Sedangkan nikah mut'ah dimasa aman, tidak disyaratkan maharnya kecuali ketika habis masa mut'ahnya, nyakni memasuki fase nikah bain (baca nikah permanent) atau berpisah andaikata dalam masa persesuaian itu tidak berjalan dengan baik hingga isteri berhak menolak untuk diteruskan ke nikah Bain. Sedangkan dalam nikah ba'in isteri tidak memiliki hak untuk menceraikan suami (baca hak suami lebih besar dari hak isteri)
Perlu juga digarisbawahi bahwa nikah mut'ah itu dilakukan secara suka-rela tidak boleh ada paksaan sebagaimana juga nikah ba'in. Dari itu masak bodoh calon isteri atau orang tuanya bersedia nikah mut'ah hanya dalam jangka satu minggu atau satu bulan. Inilah yang membuat musuh Islam berkesempatan untuk merendahkan nikah mut'ah dengan alasan jangka yang demikian pendek sebagaimana kawin kontrak yang terlarang dalam Islam. Jangka waktunya yang normal cukup untuk saling mengenal watak masing-masing, minimal 2 tahun. Sedangkan masa perang jaman Rasulullah dulu bisa saja terjadi dalam tempo satu minggu atau malah 2,3 hari sekalipun. Itu adalah kepentingan jihad fisabilillah yang diistimewakan Allah dan Rasul Nya. Kalau ada pihak yang mempersoalkan hal ini dengan alasan tidak ada nilai orang perempuan, mereka lupa kenapa Allah membenarkan melakukan hubungan suami - isteri terhadap perempuan yang didapat dalam peperangan sebagai harta rampasan, padahal perempuan itu juga sebahagian besar masih memiliki suaminya sendiri.
Persoalannya, kenapa orang non Syiah Imamiah 12 mengira nikah Mut'ah itu haram? Jawabannya adalah terlalu percaya kepada Umar bin Khattab. Hanya dialah dan konco-konconya yang berani melawan ketentuan Allah dan Rasul Nya sebagai mana keterangan berikut ini:
Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah kuharamkan”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh Umar bin Khattab.
Adapun legalitas hukumnya kawin mut'ah demikian jelas dalam surah an Nisa' ayat 24: ".................................................................... Maka isteri-isteri yang telah kamu ni'mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (Q,S. an Nisa' 24)
Sebahagian tokoh Sunni berpegang pada ketentuan Umar bukan ketentuan Allah dan Raasul Nya. Adakah orang yang waras menganggap Umar lebih berhak menentukan sesuatu daripada Rasulullah? Sementara tokoh Sunni lainnya meyakini bahwa Umar tidak berhak membatalkan atau memansuhkan Ketentuan Allah dan Rasulnya, namun mereka berkilah bahwa benar nikah Mut'ah di aplikasikan para shahabat akan tetapi Rasulullah sendiri yang memansuhkannya. Tokoh tersebut tidak memahami bahwa Ayat Qur-an tidak boleh diman suhkan oleh Hadist dan bagi Rasulullah sendiri mustahil melawan ketentuan Allah. Ayat Qur-an hanya dapat dimansuhkan dengan ayat Qur-an yang lainnya sebagaimana ayat yang berhubungan dengan Khamar (baca minuman yang memabukkan), dimana pada mulanya Allah tidak mengharamkan, tinggal lagi memberitahukan bahwa pada khamar itu mengandung kebaikan dan keburukan tetapi keburukan lebih besar dari kebaikan. Ayat tersebut dimansuhkan dengan ayat terakhir turun mengenai larangan minum khamar.
Tidak ada satu ayatpun yang memansuhkan ayat nikah Mut'ah (baca an Nisa' 24). Namun Para tokoh Sunni lainnya telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka seba gai ayat naasikhah (yang memansukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6)
Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya meng gauli seorang wanita karena dua sebab;
Pertama, hubungan pernikahan (permanen).
Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akad nikah Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahuluan dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az zamakhsyari menukilIbnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh). Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para Imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanent dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saww. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan – dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para tokoh dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saww. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Adu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akad nikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab (33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat tersebut kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
hsndwsp,-
di Ujung Dunia
Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.