Isnin, 7 Januari 2008

ISLAM DAN BUDAYA PAPUA

Memang kadang iman menurut Imam AL-Ghozali, kadang naik-kadang turun. Tapi soal sikap saya terhadap Kolonial, entah siapapun dan darimanapun kolonialisme itu, saya tetap bahwa sikap saya tegas, bagi saya sedikitpun tidak ada kompromi. Dalam pemikiran sebagai bagian dari politice education, memang saya bisa saja menulis demikian untuk proyek latihan pemikiran (intelectual exercise). Namun itu tidaklah berarti sikap moderasi, sama sekali tidak ! Sebab yang menyemangati saya bersikap demikian adalah semangat ajaran agama Islam sendiri.

Kalaupun saya menulis soal semangat adat, maka sesungguhnya hal yang demikian tidaklah bertentangan dengan Islam. Islam ditarik dari langit, lebih dekat dan akhirnya bagaimana dibumikan di bumi West Papua. Saya mencoba mengakrabkan tapi tidak dulu dengan simbol tapi islam substansif, diantara kiatnya adalah islam tidak disikapi sebagai asing, dengan demikian orang merasa tidak asing dengan islam yang memang diantara salah satu tujuan kehadirannya didunia adalah rahmatan'alamin benar-benar dirasakan manfaatnya, termasuk bangsa West Papua.

Kalau jika yang didahulukan adalah simbol maka, sikap anti pati tak terhindarkan. Saya mencoba kedepankan isi dulu dari pada bungkusan, substansi daripada simbol. Jika sebaliknya maka hasil yang didapati adalah sikapi antipati, saya menghindari yang demikian dan itu dulu yang penting.

Saya lebih mengutamakan suatu nilai di luar dari Agama Islam, mungkin, ada kesan demikian, apalagi membaca tulisan saya terlampir ini, saya jawab ya, harus demikian dulu ! Saya harus, misalnya lebih mengedepankan Adat dan Budaya Papua dulu, itupun juga sesungguhnya tidak bertentangan dengan Islam.

Hanya saja nanti islam atau adat akn mewarnai kepemelukan keagamaan itulah yang harus dibersihkan nantinya adalah masalah tersendiri nantinya. Sebagaimana pola pembagian proses islamisasi, Taufik Abdullah, ada empat pola yaitu : Pola Aceh yang dari perkampungan sehingga islamisasi menyeluruh sehingga muncul pameo :" Aceh Serambi Mekah". Islamisasi Aceh tuntas.

Pola sumatera Barat, sehingga memunculkan perang Paderi yang tidak berkesudahan, dan hanya bisa direlai atas campu tangan Belanda, tapi itu hanya dapat menghentikan perang saudara, bukan menyelesaikan masalah, sehingga Pameonya : "Adat bersendikan Sayari'ah dan Syariah bersendikan Kitabullah". Lalu model Jawa dan Gowa, Selawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan Kerajaannlah yang memiliki mandat lebih dalam proses islamisasi, sehingga adat dan budayanya secara simbol terislamkan. Sedangkan Jawa lebih bercampur (sinkretisme) dengan adat dan budaya sebelumnya, termasuk agama Hindu dan Budha bercampur baur.

Lalu bagaimana dengan Bangsa West Papua idealnya nanti ? Papua yang dinginkan adalah pola Aceh, hanya, masalahnya tidak mudah, sangat berat sekali, pada masa seperti sekarang ini. Itulah masalahnya, oleh sebab itu, apalagi ditambah lagi dengan hegemoni budaya Western (Barat) yang berlangsung sekarang tidaklah mudah, memastikan pola mana yang akan menjadi kecenderungan nantinya.

Oleh sebab itu banyak aspek adat dan Budaya Papua yang hampir sama dengan islam. Dan itu justeru bertentangan dengan Agama Samawi yang lain, contoh misalnya; Konsep Budak. Dalam islam apabila dibulan puasa seseorang melakukan hubungan kelamin (suami-isteri), harus bayar fidyah. Diantaranya dia membebasakan budak. Nah Islam hadir dimuka bumi sesungguhnya mengeyahkan perbudakan dari muka bumi. Konsep demikian tidak ada dalam agama lain. Bahkan agama lainlah yang mengenalkan adanya perbudakan di Papua lewat agama dan Kitab Sucinya (Injil). Hal demikian (konsep perbudakan) tidak dikenal dalam adat dan budaya Papua.

