Jumaat, 4 Januari 2008

FILSAFAT : NAI HAWOLOK

A. PENDAHULUAN

Sebelum ini saya sering menulis "keras", misalnya artikel dengan judul; "INDONESIA PEMBUNUH DAN PENCURI". Karena itu wajar kalau kemudian saya dikelompokkan dan masuk dalam kelompok "garis keras". Kelompok "garis keras" adalah julukan umum kelompok perjuangan bersenjata TPN dan OPM di Papua yang umumnya terdapat di hutan-hutan (rimba raya) sepanjang Penungan-dan Pesisir Papua. Kelompok ini dikenal umum sebagai OPM "garis keras". Bagi OPM dan TPN di Rimba Raya, perjuangan dan perlawanan harus ditempuh dengan peperangan untuk mengusir penjajah. OPM dan TPN di Rimba Raya, yang sering ditakuti TNI/POLRI, dibawahnya ada kelompok DEMMAK (Dewan Masyarakat Koteka). Seperti diduga dari namanya, umumnya para anggota DEMMAK adalah masyarakat "Koteka", Pegunungan Tengah Papua (PTP).

Secara cultural, penulis tidak terpisahkan dari kelompok masyarakat ini. Sehingga ekspresi yang kemudian terlihat dalam tulisan saya selalu masuk dalam kelompok "garis keras". Apa yang dirasakan mereka sebagai luka juga luka bagi saya. Apa yang dirasakan sebagai kesenangan, kegembiraan juga kesenangan kegembiraan bagi saya. Sebagai suatu unit suku dan marga saya tidak dapat terpisahkan dari semua apa yang dialami. Secara emosional kami diikat oleh satu semangat, yaitu semnagat Kaneke atau Adat-Budaya. Kami disatukan oleh semangat orang gunung, masyarakat koteka dan berbagai stigma lainnya yang bersifat negatif maupun yang bermakna positif.

Lalu mengapa kini ada perubahan sikap saya? Malahan saya seakan bersikap melunak (moderat)yang sesungguhnya bukan karaktek kami, orang Papua, orang gunung, masyrakat koteka yang indentik dengan kelompok "garis keras" ? Bahkan saya sekarang seakan sudah harus berbeda selera atau pemikiran? Apalagi diperhatikan artikel terakhir saya, seakan saya, bisa dikatakan oleh kaum saya, "kaum koteka" di PTP: 'Kau sudah tidak seperti yang dulu lagi', untuk meminjam judul lagu nostalgia, Pance Pondaag.

Mungkin ada rasa penasaran para pembaca yang budiman, bahwa secara mendadak, tanpa ada peringatan lampu kuning dan langsung saya menulis arti pentingnya demokratisasi gerakan perjuangan OPM. Bahkan memasukkan kelompok lain yang selama ini "dianggap" secara nyata-nyata sebagai bagian tak perpisahkan dari kekacauan; pembunuhan, perampasan, penindasan, penjajahan dan penghinaan harkat dan martabat kemanusiaan orang Papua untuk turut ambil bagian dalam pergerakan perjuangan Papua Merdeka.

Kepada mereka, (Amber dan muslim), saya dan masyarakat suku saya, "masyarakat koteka", saya anjurkan untuk bersikap moderat terhadap mereka? Hal ini misalnya terlihat dari tulisan terakhir saya dengan judul : "MEMBANGUN KONSEP BARU PERJUANGAN PAPUA MERDEKA KEDEPAN", bahkan lebih jauh saya seakan-anak mau menarik gerbong kereta yang isinya amber lagi muslim dan membawa masuk dalam perjuangan kemerdekaan perjuangan OPM. Dengan demikian kelompok Muslim pendatang (amber), untuk ikut serta ambil bagian dalam apa yang dinamakan perjuangan Papua Merdeka.

