Sabtu, 27 Mac 2010

APA ARTINYA PERINGATAN BASA-BASI ITU? BUKANKAH MACAM SANDIWARA YANG TIDAK LUCU SAJA?

Bismillaahirrahmaanirrahiim



APA KATA MEREKA DALAM ACARA PERINGATAN 26 MARET
SEHUBUNGAN PERANG ANTAR ACHEH - SUMATRA
DAN NEDERLAND

:


Astaghfirullah. Apakah saya salah tangkap. Barangkali Aba Allev sengaja menulis doa heningcipta, khasnya doa orang Hindunesia dimana orang yang berperang dulu dengan Belanda juga bukan Islam benaran, makanya cocok ala hening cipta??? Sebetulnya kalau Perang Acheh - Belanda adalah perang jihad fi sabilillah, mereka tidak butuh doa kita, konon pula akidah kita sendiri diragukan. Kalau kita maubilang Jum'at pakek kliwon lagi. Mereka yang syahid di jalan Allah tidak butuh doa konon pula doa hening cipta. Mereka itu pasti masuk surga. Kita yang sangat menyedihkan dimana dimulut mengucapkan lailaha illa Allah tapi dalam kehidupan sehari-hari menuhankan fulus dan kedudukannya hingga setelah perang jihad dengan Hindunesia, belum apa-apa mata kita sudah kabur. Kita tidak mampu lagi melihat mana musuh kita. Sementara orang Acheh yang tetap mendamba kan kemerdekaannya dianggap musuh. Bukankah itu gara-gara menuhankan fulus? Kalau untuk Otonomi Basi buat apa kita berperang? Dimana bedanya antara kita dengan orang yang dulu kita perangi?

Kemudian mari kita kritisi Muhammad Nazar.
Katanya 26 Maret harus diperingati agar orang Aceh tahu betapa perang yang dimulai hari itu telah menghancurkan peradaban dan perang selalu berakibat buruk, sehingga perdamaian selalu lebih baik. Pringatan 26 Maret adalah penghargaan untuk jasa para pahlawan yang melawan penjajah dengan tulus ikhlas, sekaligus itu menandakan kita sebagai bangsa yang beradab, demikian pikiran Nazar tapi Allah berkata sebaliknya di surah Al Baqarah ayat 216: ”Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui".

Perlu kita ketahui bahwa bukan hanya Muhammad Nazar yang berpandangan bertolak kelang dengan petunjuk Allah swt tapi mayoritas orang yang mengaku beragama Islam. Andaikata kita memahami konsekwensi Aqidah Islam yang benar tidak ada perdamaian dengan musuh disaat kita telah menyatakan perang, kecuali perang tersebut telah kita menangi dalam arti bahwa kita sudah memiliki power diatas power musuh sebagaimana saat Rasulullah menerima perdamaian Hudaibiyah, kenapa? Sebabnya andaikata musuh tidak jujur, kita dapat menggempur balik. Realitanya perdamaian Hudaibiyah terpaksa dibatalkan Rasulullah atas perintah Allah sendiri disebabkan musuh tidak jujur atau tidak menepati janji yang telah bdisepakati dalam perjanjian Hudaibiyah itu sendiri.

Dari contoh yang dilakukan Rasulullah dapat menjadi i'tibar buat ummahnya dikemudian hari, termasuk kita bangsa Acheh - Sumatra bahwa kita tidak dibenarkan berdamai dengan musuh kecuali kita telah memiliki power diatas power musuh. Sedangkan perjanjian Helsinki secara ideologis tidaklah berarti sebagai perjanjian, sebaliknya merupakan sebagai penyerahan kepada musuh. Kalau ada orang yang menganggap "perjanjian" Helsinki mencontohi perdamaian Hudaibiyah, adalah keliru 180 derajat, kenapa. Pertama pemimpin dalam perdamaian Hudaibiyah adalah Rasulullah dimana mustahil tersilah kendatipun Umar bin Khattap menuduh nabi merugikan komunitas muslim kala itu. Kedua Komunitas Nabi Kala itu sudah memiliki power diatas power komunitas musuh sedangkan power komunitas Acheh - Sumatra jangankan kita berbicara soal power malah senjatanya minta dimusnahkan musuh, dapat diterima. Saya sama sekali tidak pernah bermimpi kejadian seperti itu. Ketiga, Iman komunitas kita secara mayoritas jauh dibawah kondisi Iman komunitas Rasulullah kala itu.

Tanggapan buat Muhammad Nazar yang terakhir bahwa kalau orang Acheh dulu termasuk beradapdisebabkan pantang berdamai dengan musuh, apalagi bekerjasama/ bersatu, bagaimana dengan komunitas anda sekarang yang berdamai, bersatupadu dengan musuh dapatkah dianggap sama beradap seperti orang dulu? Kami harap anda lebih baik diam saja daripada asal bunyi atau asbun.

Pakar Sejarah Uiversitas Syiah Kuala (Unsyiah) Mawardi Umar,Penyusun Qanun Mukim Zulfadli Kawom dan Rusdi Sufi, Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA), seharusnya lebih berbobot pikirannya tapi ternyata tidak berguna sama sekali kalau tidak kita katakan lebih asbun daripada Muhammad Nazar, kenapa? Sebetulnya mereka itu hendak mengkritisi sepakterjang penjajah Belanda yang merugikan orang Acheh - Sumatra tapi realitanya mereka secara tidak sadar telah masuk perangkap penjajah terselubung (baca penjajah Hindunesia terhadap Acheh - Sumatra, West Papua dan RMS). Justeru itu mustahillah bagi mereka dapat mengungkapkan hal yang bermanfaat bagi bangsa Acheh - Sumatra. Lebih dari itu peringatan basa-basi tidak bermanfaat samasekali kalau kita tidak memiliki ideology yang benar hingga mampu membaca fenomena yang sama di zaman kita sekarang ini dengan fenomena penjajah Belanda itu sendiri. Tidak berbeda dengan sebahaguan orang yang memperingati hari Asyura dimana mereka tidak mampu mengenal fenomena Yazid di dalam kehidupan mereka sendiri. Ini termasuk juga sandiwara yang tidak lucu.

Angku Meureudu
di Tampok Donja

Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.