Rabu, 19 Disember 2007

IDEALISME PAPUA MERDEKA

Terimakasih Saudaraku, Bung Husaini Daud (mohon maaf sapaan ini jika kurang berkenan). Insya Allah idealisme saya belum pernah mau luntur. Saya tetap idealis. Tulisan Saudara Husaini Daud (atau Bung, m nadzar), karena bagus dan berbobot saya kirim ke redaksi kabar papua dan sudah dipublikasikan. Sebelumnya oleh redaksi menyebut saya sebagai penulisnya. Maka saya klarifikasi dan sudah dikoreksi dengan menyebut Saudara sebagai penulis. Saya sampaikan kepada kawan redaksi agar menjaga hak intelektual penulis sesungguhnya. Dan A-Hamdulillah tulisan ini bertengger di situs :www.kabarpapua. com.

Saya karena apa, entah, tapi tetap mencintai diri sebagai Muslim Papua, walau kadang saya keluar dari dogmatisme ajaran islam misalnya kepercayaan setelah mati dan rukun iman lainnya (astaghfirullah, mungkin saya, murtad dan sudah kafir). Karena itu bila saya menulis disini sebelumnya, saya nyatakan kepada semua pemeluk Agama, bahwa saya berbicara dan menulis sebagai bukan seorang pemuluk agama, agama apapun. Untuk itu saya "keluar sebentar" sebagai pemuluk agama untuk berbicara bebas, atau saya campakkan agama sekaligus dalam diri saya, terutama agama dogmatisme yang membelenggu kebebasan dari agama samawi.

Saya memang menyukai pemikiran Ibnu Rusyid daripada, tapi juga menyukai Imam Al-Ghazali. Dalam ilmu kalam kemampuan berfikir Ibnu Rusyd sangat mengagumkan. Ibnu Rusyyd mempertahankan argumentasi tentang wujud adanya Tuhan dengan argumentasi rasional daripada mazdhab Asy'ariyah dari Ahlusunnah Waljama'ah yang dianut Imam Al-Ghozali, dan kebanyakan anutan muslim Asia Tenggara, (Indonesia, Philipina Selatan, Pathani/Thailand Selatan, Brunai Darussalam dan Malaysia) juga termasuk Bangsa Papua Barat.

Jika di amati Imam Al-Ghazali, sesungguhnya sangat paham ajaran filsafat Aristoteles terutama logikanya. Hal ini terlihat dari misalnya kitab karangannya yang berjudul Al-Mi'yar. Imam Ghozali menunjukkan sikap sangat rasional dan sangat logis dalam meruntuhkan argumentasi para filosof, walaupun dia tidak mengambil sumber logika dan filsafatnya langsung dari karya Aristoteles, tapi melalui karya terjemahan Ibnu Sina dan Al-Farobi -yang keduanya dikenal sebagai filosof muslim di Timur -yang sesungguhnya tidak dimengerti atau salah dimengerti maksud mereka oleh Imam Al-Ghozali sebagaimana dalam pembelaannya Ibnu Rusyd -filosof Islam wilayah barat (Andalusia, Spayol) -dalam kitabnya yang terkenal "Attahafut wattahafut (kekeliruan dalam kekeliruan).

Malahan Ibnu Rusyid menuduh Al-Ghazali mengunakan ilmu logika dan filsafat Aristoteles dari pihak kedua, yang salah dimengertinya itu untuk mengkafirkan para filosof, adalah suatu tindakan gegabah dari Al-Ghozali terhadap para filosof baik wilayah Timur maupun wilayah Barat Islam, tapi hanya, sebagai pisau untuk membabat pemikiran para filosof muslim, terutama berhadapan dengan Ibnu Rusyid di satu pihak dan di lain pihak dengan para filosof muslim wilayah timur (Ibnu Sina dan AL-Farobi). Menurut Imam AL-Ghazali dalam kitabnya At-Tahafut Al-Falasifah bahwa penyebab kafirnya para filosof ada 20 alasan. Demikian yang berkembang pada abad pertengahan dalam ilmu kalam untuk membuktikan wujud Allah SWT, sebagai pencipta apakah Dia baharu atau juga Qodim diantara lainnya dalam khasanah pemikiran murni produk filsafat Islam.

