Terimakasih atas dukungan Tengku Ali Al Asytar, agar saya tetap Istiqomah (tetap pada prinsip), sebagaimana sebelumnya, pada prinsip "garis keras", tanpa kompromi terhadap semua unsur kolonialisme. Demikian juga sarannya agar saya tetap pada prinsip agama Islam (agama anutan mayoritas rakyat Aceh, dimana tempat lahir dan pengabdian hidup perjuangan Tengku Ali Al Asytar, dari GAM).
Karena saya, menurut hematnya, "mungkin", dan itu ada benarnya, sudah mulai kendor atau moderat bersuara pada penjajah yang kecam yang selalu datang ke negeri kami hanya untuk membunuh dan mencuri harta kekayaan kami bangsa West Papua. Malahan menurutnya terma yang tepat pada kolonialis Indonesia di Papua Barat adalah bukan pencuri tapi malah lebih tepat dikatakan sebagai perampok, atas pengurasan kekayaan alam kami selama ini di Papua Barat yang memang sangat kaya raya oleh Indonesia bersama para kapitalisnya.
Atas sarannya ini memang saya akui bahwa saya memang kadang sering keluar dari iman (kepercayaan agama), dengan lebih banyak memepercayai serta dahulukan Adat, anutan lebih banyak masyarakat saya, terutama nilai-nilai Adat, di Lembah Balim Wamena Papua. Semoga saran dan harapannya ini menambah kuat lagi tali kekang iman saya (iman islam), yang kadang mau ta'lepas dari hati ini. Namun saran lainnya bahwa saya tetap menempuh jalan lurus, jalan tegas, pada penjajah tanpa kompromi akan tetap saya perhatikan.
Memang kadang iman menurut Imam AL-Ghozali, kadang naik-kadang turun. Tapi soal sikap saya terhadap kolonial, entah siapapun dan darimanapun kolonialisme itu, saya tetap bahwa sikap saya tegas, saya menganut asas "garis keras", tanpa kompromi, dalam hal idealisme. Bagi saya, sekali lagi, tidak ada kompromi sedikitpun pada kolonialisme, apapaun bentiknya kolonialisme itu. Tapi dalam pemikiran saya bisa saja menulis secara sebaliknya.
Sebab bagi saya, alam pemikiran sebagai bagian dari politice education, terlebih dahulu harus dibebaskan terlebih dahulu adalah proyeksi gaya penulisan saya. Dan memang saya bisa saja menulis demikian (maksudnya, moderat) untuk proyek latihan pemikiran (intelectual exercise). Namun itu tidaklah berarti sikap moderasi, sama sekali tidak ! Sebab yang menyemangati saya bersikap demikian adalah semangat Adat Budaya Papua dan ajaran agama Islam sekaligus yang saya anut dan ("harus") saya imani.
Kalau saya lebih berpatokan pada Adat Budaya Papua, bukan agama islam yang saya anut, menulis soal semangat adat, maka sesungguhnya hal yang demikian tidaklah bertentangan dengan Islam. Islam ditarik dari "langit", lebih dekat dan akhirnya bagaimana dibumikan di bumi West Papua. Saya mencoba mengambil kebaikan nilai agama tapi bukan pada tataran simbol, bentuk, yang formalistik belaka, yang akhirnya menjadi kaku dan rigid. Hal demikian sebenarnya bukan hal baru, di Amerika Serikat yang di jadikan standar nilai yang termasuk didalamnya semangat leberalisme, demokrasi dan HAM adalah semanagat Protestan ethic.
Saya menghadirkan nilai Adat Budaya (kaneke) sebagai standar juga sebenarnya, didalamnya juga disetujui agama manapun. Usaha saya adalah mengakrabkan tapi tidak dulu dengan simbol tapi nilai kebaikan universal (rahmatan lil'alamin)-nya dulu dari agama manapun termasuk khususnya islam. Misalnya kalau salah satu agama samawi yang saya coba hadirkan adalah islam substansif, bukan formalististik atau juga sripturalistic (kutipan belaka). Dengan demikian di Amerika bahwa yang dijadikan standar nilai adalah kebaikan semua agama, bukan konservatisme dan simbol agama yang primordialistik dalam kemajemukan masyarakat.