Padahal pada saat yang sama, Saudara-Sauraku kaum Kristiani sangat menderita oleh akibat "islamisasi" yang sangat meresahkan, menghawatirkan dan momok menyakitkan, bagi mayoritas penduduk Papua yang sebelumnya sudah menerima Injil dan penganut agama moyoritas Kristiani. Kelompok muslim dengan dukungan pusat pemerintahan penjajah membangun sekian ribu masjid, bahkan hal itu di pemukiman mayoritas Saudara-Saudaraku kaum Kristiani. Demikian itu terbaca dalam buku misalnya dalam buku Dr. Benny Giay, (GEMBALAKANLAH UMATKU, 1997), dan terakhir dalam buku Sadius Wonda yang berjudul ; ("TEGGELAMNYA RAS MELANESIA").

Proyek pusat dengan kedok agama, sebagai bentuk lain penjajahan budaya dan adat Papua begitu menghebat. Bahkan proyek "islamisasi" dalam era Otonomi Khusus sangat menggila dan merajalela, dirasakan hal tersebut menggejala di seluruh pelosok Papua, terutama di wilayah PTP, sebagai daerah basis "Gembalaan" Saudara-Sauraku Kaum Kristiani sebelum ini. Sehingga hal ini harus dilakukan pembelaan oleh kaum intelektual Papua.

Untuk itu tidak kurang dari Tuan Dr. Sofyan Nyoman, Sadius Wonda dan Sem Karoba, seorang Mahasiswa Program Doktor Universitas Oxford Inggris pun harus "turun gunung" ikut ambil bagian kesempatan ini, dengan menerjemahkan suatu artikel hasil perkiraan konferensi yang dilakukan di Australia. Sebagaimana kekhawatiran itu terlihat dari opini yang ditulis oleh seorang pengamat dari Autralia; Elizabeth Kendal berikut ini :



Jika kecederungan demokrasi berlanjut, Papua Barat (sebelumnya Irian Jaya) akan menjadi mayoritas orang Indonesia (Kebanyakan orang Jawa) Muslim pada tahun 2011, dan orang asli Melanesia yang umumnya orang Papua Kristen Protestan akan turun menjadi 15 persen minoritas pada 2030. Demikian prakiraan dalam sebuah konferensi di University of Sydney (NSW, Australia) oleh Ilmuwan Politik Dr. Jim Elsmlie dari Proyek papua Barat, berbasis di University of Sydney Centre for Peace and Conflict Studies (CPACS).



Sekalipun perkiraan tanpa penelitian lapangan vadilitas kebenaran selalu tentatif, namun penting diperhatikan, bahwa benar bahwa ada suatu kejadian yang itu sebagai momok yang sangat menghawatirkan para pemuka masyarakat, terutama pejuang Papua adalah kepentingan dan tujuan penulisan ertikel ini disini. Disamping itu oleh akibat sekunder lainnya. Kita selalu merasa tidak pernah siap, kalau-kalau terlebur (konversi) kedalam kelainan yang lain. Kita banyak berjumpa dengan banyak lain dan baru, tapi kita ingin membiarkan keunikan sebagai Yang Maha Unik, sebagai diri, orang Papua.

Tapi bagi penulis yang tidak ikutan khawatir dengan tegaknya Adat dan demokrasi, sebagai tonggak baru perjuangan OPM mengganggap bahwa kedepan pasti tetap terjadi perubahan, apapaun perubahan itu, misalnya dimanapun kita selalu tidak steril terhadap transformasi nilai-nilai baru. Peleburan nilai baru terus akan menghegemoni era dunia informasi modern ini. Nilai yang akan menghegemoni dunia nanti yang terus berubah bagi saya tidak sebagaimana yang diprediksikan dalam perkiraan konferensi di Australia itu. Hegemoni nilai akan didominasi secularisme di Papua Barat dan nilai hegemoni budaya Amerika menjadi dominan di Papua Barat nantinya, walau apakah nilai baru tersebut positif atau negatif.