Tapi Ihya'ulumuddin- nya, Imam Al-Ghazali, oleh sebahagian orang dianggap dapat mematikan kreatifitas, nalar dan pikir kaum muslimin. Bahkan kitab Ihya 'Ulumuddin dianggap sebagai "biang kerok" kemunduran kaum muslimin dewasa ini berhadapan dengan Barat. Walaupun demikian anggapan sebahagian inteletual muslim kini, saya berpendapat bahwa kitab karangan Al-ghazali, Ihya 'Ulumuddin, begitu mempesona merasuk hati sanubari kita yang terdalam dan dan mempribadi menuju ma'rifatullah. Maha luar biasa dari Imam Ghozali adalah mistisme rasionalnya yang saya rasa inklud dalam budaya persia yang mengagumkan tinggi.

IDEALISME PAPUA MERDEKA

Menyangkut idealisme Papua merdeka, saya yakin bahwa selama orang Papua ada, idealisme Papua merdeka tidak akan pernah mati, atau bahasa gampangnya, kapanpun Papua tetap merdeka, kalau belum juga merdeka, sebagai idealisme, maka Papua Merdeka secara terus menerus diperjuangkan antar generasi, sepanjang masa. Hari qiyamah (kiamat), dimaksudkan, senantiasa jika benar bahwa tidak pernah benar ada tapi akhir dari kehidupan manusia adalah kematian pribadi-pribadi, atau Qiyamah adalah dimaksudkan bagi saya reintrepretasi subyektif (negara Papua berdiri).

Bahwa upaya rekontruksi (membangun kembali) paradigama (landasan) perjuangan Papua menuju kemerdekaan dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa, yang terpenting adalah untuk merumuskan bukan saja metoda perjuangan Papua merdeka apa dan jalan mana, tapi menyangkut, seluruh dimensi kehidupan sosial politik, dengan semangat pelibatan sampai pada level rakyat di akar rumput. Sehingga semangat resistensi adalah semangat rakyat semesta, agar bagaimana kedaulatan benar-benar terwujud tanpa hambatan sebagaimana terjadi kini adalah jalan mulus dan terangnya kesiapan suatu bangsa yang mau berdaulat penuh. Darimana sumber nilai yang menjadi dasar dari usaha gerakan perjuangan? Sumber nilai yang harus direkontruksi berasala dari nilai-nilai lokal sebagai yang berkembang. Sumber nilai itu bail nilai papua maupun nilai baru yang diterima sebagai yang baik dapat di jadikan sebagai sumber kekuatan dijadikan landasan rekontruksi yang dimaksudkan disini.

Untuk itu aspek-aspek penegakan demokrasi dan HAM ditengah rakyat Papua yang terus berubah menjadi kebutuhan penyesuaian pergerakan perjuangan dengan membuka ruang pelibatan diri semua komponent komunitas Papua dewasa ini sebagai bagian tak terpisahkan dari gerakan perjuangan itu sendiri adalah tidak lain dari usaha nasionalinalisasi Papua. Demikian pada akhirnya terwujud dan pembentukan nasionalisme Papua, secara sistematis menemukan formatnya yang ideal adalah penting artinya bagi kematangan perjuangan. Meramu kembali nilai lama Papua dengan nilai baru adalah suatu kemestian pada saat dunia terus berubah dan meng-global dewasa ini dan akan datang. Sebab sering diingatkan bahwa yang terus abadi adalah hanya "wajah Tuhan", selainnya dalam keadaan terus berubah hukum antropis dalam filsafat Yunani mengajarkan demikian yang kemudian teorinya diambil para filosof islam perdebatan ilmu kalam, (Aqo'id, Ushuluddin, Tauhid).

Idealisasi mewujudkan demokrasi dan penegakan HAM bukan seharusnya kelak Papua berdaulat saja, tapi senantiasa dari sekarang dalam memformat gerakan perjuangan aspek demikrasi dan HAM includ didalamnya. Demikian idealnya membangun gerakan perjuangan menjadi keharusan untuk dirumuskan sekarang sebagai bagian dari kerangka dasar metoda perjuangan Papua menuju kadaulatan penuh. Usaha demokratisasi dan penegakan HAM yang dimaksudkan disini adalah kebutuhan bukan saja sesudah kedulatan terwujud, namun kedaulatan, malahan tidak akan terwujud tanpa melibatkan semua kelompok, adalah kiat-kiat dan strategi baru, menunjukkan kematangan suatu gerakan, dapat diperhitungkan sebagai suatu gerakan yang cukup significant dan memadai pada dirinya.