Seorang kepala Suku dapat saja beristeri banyak (Islam dibatasi Nabi SAW, hanya 4 isteri saja, dengan mengharamkan nikah mut'ah), dan hal yang demikian banyak dilangar orang, terutama penganut Katolik. Mereka lebih taat Adat, artinya mereka (orang West Papua), banyak melanggar dan beristeri lebih dari satu yang sesungguhnya bertentangan dengan Agama. Bahkan kedudukan anak, entah dari isteri pertama tau yang dari isteri dari nomor keberapa tidak dipersoalkan sebagai anak dari isteri utama, sehingga berkedudukan istimewa. Dari isteri manapun semua anak, apalagi anak lelaki dia berhak mendapat posisi istimewa sebagai pemangku adat.

Lalu yang menjadi masalah adalah persepsi orang Papua dalam hal kedudukan anak. Kalau Injil misalnya dan hal demikian sampai hari ini pemahaman dominan dalam teologi Iman Kristiani seluruh Dunia, bahwa : Tatkala Nabi Ibrahim AS, sebagai kakek dari bangsa semit dengan memperanakkan putranya dari isteri Siti Sarah, yaitu Nabi Ishaq AS. Bagi Kristen kedudukannya istimewa, sebab dia lahir dari rahim isteri pertama yang bukan budak.

Berbeda dengan pandangan mereka terhadap Kakeknya Bangsa Arab Qurays yaitu baginda Nabi Ismail AS. Dalam penafsiran umum (kaum Nasrani West Papua yang diperkenal Missionaris Eropa atau Barat), kedudukan Nabi Ismail As yang kelak menurunkan qobilah Qurays yang kemudian menurunkan Nabi Muhammad SAW, dan bangsa Qurays Arab, dianggap inferoir (rendah). Atau bahwa Rosullah SAW, dianggap sebagai keturunan budak (Siti Hajar). Bukan sebagaimana Ishaq AS, yang keturunan Siti Sarah, isteri pertama Nabi Ibrahim AS yang hanif itu.

Mengapa persepsi umum kaum Kristiani demikian? Ternyata Kristen yang dibawa datang ke Papua adalah Kristen yang sudah di Romawikan, Konsepsi budak adalah konsep orang Yunani Eropa. Kita ingat Filosof Plato yang dijual sebagai budak dan dibebaskan oleh muridnya. Artinya bahwa Kristen di Papua banyak hal seperti contoh diatas bahwa bertentangan dengan budaya West Papua.

Karena kedudukan dalam adat Papua yang menggunakan nama belakang sebagai (fam), yang diutamakan adalah anak laki-laki dan nasab dihitung dari ayah. Bila isteri pertama sampai isteri keberapa tidak dapat memberikan anak-laki-laki yang akan melanjutkan nasab, seseorang dapat saja kawin berapa saja, dan bila dapat anak laki-laki bukan dari isteri pertama kedukannya sama sekali bukan sebagai anak budak. Sama dengan islam bukan?

Lebih jauh bahwa dalam alam pikiran (Adat Budaya- Kaneke) Papua, misalnya di Lembah Balim yang menjadi inti sesembahan adalah batu hitam (axe). Batu ini dimiliki semua lembaga adat di Jayawi jaya. Batu ini sebenarnya adalah sama saja dengan hajar aswad. Lebih mendekati Simbol islam, dari pada lain. Walau dalam islam hajar aswad yang banyak diciumi ribuan umat islam dunia itu bukan obyek sembahan. Lebih jauh saya ingin sampaikan disini bahwa di Papua ada konsep manusia sebagai satu keturunan apapun warna kulitnya. Dalam budaya paling asli di seluruh West Papua dan Papua Timur mengakui ini. Semua manusia berasal dari dalam Goa dan tersebar keseluruh muka bumi. Sama juga dengan konsep Nabi Adam.

Lalu yang lebih dari semuanya diatas adalah bahwa konsep Allah satu-satunya sebagai Tuhan ada dalam adat dan budaya Papua. Adakah agama lain selain islam yang mengakui konsepsi Tuhan satu (tauhid), yang sesuai dengan budaya Papua? Saya rasa hanya islamlah yang banyak kecocokan dengan budaya Papua. Hanya masalahnya bagaimana kita masuk dan dari pintu mana kita mmenyapa pesamaan itu. Saya lebih cenderung ke adat daripada simbol islami yang hanya mendapatkan sikap antipati.

Lalu menyangkut hijrah nabi ke Habasyah (negeri Kristen yang sama warna kulitnya dengan bansa West Papua), terlepas apakah Rosulullah SAW, ada hubungan apanya dengan bangsa negeri itu. Yang pasti dalam Agama lain selain Islam tidak ada kedudukan istemewa sebagaimana Bilal Bin Rabah, Luqmanul Hakim yang menjadi nama Suarat Alqur'an dan lain sebagainya. Islamlah yang lebih banyak kecocokan dengan buadaya Papua.

***

Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.