Soal issu agama saya rasa faktor utama masalah Papua. Semua agama sesungguhnya di tanah Papua datang setelah kita orang Papua ada. Semua agama diimport di Papua mau dibiarkan menggeregoti adat dan budaya atau mencegahnya, sehingga jangan masuk adalah suatu hal yang akhirnya; ah bisakah? Sebab watak agama besar yang bersumber Abrahamic religian adalah universal dan dapat diterima dimanapun dan pada suku bangsa manapun. Atau orang menganutnya, tatakala agama itu datang dimana saja tempatnya. Papua tidak mungkin steril dari agama besar dunia manapun. Kita hanya waspadai dampak negatif Agama adalah yang terpenting menurut saya.

Sebenarnya agama apapun kalau boleh jangan merusak tatananan adat dan budaya Papua. Tapi kalau mau diterima semuanya sebenarnya semuanya sudah masuk sekarang ini. Tinggal bagaimana kita kembangkan sikap demokrasi dan penegakan HAM adalah lebih penting dari pada mempersoalkan sesuatu yang sesungguhnya bukan asli produk (Made In Papua) membuat kita akhirnya hanya percuma membuang energi menetapkan ini dan membuang yang itu, adalah suatu usaha kesia-siaan saja.

Tujuan utama kita sekarang adalah bagaimana mengusir, kebodohan, ketakutan, penjajahan, hegemoni budaya asing, termasuk budaya Asia dan agama yang merusak tatanan adat dan budaya kita oleh agama yang perusak. Perjuangkan OPM kedepan tidak hanya perjuangan melawan penjajah tapi semua bentuk hegemoni budaya luar asing yang merusaka tatanan adat budaya (Honai Kaneke), itu kalau kita mau konsisten terhadap diri sendiri dan perjuangan OPM. Perjuangan OPM juga menyangkut memahami kekurangan dalam diri sendiri dan mengembangkan potensi. Hal-hal yang bersifat feriveral harusnya bukan tema utama Perjuangan Papua merdeka seperti misalnya soal agama.

B. PERJUANGAN OPM PENDEKATAN INTELEKTUAL

Dewasa ini perjuangan tidak sebagaimana para pejuang OPM "garis keras", para generasi muda koteka lebih sering dan cenderung menempuh perjuangan dengan pendekatan intelektual. Diantara para pejuang dengan pendekatan inteletual (moderat) itu adalah Sadius Wonda yang bukunya yang berjudul; "TENGGALAMNYA RAS MELANESIA", disita oleh pihak Kejaksanaan Negeri penjajah RI di Jayapura beberapa minggu yang lalu.

Pergeseran ini tiada lain, sebagai akibat banyaknya generasi muda Koteka mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Lewat tulisan-tulisannya, Sem Karoba dkk AMP; juga misalnya, pernah menerbitkan buku dengan judul "PAPUA MENGGUGAT" dalam beberapa edisi yang kini masih tersebar di berbagai tokoh buku gramedia dan ikut "nongkrong" di pajang di lantai dasar gedung Parlemen Indonesia (DPR RI), Senayan Jakarta.

Perjuangan intelektual demikian sudah dilakukan sudah sejak lama, sebelum PDP berkongres yang kedua pada tahun 2000 di GOR Jayapura. Benny Giay, Doktor (Phd-nya diraih di Universitas Leiden Negeri Belanda), telah lama menulis dan melakukan perlawanan dengan gaya tulisan revolusioner. Karena itu beberapa bukunya pernah dilarang terbit di Indonesia dan ditarik dari peredaran di pasar buku. Kemudian menyusul Dr. Sofyan Nyoman dari Suku Dani. Buku pertamanya sukses dan kini terbit lagi bukunya yang (mungkin) kedua, dengan judul "GENOSIDA PAPUA BARAT".