REKONTRUKSI PARADIGMA PERJUANGAN

Metoda perjuangan seharusnya, jadi harapan semua, dan tuntutan kita, bukan kata-kata mati tanpa makna, "perjuangan damai", tapi rakyat terus mengalami kekerasan tanpa bagaimana kedamaian itu. "Perjuangan damai" dirasakan nyata bukan suatu kedamaian. Sebaliknya juga harus, jadi wajib maksudnya, bukan kekerasan, perjuangan ada batasan makna dan terjemahan dalam praktek lapangan yang itu memungkinkan bahwa ada proses perjuangan damai. Bukan dengan menerima semua klausul tawaran kolonialis dengan membiarkan idealisme sendiri menjadi mati dan terbunuh oleh karena menerima semua solusi penawaran dan membiarkan idealisme sendiri berjalan ditempat alias tidak ada makna. Karena itu sikap perjuangan damai, dengan membiarkan kekerasan sesungguhnya kekerasan baru.

Sedapat mungkin, kalau dapat seluruhnya, para pejuang Papua bersikap tegas, dapat mempengaruhi seluruh rakyat agar bersikap menolak tawaran sebagai solusi pihak lawan adalah sikap penting sebagai kekuatan dan sekaligus senjata perjuangan damai mendapatkan makna, agar perjuangan merdeka untuk berdaulat penuh menjadi ada artinya dan dapat diperhitungkan. Maka sesungguhnya perjuangan damai dalam praktek dan perjungan dilapangan dengan berbagai manuver, lobby-lobby selain kampanye internasional yang bukan kekerasan, mendapatkan makna yang berarti di tengah rakyat, agar didukung dan penjajah di cegah dari sikap rakus dan merajalelanya di tanah jajahan oleh tekanan internasional.

Kesulitan melibatkan oleh akibat sekat-sekat primordialisme gerakan perjuangan Papua untuk mendapatkan dukungan semua rakyat dan kurangnya ruang untuk melibatkan semua rakyat, sehingga muncul apatisme, bukan sikap peduli terhadap perjuangan adalah adanya elitisme perjuangan di tingkat para pemimpin Papua, walau dalam hal-hal khusus dipertahankan demikian harusnya. Disamping tiadanya kaderisasi dan orgnisasi yang membawahi seluruh gerakan perjuangan sampai ke tingkat seluruh rakyat semesta, menjadi kebutuhan rekontruksi gerakan perjuangan Papua dewasa ini dan kedepan.

Organisasi massal sebagai sarana koordinasi, sosialisasi dan konsolidasi seluruh warga rakyat Papua dapat dilibatkan dibawah satu payung, sebagai organisasi bayangan negara Papua Barat yang di impikan untuk di wujudkan adalah kebutuhan membenahi tidak saja kelak Papua berdaulat, tapi sejak dini dalam gerakan perjuangan dijalani. Inklusifitas tokoh pejuang Papua, dan usaha mau mengakui, semua sebagai bagian tak terpisahkan Papua adalah menunjukkan suatu kematangan gerakan politik dan itu dapat diperhitungkan kawan maupun lawan.

Dalam rangka ini penting ada rekayasa budaya lokal untuk memaknai demokrasi yang dapat digali dari berbagai perspektif budaya lokal dan budaya baru yang baik dan bermakna, sehingga ada artinya bagi Papua termasuk dari agama apapun samawi. Demikian Perjuangan damai Papua mendapatkan arti perwujudannya sebagai demokratis dalam budaya sosial berkembang sementara. Organisasi di level paling bawah mestinya ada rekaya dengan merangkul dan mengakui semua warga sebagai bagian termasuk dalam gerakan politik. Berarti disini ada usaha rekayasa sosial. Rekayasa sosial dimaksudkan suatu usaha para pemimpin untuk merumuskan, rumusan perjuangan baru dengan merekontekstualisasikan nilai-nilai lokal disatu pihak dan merespons dengan sikap positif untuk menerima transformasi nilai-nilai baru sebagai penegakan nilai-nilai HAM dan demokrasi.

Kontekstualisasi nilai-nilai budaya dan adat bagi Papua adalah usaha kita senantiasa pada saat ini, relevansinya, pada saat mana usaha sama di Barat melahirkan wacana pos modernisme sekarang, oleh akibat modernisme rasionalistik yang menghegemoni dengan akibat negatif modernisme. Karena kita sebagai sebuah bangsa tentu saja, dan seharusnya memang demikian, bahwa arus transformasi nilai baru global yang berbungkus budaya baru tak terhindarkan bagi siapapun, dimanapun dunia manusia, baik infomasi dan ilmu pengetahuan. Bagi negara yang belum berdaulat seperti Aceh dan Papua kebutuhan saat ini adalah usaha bagaimana merekontruksi dan meretas jalan perjuangan dengan mendasarkan landasan perjuangan dengan meramu kembali nilai-nilai lokal dengan semangat masa kekinian (kontemporer) adalah urgent.