Sebagai akibatnya, diantara kiatnya adalah, demokrasi dan HAM harus didahulukan terhadap agama apapun di Papua Barat. Masyarakat tidak boleh diasingkan dari budaya mereka oleh dominasi agama. Usaha kontekstualisasi nilai-nilai kebaikan agama, agama apapun pada akhirnya tidak asing, demikian juga islam tidak disikapi sebagai asing. Dengan demikian orang merasa antara kebaikan agama dan Adat budaya lokal tidak ada jarak, tidak asing.
Demikian juga dengan islam yang memang diantara salah satu tujuan kehadirannya di dunia adalah rahmatan'alamin (kasih sayang bagi seluruh alam). Hal ini tidak berbeda dengan agama Kristen dengan kehadiran Yesus dimuka bumi dengan konsep Kasih, yang kemudian di dunia barat dijadikan sebagai standar nilai, misalnya Amerika dengan nilai Protestan ethicnya. Tapi harus ingat bahwa semua nilai kebaikan agama dipungut Amerika, tidak hanya Protestan. Demikian juga, islam harus seperti juga konsep "kasih"-nya Yesus Kristus, hadir kedunia untuk memebebaskan dosa manusia, benar-benar dirasakan manfaatnya, termasuk bangsa West Papua.
Kalau jika yang didahulukan adalah simbol, maka agama apapun akan menghadapi sikap anti pati dari Adat (kaneke) tak terhindarkan. Saya mencoba kedepankan isi dulu dari pada bungkusan, substansi daripada simbol. Jika sebaliknya maka hasil yang didapati adalah sikapi antipati, saya menghindari yang demikian dan itu dulu yang penting.
Saya lebih mengutamakan suatu nilai di luar dari Agama Islam, mungkin, ada kesan demikian, apalagi membaca tulisan saya terlampir ini, saya jawab ya, harus demikian dulu! Saya harus, misalnya lebih mengedepankan Adat dan Budaya Papua dulu, itupun juga sesungguhnya tidak bertentangan dengan Islam, dan nilai kebaikaikan agama apapun.
Hanya saja nanti islam atau adat akan mewarnai kepemelukan keagamaan itulah yang harus dibersihkan nantinya adalah masalah tersendiri nantinya. Sebagaimana pola pembagian proses islamisasi, Taufik Abdullah, ada empat pola yaitu : Pola Aceh yang dari perkampungan sehingga islamisasi menyeluruh sehingga muncul pameo :" Aceh Serambi Mekah". Islamisasi Aceh tuntas.
Pola sumatera Barat, sehingga memunculkan perang Paderi yang tidak berkesudahan, dan hanya bisa direlai atas campur tangan Belanda, tapi itu hanya dapat menghentikan perang saudara, bukan menyelesaikan masalah, sehingga Pameonya : "Adat bersendikan Sayari'ah dan Syariah bersendikan Kitabullah".
Lalu model Jawa dan Gowa, Selawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan Kerajaannlah yang memiliki mandat lebih dalam proses islamisasi, sehingga adat dan budayanya secara simbol terislamkan. Sedangkan Jawa lebih bercampur (sinkretisme) dengan adat dan budaya sebelumnya, termasuk agama Hindu dan Budha bercampur baur.
Lalu bagaimana dengan Bangsa West Papua idealnya nanti? Papua yang dinginkan adalah pola Aceh, hanya, masalahnya tidak mudah, sangat berat sekali, pada masa seperti sekarang ini. Itulah masalahnya, oleh sebab itu, apalagi ditambah lagi dengan hegemoni budaya Western (Barat) yang berlangsung sekarang tidaklah mudah, memastikan pola mana yang akan menjadi kecenderungan nantinya.
Oleh sebab itu banyak aspek adat dan Budaya Papua yang hampir sama dengan islam. Dan itu justeru bertentangan dengan Agama Samawi yang lain, contoh misalnya; Konsep Budak. Dalam islam apabila dibulan puasa seseorang melakukan hubungan kelamin (suami-isteri), harus bayar fidyah. Diantaranya dia membebasakan budak. Nah Islam hadir dimuka bumi sesungguhnya mengeyahkan perbudakan dari muka bumi.
Konsep demikian saya tidak tahu kalau ada dalam agama lain. Bahkan agama lainlah, yang di bawah oleh Eropa yang mengenalkan adanya konsep perbudakan di Papua lewat agama dan Kitab Sucinya (Injil). Hal demikian (konsep perbudakan) tidak dikenal dalam adat dan budaya Papua. Oleh sebab itu seorang kepala Suku dapat saja beristeri banyak (Islam dibatasi Nabi SAW, hanya 4 isteri saja, dengan mengharamkan nikah mut'ah), dan hal yang demikian banyak dilanggar orang, terutama penganut Katolik. Mereka lebih taat Adat, artinya mereka (orang West Papua), banyak melanggar dan beristeri lebih dari satu yang sesungguhnya bertentangan dengan Agama.