Dari kalangan mahasiswa yang sangat produktif dan sangat amat membanggakan adalah buku Saudara Natalis Pigay; "EVOLUSI POLITIK NASIONALISME PAPUA BARAT", dengan kelengkapan data dan informasi baru dalam buku ini kualitas sudah menunjukkan disini. Sehingga buku ini menurut hemat saya pertama dan terakhir tentang informasi perkembangan segala tetek bengek tentang Perjuangan Kemerdekaan Papua. Buku diberi yang pengantar oleh Dr. Castle, dosen tamu dari Australia di UGM, semakin menambah bobot karya buku anak muda inteletual Papua ini.

Disamping itu teman-teman Koteka Suku Moni (Mee), cukup produktif, semasa masih berstatus mahasiswa saja dapat membuat buku dalam 4 bahasa, hal ini dibuktikan oleh Victor Yeimo. Demikian yang saya amati dari Saudara Yacobus F Dumupa, semasa menjadi mahasiswa STPDN sudah sanggup menulis buku dan artikel yang cukup produktif, sebagaimana juga pernah dilakukan Natalis Pigay. Mengikuti sepak terjang Pigay, anak-anak Paniai lebih berprestasi dan produktif dalam menulis. Sebagai anak Koteka dari Moni mereka lebih berani menulis dan ini sudah di buktikan oleh Yacobus F Dumupa dan Viktor Yeimo dalam beberapa karya bukunya yang dapat dijumpai di semua tokoh buku Gramedia Indonesia.

Lalu bagaimana dengan anak-anak Papua lainnya? Kita masih punya penulis berpotensi intelektual muda dari Muyu, misalnya Nace Natalia dan lain-lain. Dari Ayamaru sering kedengaran nama belakang (fam,marga, moiety) Baho (Arkalius, komandan Front PEPERA). Kaum intelektual muda dari Muyu banyak tidak disebut disini. Tapi guna menjawab pertanyaan diatas, penyebutan kaum muda progressif intelektual Papua sudah berakhir disini. Jadi selain disebut diatas anak-anak Papua belum ada yang berani mencoba menulis. Padahal menulis sudah seharusnya di coba sejak dini mahasiswa.

Untuk kedepan daerah-daerah lain yang tidak tersebut diatas harus berani mencoba menulis, misalnya anak-anak Suku Dani Lembah Balim miskin kader intelektual progressif pasca. Pasca Nico Lokobal, Agus Alue ALue dan Tadius Mulac, anak-anak Wamena tidak nampak progresifitas intelektualnya, padahal jumlah mahasiswa banya tersebar dari Uncen, Unipa Manakwari, Menado, Surabaya, Jogja sampai Jakarta. Suku Dani Lembah Balim termasuk paling miskin intelektual di bandingkan dengan saudara-saudara mereka sesama koteka dari Moni, Ekari, Mee, dan Muyu.

Dengan demikian diharapkan wacana intelektual yang dominan dapat menemukan format idealisme perjuangan Papua menjadi satu persepsi guna menghindari ketidak-akuran idealisme sebagai penyebab utama kelemahan utama trategi perjuangan Papua Merdeka hari ini. Hal ini kedepan dapat berdampak pada penyiapan sosok kepemimpinan yang kuat baik secara intelektual maupun secara mentalitas, yang dirasakan krisis. Sehingga dapat melahirkan atau menyiapkan "Pemimpin Kuat Papua" dapat tertanggulanggi nantinya. Proses pencerahan sangat berpengaruh pada idealisme pembebasan, bukan saja secara fisikal tetapi pemikiran secara metafisikal. Sebab persepsi lebih dipengaruhi oleh konsepsi. Jika secara konsepsional memadai maka persepsional mempengaruhi dan itu turut mempercepat pembebasan Papua sesungguhnya, kalau kita menyadarinya.