Usaha mewujudkan dengan merumuskan teori perjuangan, yang teori itu haruslah kontekstual bagi terbentuknya kedaulatan adalah amatlah mendesak dewasa ini, yang harus kita hadapi, dan kita rasakan senantiasa. Saya berbendapat dan sependapat dengan Bung Husaini, kalau saya tidak salah kalau Bung juga berpendapat demkian saya, bahwa usaha kontekstualisasi budaya dan tradisi lokal amatlah penting digeluguti dewasa ini untuk kemudian ditransformasi dengan nilai-nilai sosial baru, adalah rekontruksi gerakan perjuangan, guna mencari, atau sebagai jalan lain menuju pembebasan Papua (dan juga Aceh?), bukan dar lain, tapi dari hasil responsi nilai lokal dengan penyesuaian perubahan zaman .

Dan usaha demikian (jalan menuju arah kesana) itu bagi Aceh sudah dimiliki dengan dimilikinya akar budaya islam yang kuat menjadi menyatu dalam adat dan budaya Aceh adalah kekuatan budaya yang dimaksudkan disini. Demikian jugakah dengan yang dimiliki Papua? Adalah suatu pertanyaan, dan saya berpendapat Papua tidak memiliki akar budaya agama kuat dan menyeluruh melingkupi rakyat sebagaimana Aceh yang karena pantas akhirnya melaksanakan Syari'at Islam, terlepas dari sandiwara pihak Indonesia Jawa (lihat bantahan Muhammad Al-Qubro, UU Syariah NAD, "undang-undang laba-laba"). Walau saya tetap akui ada dimensi-dimensi tertentu sebagai pintu dimasukinya unsur kolonialisme, namun hipotesa saya dapat dibuktikan dari ketegaran jiwa para pemimpin dan Tokoh Aceh, baik yang menerima perjanjian Helsinki maupun menolak menerima Otsus NAD dengan pihak penjajah Indonesia Jawa (memimjam Istilah Bung Husaini).

Papua dewasa ini belum memiliki akar budaya bersama yang itu sebagai alat perekat sekaligus pengikat bagi kekuatan, sehingga dapat dijadikan landasan perjuangan sebagaimana Aceh dengan perekat kekuatan akar islamnya. Kekuatan budaya sebagai alat pengikat bersama sebagaimana di Aceh tidak kami miliki di Papua Barat. Akar dan pola budaya sebagai kekuatan untuk Papua selalu masih didapati bersifat parsialistik yang dimiliki dewasa ini. Inilah yang menyebabkan kelemahan yang menyentuh langsung bagi perjuangan Papua, walau ruang untuk didukung oleh mayoritas Kristen Internasional Barat di duga kuat, (seharusnya demikian, sebaliknya yang didapati, kenyataan di Papua hari ini, ketiadaan dukungan internasional yang kuat).

PENYEBAB GAGALNYA PAPUA MERDEKA

Di Papua Barat pemerintah penjajah (baca, Indonesia) lewat aparat ketangan-panjangann ya di daerah sebagai koloni, para aparat pemerintah memberi angin, biasanya kepada mereka yang agak bisa "dikibulin", dari kelompok pemuka agama, juga aparat koloni daerah dari orang Papua sendiri membiarkan diterimanya usulan MRP yang rada kurang kerjaan dengan usulan dan kehendak aneh yang absurd. Masyarakat Papua yang masih terbelakang secara pendidikan adalah tempat yang empuk bagi pemerintah Indonesia melalui aparat koloninya yang di daerah bagi usaha mendorong dan menggiring kelompok agama untuk masuk melakukan hambatan gerakan perjuangan Papua Merdeka dari dalam, dan biasanya lewat lembaga agama apapun.

Salah satu contoh yang paling gampang adalah pemenerimaan para tokoh agama dan juga sekaligus dorongan agar jalan perjuangan Papua ditempuh dengan jalan perjuangan damai. Perjuangan damai sesungguhnya sangat tidak sejalan dengan budaya dan karakter adat Papua sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan dan mentalitas adat unik sendiri. Karena itu yang mudah tertarik dan gampang dipengaruhi oleh penjajah Indonesia adalah masyarakat yang berlatar belakang Ustadz (atau Haji), Pendeta, Pastor dari kalangan Agama yang dogmatis.