Adat Papua mengajarkan kami, Bahwa kedudukan anak, entah dari isteri pertama tau yang dari isteri dari nomor keberapa tidak dipersoalkan sebagai anak dari isteri utama, sehingga berkedudukannya tetap istimewa. Dari isteri manapun semua anak, apalagi anak lelaki dia berhak mendapat posisi istimewa sebagai pemangku adat.
Lalu yang menjadi masalah adalah persepsi orang Papua dalam hal kedudukan anak. Kalau Injil misalnya dan hal demikian sampai hari ini pemahaman dominan dalam teologi Iman Kristiani seluruh Dunia, bahwa : Tatkala Nabi Ibrahim AS, sebagai kakek dari bangsa semit dengan memperanakkan putranya dari isteri Siti Sarah, yaitu Nabi Ishaq AS. Bagi Kristen kedudukannya istimewa, sebab dia lahir dari rahim isteri pertama yang bukan budak.
Berbeda pandangan dengan kakeknya Bangsa Arab Qurays yaitu baginda Nabi Ismail AS. Dalam penafsiran umum (agama umum West Papua yang diperkenal Missionaris Eropa atau Barat), kedudukan Nabi Ismail As yang kelak menurunkan qobilah Qurays yang kemudian melahirkan Nabi Muhammad SAW, dan bangsa Qurays Arab, dianggap inferoir (rendah). Atau bahwa Rosullah SAW, dianggap sebagai keturunan budak (Siti Hajar). Bukan sebagaimana Ishaq AS, yang keturunan Siti Sarah, isteri pertama Nabi Ibrahim AS yang hanif itu.
Mengapa persepsi umum demikian? Ternyata agama anutan umum di West Papua yang dibawa datang dari Jerman dan Belanda adalah agama yang sudah di Romawikan, Konsepsi budak adalah konsep orang Yunani Eropa. Kita ingat Filosof Plato yang dijual sebagai budak dan dibebaskan oleh muridnya. Artinya bahwa Kristen di Papua banyak hal seperti contoh diatas bahwa bertentangan dengan budaya West Papua.
Berbeda dengan nilai Papua yang demokratis. Karena kedudukan dalam adat Papua yang menggunakan nama belakang sebagai (fam), yang diutamakan adalah anak laki-laki dan nasab dihitung dari ayah. Bila isteri pertama sampai isteri keberapa tidak dapat memberikan anak-laki-laki yang akan melanjutkan nasab, seseorang dapat saja kawin berapa saja, dan bila dapat anak laki-laki bukan dari isteri pertama kedukannya sama sekali bukan sebagai anak budak.
Lebih jauh bahwa dalam alam pikiran (Adat Budaya- Kaneke) Papua, misalnya di Lembah Balim yang menjadi inti sesembahan adalah batu hitam (axe). Batu ini dimiliki semua lembaga adat di Jayawi jaya. Batu ini sebenarnya adalah sama saja dengan hajar aswad. Lebih mendekati simbol batu hitam (hajar aswad punya islam), dari pada lain. Walau dalam islam hajar aswad yang banyak diciumi ribuan umat islam dunia itu bukan obyek sembahan.
Lebih jauh saya ingin sampaikan disini bahwa di Papua ada konsep manusia sebagai satu keturunan apapun warna kulitnya. Dalam budaya paling asli di seluruh West Papua dan Papua Timur mengakui ini. Semua manusia berasal dari dalam Goa dan tersebar keseluruh muka bumi. Sama juga dengan konsep Nabi Adam.
Lalu yang lebih dari semuanya diatas adalah bahwa konsep Allah satu-satunya sebagai Tuhan ada dalam adat dan budaya Papua. Adakah agama lain selain islam yang mengakui konsepsi Tuhan satu (tauhid), yang sesuai dengan budaya Papua? Saya sangsi, karena itu saya rasa hanya islamlah yang banyak kecocokan dengan budaya Papua. Hanya masalahnya bagaimana kita masuk dan dari pintu mana kita mmenyapa persamaan itu. Saya lebih cenderung ke adat daripada simbol islami yang hanya mendapatkan sikap antipati.