C. PERAN DAN PERJUANGAN ADAT

Banyak saksi dan para ahli ilmu psikologi sosial mengakui bahwa manusia sesungguhnya tidak "betah", hidup lama-lama didunia ini, jika manusia tanpa mempunyai harapan atau tujuan yang dilandasi oleh suatu sistem kepercayaan yang disebut mitologi atau agama. Tujuan itu sendiri tidak melekat pada benda tapi pada keyakinan, apapun keyakinan itu. Manusia tidak akan pernah bisa bahagia, kalau hidup tanpa ada pegangan dan landasan, mitologi, betapapun palsunya mitos itu, ia memberi makna hidup bagi yang mempercayainya. Manusia untuk itu butuh simbol, alamat, tanda, signal, untuk menghayati makna terdalam dari arti hidupnya untuk mengarahkan semua pengabdian hidup eternal (dunia).

Kebalikan dari tidak percaya adalah nihilisme, suatu kepercayaan juga, tapi percaya pada ketiadapercayaan. Nihilisme sesungguhnya oleh akibat pencerahan dan kepercayaan rasionalisme yang berlebih. Setiap yang tidak dilihat dibuktikan bagi para rasionalis secular adalah mitos. Nihilisme misalnya Albert Camus, atau Friedrich Nietzsche, adalah pengumamannya bahwa 'Tuhan telah mati'. Bahkan Bagi Albert Camus hidup atau mati sama saja, atau mati sekarang atau nanti akhirnya mati juga. Baginya hidup hanya beban lebih baik mati sekarang, tanpa kepercayaan atau harapan masuk sorga atau takut neraka karena sepenuhnya dia tidak percaya akan eksistensi tempat itu. Dia kemudian bunuh diri, karena sama saja tiada pengharapan mati nanti atau sekarang.

Dominasi ilmu dan tekhnologi di Barat dewasa ini sebagai akibatnya seculrisme (paham percaya pada ilmu dan tekhnologi saja), menyebabkan orang Barat banyak yang kurang memperdulikan agama. Malahan modernisme sebagai piranti atau berhalaan baru bagi mereka adalah gejala umum dan menganggap agama hanya urusan kuburan atau mati yang amat jarang di perhatikan adalah problema tersendiri di Barat. Berbeda dengan agama samawi (langit), abramic religian, yang pecaya pada Tuhan. Agama atau lebih tepat religi atau agama alam, bumi (ardhi), seperti Honai Kaneke, Hindu, Budha, Conghucu, Shinto juga mendasarkan kepercayaan terhadap obyek tertentu selain Tuhan, Tuhannya agama samawi (Islam, Kristen dan Yahudi). Tapi agak aneh bahwa agama Shinto adalah agama tanpa konsep Tuhan.

Tapi apakah hanya agama formal sajakah, yang berhak mengisi isi hati kita untuk mendorong kita, manusia, menghayati hidup, agar hidupnya bermakna, dan berpengharapan? Banyak ahli berpendapat bahwa tidak hanya agama, yang memberi makna hidup, bagi arti kehidupan manusia. Adat atau Kaneke, dapat juga memberi arti dan makna hidup. Jangankan Kaneke atau religi semacamnya yang memiliki konsep dan sistem kepercayaan, ideologi komunis yang Anti Tuhan sekalipun, adalah sistem kepercayaan yang memberi semangat para pasukan Unisoviet akan ideologi komunis rela mati berhadapan dengan pasukan Amerika yang Kapitalis.

Oleh sebab itu Papua dengan kekuatan adat, agama apapun yang mencoba menghancurkan atas nama kebenaran agama terhadap pemeluk agama lain dihalangi oleh adat. Adat yang dimaksudkan adalah menyangkut isme (paham), bentuk konkritnya; simbol, signal, alamat, tanda. Konkritnya simbol adat itu ciri-cirinya adalah bahasa, kulit, marga, kepercayaan adat, pekerjaan, mata pencaharian, tempat tinggal atau singkatnya semua yang mengikat persamaan dan persatuan sebagai simbol persaudaraan orang Papua. Semua unsur adat (kaneke) itu adalah sarana (alat) perekat, dikala dichotominasasi oleh agama juga terus mau merajelela sebagaimana kekhawatiran para pemuka agama diatas. Agama tidak boleh mendominasi pemikiran manusia Papua untuk melakukan polarisasi dalam kesatuan adat dan budaya.