Penyebab mundurnya gerakan perjuangan Papua merdeka di tingkat internasional dan tidak banyak berhasil mendapat pengikut bagi organisasi perlawanan rakyat sebagai usaha bersama rakyat adalah ketidakjelian dan kesalahan penerapan metoda perjuangan bagi gerakan resistence rakyat ditingkat akar rumput adalah di cekokinya penerapan teori perjuangan asing. Penerapan teori perjungan asing bukan dari semangat dan mentalitas rakyat penyebab utama kelemahan gerakan perjuangan gerakan Papua Merdeka hari ini ada. Perjuangan gerakan Papua akhirnya terjebak pada elitisme. Bukan lagi perjuangan dan perlawanan rakyat semesta yang seharusnya. Karena gerakan perjuangan atau perlawanan bukan dari akar budaya sendiri, budaya Papua, tetapi budaya agama yang sesungguhnya asing bagi mayoritas penduduk Papua, menyebabkan gerakan perjuangan berjalan stagnan dan sangat elitis.

Masalah lain bagi Papua adalah tidak meratanya kesempatan pendidikan dan dan ini masalah paling mendasar, bagi rakyat Papua, sehingga mempengaruhi cara berfikir langsung. Ketidak merataan intelektual sebagai penyebab lain para petinggi Papua menerima dan mudah dipengaruhi misalnya lewat agama, tapi bukan pada orang Papua asli biasanya, tapi lewat tokoh agama non Papua, yang cara berfikirnya singkat dan dipenuhi oleh teologi yang sangat dogmatis. Para teolog non Papua memiliki idealisme bukan idealisme Papua, karena itu biasanya mereka mau mengiring orang Papua agar Papua dan dan rakyatnya bagian tak terpisahkan dari Indonesia, biasanya para tokoh muslim dari Indonesia, tokoh Katolik, dari Jawa, para tokoh agama dari Batak dan para tokoh Protestan dan Katolik dari Ambon dan Menado juga demikian.Salah satu contohnya adalah penerimaan orang Papua pada Perda; "Manukwari Kota Injil", di Manukwari.

Dimaklumi bahwa dewasa ini di Papua Barat dan Para petinggi dari gerakan perlawanan dimasuki dan diduduki sebagai tempat empuk oleh golongan yang hanya "terbatas" kepengikutan dan pengaruhnya di tingkat masyarakat bawah. Saya memaklumi karena doktor dan sarjana yang kita miliki saat ini di Papua yang terkemuka adalah tokoh dari latar belakang pendidikan oleh lembaga Agama, menjadi hal ini menjadi demikian, padahal kita tahu bersama bahwa di negara Barat umumnya secular, bahkan menganggap urusan agama adalah masalah frivacy (pribadi). Dominasi begitu menghegemoni usaha pembebasan Papua dengan pada jajaran elit pejuang Papua sebagai akibat langsung tidak ditemukannya perumusan jalan perjuangan Papua bukan berdasarkan budaya yang hidup dan yang dianut masyarakat melainkan agama yang parsialistik bagi penghayatan para pemeluknya.

Agama Kristen dan Lembaga Gereja pada mulanya adalah, penggerak utama dari perjuangan Papua Merdeka. Indonesia sebagai penjajah melihat ini sebagai bahaya, maka dimasukilah semua lembaga agama (Kristen) dan dipasang orang-orang non Papua sebagai pejabat di semua lembaga pengambilan kebijakan agama. Hasilnya semua keputusan lembaga Gereja sebagai penggerak perjuangan Papua Merdeka dapat terdeteksi dan akhirnya mudah diintervensi untuk dipatahkan. Apa yang terjadi hari ini, dan fenomena"MANUKWARI KOTA INJIL" di Papua Barat sebagai anti thesis, dari dominasi lembaga Gereja yang memiliki jaringan Internasional sebelumnya, sebagai penggerak utama perlawanan gerakan perjuangan Papua Merdeka dapat dipatahkan karena kurang begitu kokoh berpengaruh dalam adat dan budaya Papua sebagai sarana perekat semua element suku dan bangsa Papua yang memang pluralistik adanya.

Dirasakan kebutuhan sarana yang ampuh bagi tonggak dan landasan perjuangan sebagaimana dipunyai gerakan perjuangan saat ini, sama artinya menunggu pemunahan bangsa dan kekayaan alam, karena hal itu dapat mengulur-ulur waktu dan rakyat semakin teralienasi dari akar budaya sendiri memungkinkan dapat terjadi. Jika Papua dibiarkan dengan apa yang dimikili sekarang dan membiarkan untuk tidak segera membanting stir menuju haluan lain bagi usaha menempuh perjuangan. Maka bukan tidak mungkin Papua menunggu kepunahan dalam arti sesungguhnya menjadi sama dengan warga Aborogin dan Indian Amerika.

Padahal kita tahu bersama bahwa, yang terjadi negara-negara Barat Kristen sebaliknya, revolusi gerakan humanisme pada abad ke 18 di Prancis sebagai gerakan perlawanan terhadap Gereja yang dominan, telah melahirkan paham keawaman. Laicisme atau paham keawaman di Prancis telah meruntuhkan lembaga otoritas kebenaran mutlak Gereja dan Raja yang dominant adalah awal dimulainya egalitarianisme, humanisme dan leberalisme berhadapan dengan lembaga Gereja dan Raja di Barat-Eropa.

Dominasi dan hegemoni pemikiran rasional averoeisme telah membangkitkan kembali Eropa, dengan konsekoensinya pemisahan antara dua, yaitu lembaga gereja dan negara, sebagai kebenaran ganda (double thrush). Demikian akibat ilmu pengetahuan dari islam yang mempengaruhi cara pikir Barat Eropa abad dari 12 oleh dorongan pemikiran averoisme (baca Ibnu Rusyd) yang menghegemoni Eropa abad pertengahan, yang kemudian menurut Gereja pemikiran rasional Ibnu Rusyd dianggap sebagai "bahaya" dan "kafir". Namun dari anggapan Gereja yang sebelumnya menganggap Averoisme "kafir" pada dan "bahaya", pada akhirnya menjadi dominan di Eropa pada abad pertengahan yang melahirkan apa yang kemudian dinamakan era renainsance melahirkan pencerahan (Aufklarung) di Barat, yang puncaknya positifisme empiris lingkaran Wina (Wina circle). Demikian kenyataan sementara di Barat melahirkan suatu konsekuensi dorongan rasionalisme oleh paham humanisme yang dominan di Barat.

Secularisme yang dimensinya adalah, humanisme, liberalisme dan egalitarianisme melahirkan suatu sikap masyarakat rasional di Eropa. Namun rasionalisme yang melahirkan era modernisme dengan majunya sciance dan tekhnologi di Barat puncaknya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memudahkan hidup manusia menjadi piranti (persembahan baru) baru bagi masyarakat Barat adalah satu masalah tersendiri di abad ini. Dan hal itu menjadi otokritik di Barat sendiri, dewasa ini para ahli sosial melahirkan gagasan baru yaitu dengan lahirnya gagasan Pos Modernisme.

Dewasa ini masyarakat penganut Kristen jarang mengunjungi gereja didapati terjadi di Barat. Gereja adalah museum bagi anak muda, dan hanya pada hari libur tertentu dikunjungi sebagai museum, yang dapat di beli imigran muslim Timur Tengah, Muslim Asia atau Turki yang dapat dijadikan Mesjid. Tapi justeru sebaliknya, di Papua semangat Injil dikipas-kipasi orang kristen non Papua yang biasanya mendapati diri sebagai minoritas di Indonesia dan di Papua di jadikan sebagai tempat empuk dan mencoba mengindonesiakan orang Papua lewat pendekatan agama dengan label-label aneh seperti Salib dan Injil contoh kasus di Manukwari yang kurang disadari para intelektual Papua.

Hal ini tidak saja terjadi bagi lembaga Agama Kristen, seperti Gereja dan rencana mau menetapkan "Manukwari sebagai Kota Injil" di Pulau ujung Timur ini . Malah lebih parah lagi hal ini terdapat dalam masyarakat penganut agama Islam. Berbicara tentang Islam dan Muslim, sangat lebih parah dari apa yang dipaparkan mengenai masyarakat pendukung dan pendorong "Manukwari Kota Injil". Masyarakat Muslim terdiri dari dua kelompok, pendatang dan pribumi. Yang disebut kedua kategorisasi dan sikap serta interpretasi islamnya di bagi lagi dalam berbagai kelompok antara sesat, tersesatkan, dan jahil murokkab (tidak tahu kalau dirinya tidak tahu).

Muslim Amber mayoritas, walaupun sebahagiannya juga, penting disadarkan bahwa perjuangan Papua menyangkut semua mereka dan juga kewajiban (fardu 'ain) bagi penegakan nilai-nilai islam universal. Islam dan Muslim apalagi intrepretasi nilai-nilai kebenaran universal yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rosul, boleh jadi hasilnya yang ada saat ini amat jauh berbeda yang diharapkan penulis disini dengan masyarakat Muslim Papua. Masyarakat Amber (muhajirin) sangat amat berbeda dalam banyak hal menyangkut penafsiran dan utamanya pemahaman. Hal ini banyak dipengaruhi faktor sekunder lainnya yang melahirkan sikap apatisme dalam rangka mengambil bagian gerakan perjuangan Papua bagi kalangan Amber.