Kalaupun ada usaha dominasi suatu agama dengan membunuh Kaneke (jati diri manusia Papua), maka agama demikian harus ditolak. Islam tidak boleh memaksakan diri dengan memasarkan kebenaran keyakinannya pada para pemeluk agama di Papua yang sudah beragama. Jika itu terjadi maka harus di hadapi oleh Adat bukan oleh agama. Oleh sebab itu adat sebagai pemersatu, maka kecenderungan agama yang membunuh budaya dan Kaneke harus di lawan. Islam misalnya mau mengharamkan babi adalah sesuatu yang memaksakan atau akan menghilangkan adat, walau baik menurut islam tapi tidak dapat diterima oleh adat meskipun sekunder posisinya dalam adat. Oleh sebab itu setiap kecenderungan membasmi adat dan budaya oleh agama harus di cegah. Tapi kalau itu menyangkut hal yang primer dan prinsip bukan yang sekunder.

1. Kekuatan Adat dan Keistemewaannya

Dalam kesempatan manapun, kaum pria, para prajurit dan orang-orang berpengalaman, dalam upacara perang selalu menyatakan dengan semangat menyala-nyala. Mereka sering mengucapkan kata-kata seperti ini :


Nai hawolok-Nai Hawolok-Nai Hawolok artinya :
"Damailah negeriku 3X atau Tentramlah alamku".


Ucapan kata-kata ini penulis ingat perasis sampai sekarang ini. Ungkapan ini penulis dengar pada usia 13 tahun (21 tahun yang lalu), saat penulis kelas 6 Madrasah Ibtidaiyyah (SD), Merasugun Asso Walesi, tatkala orang-orang Woma yang dibantu oleh orang-orang Tiom, (Elesiwagha, Wamena Barat) yang datang tinggal bermukim sekitar Kota Wamena datang membakar rumah-rumah orang Walesi dan mau membunuh kami orang-orang Walesi, dalam perang Suku Antar Konfederasi Suku Mukoko dan Walesi- Lanitapo. Saat itu ada seorang tokoh Tua yang pada masa mudanya adalah seorang prajurit perang yang berani, namun kala terjadi perang dan serangan orang Woma dari sekitar Kota Wamena ke Walesi orang Tua ini berumur sekitar 80 tahun. Orang Tua itu namanya Yahelega Asso. Dia tidak takut, walau musuh yang datang usianya muda-muda dan ditangannya menghunus kampak, parang, tombak, panah siap menebas leher siapapun dihadapannya. Yahelega Asso tidak lari karena takut, malahanh dia lari bolak-balik, kesana-kemari persis seperti upacara menyambut tamu dalam adat Wamena.

Sambil lari kesana-kemari tanpa memperdulikan musuh hanya beberapa meter,(mungkin 10 meter), dari mulutnya keluar kata-kata : Nai Hawolok... Nai Hawolok...Nai Hawolok.. dan seterusnya. Saya kala itu disana tapi saya lari disemak-semak, itupun di kastau ibu guru orang Bugis agar saya sembunyi dan lari kesemak-semak agar tidak dibunuh musuh. Saya anak baru usia 13 tahun, tapi dalam mendengar ucapakn kata-kata orang itu, tiada rasa takut sedikitpun dalam jiwa ini kala itu saya rasakan, sungguh luar biasa !

2. Rahasia Nai Hawolok

Kata-kata demikian selalu dan dimana-mana di Lembah Balim, dalam peperangan, terutama di ucapkan oleh mereka yang diserang secara tiba-tiba oleh musuh dalam perang antar konfederasi antar suku di Wamena. Seseorang tokoh, kepala suku, atau Ap Tugi Metek (kepala suku perang), akan ucapakan kata-kata ini, pada saat dihadapannya penyerangan musuh, orang-orang yang haus darah, untuk membunuh datang dihadapannya, dia akan berlari kesana-kemari sambil bersumpah dengan ucapan kata-kata ini, Nai Hawolok... berulang-ulang.