Apalagi petugas sebagai alat penjajah yang didatangkan sebagai penjaga kedaulatan wilayah jajahan, bukan menjadi tema yang cocok pembahasan disini. Kelemahan umumnya Muslim Papua semakin menjadi nyata dengan adanya hegemoni penafsiran Islam tunggal dan diterimanya semua penafsiran itu adalah bahwa kita tahu Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam, penduduk muslim Papua dininabobokan, bahkan banyak kalangan muslim belum menyadari kalau dirinya di jajah Indonesia adalah kenyataan pahit bagi Muslim Papua yang tersesatkan.

KECEROBOHAN AGAMA

Injil yang di bawa oleh Otto dan Geisler dari Jerman yang selama 6 bulan mampir dan tinggal dulu di Batavia (Jakarta), sebelum melanjutkan perjalanan penginjilan ke Papua, hanya dua abad, yaitu dari tahun 1885. Proses penginjilan tidak langsung dimulai. Mereka bertahun-tahun menjadi tukang kayu dan tinggal di Manakwari (Benny Giay,1997). Penginjilan secara merata dengan berbagai fasilitas untuk menjangkau daerah-daerah terpencil baru dimulai pada zaman penjajahan Belanda pada tahun 1900-an sampai hari ini. Artinya Papua masih jauh dari nilai Injil yang di idealkan para tokoh Agamawan non Papua yang kemudian direspon orang Papua yang memang berindentitas Kristen. Hal ini lebih diperparah lagi dengan kipas-kipasan oleh pemerintah.

Padahal semua orang tahu dan sebagaimana banyak laporan para ahli bahwa Islam telah lama ada Agama Islam dari abad ke 15. Kerajaan Islam walau hanya di daerah pesisir Selatan para penganutnya terdiri dari orang Papua sendiri yang berkulit hitam dan berambut keriting, tapi juga ada yang sudah campuran antara Arab, Ambon dan Asia (Sulawesi). Penyebar Islam di Fak-Fak sendiri sebagaimana di laporkan oleh Ali Athwa (2007) terdiri dari beberapa kalangan salah satunya adalah seorang saudagar dari Aceh. (Apa Agama Orang Papua? Ali Athwa, 2007)

Tapi juga harus di akui bahwa Islam hanya terbatas di daerah Pesisir Selatan (Fak-Fak, Bintuni, Kokoda, Kaimana, dan Raja Ampat kepulauan). Penyebaran Islam belum merata keseluruh pelosok Papua dikarenakan oleh faktor alam dan hanya berhikmat di daerah Pesisir Selatan Barat itu saja. Bahkan kerajaan islam disana masih tunduk pada kesultanan Turki Utsmani, dan ada jaringannya dalam hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Islam di nusantara termasuk Aceh dan Johor Malaysia. Hal ini dimungkinkan oleh perdagangan yang ramai dari Gujarat dan Hadramaut pada Abad 13 sampai dengan abad ke 18, yang kemudian hal itu diakhiri oleh kedatangan Spayol-Eropa.

Jika diamati dan dirasakan bahwa sesungguhnya pengaruh agama Kristen kalau itu memungkinkah, maka pengaruh itu kokoh di Utara antara Kepulauan Biak dan Serui laut, dan sebahagian kota Jayapura. Katolik maka Selatan Timur dan Merauke dan sekitarnya ia mendapatkan tempat dan juga kokoh. Hal demikian tidak dengan sendirinya terjadi seluruh wilayah Papua. Apalagi sebagaimana diketahui bahwa penduduk terpadat dan dominant terdapat di daerah-daerah yang sulit di jangkau, terutama di daerah Pegunungan Tengah Papua.

Tidak sebagaimana daerah sedikit dengan jumlah penduduk minoritas disebut. Mayoritas penduduk Papua sebagaimana yang nyata dan hidup dewasa ini adalah dengan dominasi nilai adat dan budaya Papua asli non agama. Bahkan para ahli agama yang melakukan penelitian Agama dan budaya orang Fasifik menunjukkan bahwa; "Agama bagi orang Papua adalah alat atau sarana bagi pencapaian perstis, bukan semata-mata karena ia menerima Yesus atau Muhammad sebagai Jalan dan Hidup, melainkan lewat jalan ini orang Papua mencapai suatu tujuan lain, prestis" (Benny Giay, Gembalakanlah Umatku, 1997).