Dia tidak akan lari, makna di balik kata-kata ini sesungguhnya dia, mengundang tidak saja para arwah, leluhur, tetapi juga Tuhan dalam konsepsi dan kepercayaan dia, juga turut diundang, tidak saja, kepada manusia hidup yang memang akan segera datang turut membela mempertahankan diri dari penaklukan daerahnya oleh musuh. Nai Hawolok, tidak hanya mengundang makluk hidup tapi semua tetumbuhan diundang segera hadir turut ambil bagian dalam mempertahankan tanah dan wilayah kekuasaan. Nai Hawolok lebih dimaksudkan agar semua makhluk agar selalu tenang dan waspada penuh siaga, jangan kocar-kacir bila musuh datang menyerang, tapi bersiagalah dan diam ditempat untuk menghadapinya dengan berani.

Semua makhluk diundang ikut serta, kepala perang, membunyikan genderang perang. Kepala perang memanggil, menghadapi musuh, yang di undang tidak hanya manusia, tapi semua, semua rerumputan, pepohonan, semua hewan didalam tanah maupun diatas tanah, termasuk manusia untuk ikut turut hadir menghadapi musuh. Nai Hawolok, sesungguhnya ungkapan oleh kepala perang untuk menenangkan warganya yang tidak hanya manusia tapi juga hewan dan binatang ikut tenang agar tidak panik menghadapi musuh didepan mata.

Ada hal yang menarik adalah kesatuan atau penyatuan antara manusia dan alam "unik", ketika Ap Tugi Metek, mengucapakan kata-kata Nai Hawolok, dia sudah extasi, dia sudah masuk alam lain dalam alam penyatuan wujud kehidupan lain alam perang. Dia sudah tidak menyadari lagi dari pintu mana dia masuk dan dia benar-benar tidak ingat diluar alam dunia darimana dia tadi datang beranjak dan kini dia berpijak dunia lain dalam dunia perang. Dia dialam dunia lain, yang dialam itu menjadi kehidupan dunia lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia tadi. Dalam situasi extasi ini sama sekali tiada rasa takut, yang ada hanya tawa, yang ada hanya permainan, permainan perang suku kedua belah pihak. Tapi begitu perang usai dengan korban dan luka masing-masing pihak baru kesadaran, oh... saya dimana... tadi... saya dalam alam extasi, yang ada hanya berani, menertawan musuh yang lari terbirit-birit karena takut, mengejar dan di kejar, dalam alam dunia lain, sepenuhnya alam permainan. Kita baru menyadari, setelah kembali...kembali ke alam dunia pertama. Tapi perang itu sendiri, adalah dunia lain, dunia permainan, yang tanpa rasa takut akan mati dan luka.

Dunia alam perang memalingkan dirinya dari mana saya datang, yang ada hanya dunia ini, dunia perang. Kepada sebanyak berapapun pasukan akan dihadapi dengan berani, dunia "sana" sudah tidak mengingatkanya takut akan kematian, yang ada permainan, permainan perang. Tetapi yang lebih menariknya, apabila sapaan dan undangannya sampai baik kepada semua makluk pemilik atau penunggu tempat wilayah georafi teritorialnya yang disapa agar ikut serta dan menggabungkan diri ambil bagian dalam membela wilayah kekuasaan. Seakan semua alam beserta semua isinya memberi restu serta ikut hadir, kalau bahaya akan menolong menghindarkannya dan atau dapat mempertahankan wilayah kekuasaanya adalah keistimewaan.

Karena itu dengan semangat kesetanan, tetapi makna kata ini juga turut di undang dan diajak tenang damai adalah semua makhluk baik yang ada dibawah tanah ataupun diatas tanah. Demikian juga semua rumput, pohon tanah turut diundang hadir, tenang, menghadapi, musuh dihadapannya.