Agama bagi masyarakat Fasifik dan Papua lebih khusus adalah sebagai jalan. Bukan jalan kebenaran tapi jalan untuk prestis. Agama sebagaimana diakui Benny Giay (1997), bagi orang Papua dewasa ini adalah jalan menuju karena kebenaran agama, tapi untuk suatu tujuan lain, (prestis). Agama bagi masyarakat suku di Papua bukan sebagai nilai hidup yang di hayati karena kebenaran ajaran agama, tapi? Lewat agama seorang kepala suku, ondoafi, ondofolo, kepala kampung, dapat membawa masyarakat, dan masyarakat mengakui dirinya (kepala suku), atau disebut namanya, dengan demikian prestis seseorang diakui, entah apapun prestis itu, tapi orang besar, sebagai seorang transformator, adalah predikat para pemuka masyarakat dalam suku di Papua, seorang tokoh dianggap terkemuka oleh masyarakat sukunya.

Karena itu Agama sebagai juga sarana transformasi bagi dunia baru kini yang terasa gogah. Dalam keadaan kini oleh akibat hegemoni budaya penjajah dan Agama yang menyebabkan krisis nilai. Maka seorang kepala suku meneguhkan dan menempuh berbagai jalan termasuk jalan agama kini, untuk membawa keluar menjawab tantangan zaman yang mengalienasi warga sukunya. Demikian yang saya amati ada pada Kepala suku Haji Muhammad Aipon Asso saat ini, tatkala Indonesia datang menjajah Papua, hal demikian juga terjadi pada sosok Abdurrahman Kosay, Ismail Yenu, Haji Irvan Wantete, Musa Asso dan para tokoh agama Nasrani di Lembah Balim Wamena seperti Ukumearik Asso dari Hitigima Lembah Balim Selatan dan Kurulu Mabel dari Kurulu di Lembah Balim Utara.

Oleh sebab itu MRP yang dianggap sebagai lembaga refresentasi kultural ditakuti pemerintah seharusnya diperkuat, dengan memberi ruang untuk menerjemahkan bagi terwujudnya nilai-nilai Papua asli, bukan nilai lain yang asing dan baru tapi juga tidak refresentatif, apalagi tidak membawa kemajuan perjuangan Papua Merdeka. Padahal itulah MRP seharusnya sebagai tempat apalikasi nilai-nilai Budaya dan Adat sebagai bagian dari Mentalitas perjuangan Papua Merdeka yang melekat.

Sebagaimana MRP sebagai perjuwudan adat dan budaya Papua tidak ada satupun rekomendasinya terhadap pemerintah penjajah Indonesia menyetujui misalnya; rekomendasi agar bendera Bintang Kejora, Lagu Hai Tanahku Papua, dijadikan sebagai lambang kultural, seperti juga agar usulan MRP, PT Freeport ditutup dan lakukan kontrak karya ulang dengan melibatkan masyarakat Papua sebagai pemilik ulayat dilibatkan penuh dalam kontraka karya ulang itu ditampik Jakarta. Itu artinya MRP memiliki bergaining posision dan diperhitungkan Penjajah sekaligus ditakuti secara bisu alias diam. MRP walaupun juga ada wakil agama, misalnya ada yang mewakili Islam, Kristen Protestan dan Katolik, yang duduk semua di lembaga ini adalah semua orang Papua, tidak ada yang duduk di lembaga ini non etnis Papua sebagai lembaga suara hati rakyat Papua sesungguhnya.

Hal ini sebaliknya dengan di Barat, Aceh Darussalam sebagai kota "Serambi Mekkah", bukan sebagai hal baru. Adat dan Budaya Aceh sangat includ dengan nilai islam. Itulah budaya Aceh. Nagri Aceh Darussalam (NAD) telah menyatu dan islamlah budayanya. Maka ketika kemudian pelaksanaan "syariat islam" adalah sangat masuk akal dan itulah yang di tuntut Daud Beureuh, yang menjadi landasan dan semangat perjuangan rakyat Aceh dan membuat ketakutan Soekarno dan Nasionalisme Indonesianya berlandaskan sistem thoghut yang ditolak para ulama Aceh sejak dini pendirian negara Indonesia dengan konsep NKRI-nya yang bukan islamis sebagaimana dikehendaki rakayat dan Ulama Aceh tapi Hinduistik khas Jawa

http:suaramuslimpapua.blogspot.com

Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.