D. PERAN NEGATIF AGAMA

Betapa tidak sedikit oleh akibat kefanatikan kepemelukan agama, peperangan (pembunuhan, pemerkosaan, penghinaan harkat manusia), atas nama kebenaran agama telah menjadi banyak bukti terjadi dimuka bumi? Andaikan rumput, gunung, bukit, batu, tanah, pohon, hewan dan lain dapat berbicara, ia dapat bercerita bahwa; Oleh akibat kefanatikan kepemelukan agama ribuan nyawa anak manusia menjadi korban sia-sia atas kebiadaban atas nama kebenaran agama. Agama penyebab utama manusia dibunuh. Agama menyebabkan telah banyak korban manusia menjadi sia-sia. Demikianlah contoh di Ambon, agar kita tidak jauh-jauh menyebut Bosnia atau Perang Salib pada masa silam.

Demikian baikkah agama sesungguhnya? Pasti ada yang membela agama, dengan mengatakan bahwa yang salah bukan agama tapi manusia sebagai pemeluk agamanya. Herankah kita oleh ulah agama, ratusan bahkan ribuan angka yang diberikan oleh Dewan Gereja Indonesia, pembakaran Gereja oleh kaum pemeluk fanatik Islam yang melakukan pembakaran, terutama menjelang Hari Raya agama Nasrani; Natal, Paskah dan lain sebagainya? Bahkan termasuk Pendetanya mendapatkan nasib sial, yang terjadi sejak zaman Soeharto berkuasa. Bahkan sampai dengan pemerintahan sekarang berkuasa, perlindungan rakayat pemeluk agama yang dianggap lebih parah dan paling buruk. Perlindungan kaum pemeluk agama bukan agama maien streem sangat kurang oleh pemerintah, menjadi alasan benar kekerasan oleh agama menyebabkan banyak korban sia-sia, oleh akibat kepemelukan agama yang fanatik buta. Semua ini menjadi contoh keburukan agama atau oleh akibat kepemelukan fanatik buta agama.

Kalau begitu kenapa kita mau mempercayai agama sebagai baik? Hanya agama sajakah yang membawa kita pada kebaikan, harapan dan tujuan hidup? Menurut saya tidak ! Adat betapapun dianggap palsu dan rendah oleh agama dapat membawa juga kebaikan, tujuan dan harapan, asalkan kita tidak membakar hangus Adat kita, kita dapat berpedoman sebagai penuntun arah, tujuan, alamat, signal, menuju pada obyek kepercayaan untuk mencapai hidup bahagia, hidup ada magna, hidup ada arti. Agama sesungguhnya kepercayaan pada obyek transendental, diluar dari kenyataan disini. Agama adalah kepercayaan pada hal-hal yang bersifat eskatologi (Sorga, Neraka, Tuhan, Maikat, Setan dan juga Iblis) yang tidak dapat dibuktikan oleh siapapun manusia di dunia.

Kita dianjurkan oleh agama mempercayai begitu saja, tanpa pernah merasa benar, atau sudah merasakan bagaimana sorga, atau panasnya api neraka itu. Karena itu agama sesungguhnya juga adalah idealisme, idealisme yang memproses terus untuk memberi janji, janji hidup manis sorga dengan para bidadari dan ketakutan kita akan apai neraka, tanpa pernah kita tahu persis benar ada atau tidak tempat itu. Bahkan dimana letak tempat-tempat itu beserta Sang Pembuat dan Pemilik Tempat itu (Tuhan). Siapa saja manusia tidak tahu, kecuali kembali kepada mitos (percaya). Agama adalah suatu sistem kepercayaan tanpa pernah kita mengalami benar-benar kebenaran ceritera semua itu. Dogma kepercayaan agama terus ditanamkan oleh para ulama, pendeta dan pastor dari sejak kita belum lahir sampai kita mati, ceritera (mitos) terus akan begitu.

***
Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.