Lalu menyangkut hijrah nabi ke Habasyah, Etiopia, (negeri Kristen yang sama warna kulitnya dengan bangsa West Papua), terlepas apakah Rosulullah SAW, ada hubungan apanya dengan bangsa negeri itu. Yang pasti dalam Agama lain selain Islam tidak ada kedudukan istemewa sebagaimana Bilal Bin Rabah, Luqmanul Hakim yang menjadi nama Surat Alqur'an dan lain sebagainya. Islamlah yang lebih banyak kecocokan dengan budaya Papua.
Demikian dulu, ada banyak ingin disampaikan hanya waktulah yang mencukupkan disini.
Wallahua'lam bishowab;
***
Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.
Karena saya, menurut hematnya, "mungkin", dan itu ada benarnya, sudah mulai kendor atau moderat bersuara pada penjajah yang kecam yang selalu datang ke negeri kami hanya untuk membunuh dan mencuri harta kekayaan kami bangsa West Papua. Malahan menurutnya terma yang tepat pada kolonialis Indonesia di Papua Barat adalah bukan pencuri tapi malah lebih tepat dikatakan sebagai perampok, atas pengurasan kekayaan alam kami selama ini di Papua Barat yang memang sangat kaya raya oleh Indonesia bersama para kapitalisnya.
Atas sarannya ini memang saya akui bahwa saya memang kadang sering keluar dari iman (kepercayaan agama), dengan lebih banyak memepercayai serta dahulukan Adat, anutan lebih banyak masyarakat saya, terutama nilai-nilai Adat, di Lembah Balim Wamena Papua. Semoga saran dan harapannya ini menambah kuat lagi tali kekang iman saya (iman islam), yang kadang mau ta'lepas dari hati ini. Namun saran lainnya bahwa saya tetap menempuh jalan lurus, jalan tegas, pada penjajah tanpa kompromi akan tetap saya perhatikan.
Memang kadang iman menurut Imam AL-Ghozali, kadang naik-kadang turun. Tapi soal sikap saya terhadap kolonial, entah siapapun dan darimanapun kolonialisme itu, saya tetap bahwa sikap saya tegas, saya menganut asas "garis keras", tanpa kompromi, dalam hal idealisme. Bagi saya, sekali lagi, tidak ada kompromi sedikitpun pada kolonialisme, apapaun bentiknya kolonialisme itu. Tapi dalam pemikiran saya bisa saja menulis secara sebaliknya.
Sebab bagi saya, alam pemikiran sebagai bagian dari politice education, terlebih dahulu harus dibebaskan terlebih dahulu adalah proyeksi gaya penulisan saya. Dan memang saya bisa saja menulis demikian (maksudnya, moderat) untuk proyek latihan pemikiran (intelectual exercise). Namun itu tidaklah berarti sikap moderasi, sama sekali tidak ! Sebab yang menyemangati saya bersikap demikian adalah semangat Adat Budaya Papua dan ajaran agama Islam sekaligus yang saya anut dan ("harus") saya imani.
Kalau saya lebih berpatokan pada Adat Budaya Papua, bukan agama islam yang saya anut, menulis soal semangat adat, maka sesungguhnya hal yang demikian tidaklah bertentangan dengan Islam. Islam ditarik dari "langit", lebih dekat dan akhirnya bagaimana dibumikan di bumi West Papua. Saya mencoba mengambil kebaikan nilai agama tapi bukan pada tataran simbol, bentuk, yang formalistik belaka, yang akhirnya menjadi kaku dan rigid. Hal demikian sebenarnya bukan hal baru, di Amerika Serikat yang di jadikan standar nilai yang termasuk didalamnya semangat leberalisme, demokrasi dan HAM adalah semanagat Protestan ethic.
Saya menghadirkan nilai Adat Budaya (kaneke) sebagai standar juga sebenarnya, didalamnya juga disetujui agama manapun. Usaha saya adalah mengakrabkan tapi tidak dulu dengan simbol tapi nilai kebaikan universal (rahmatan lil'alamin)-nya dulu dari agama manapun termasuk khususnya islam. Misalnya kalau salah satu agama samawi yang saya coba hadirkan adalah islam substansif, bukan formalististik atau juga sripturalistic (kutipan belaka). Dengan demikian di Amerika bahwa yang dijadikan standar nilai adalah kebaikan semua agama, bukan konservatisme dan simbol agama yang primordialistik dalam kemajemukan masyarakat.
Sebagai akibatnya, diantara kiatnya adalah, demokrasi dan HAM harus didahulukan terhadap agama apapun di Papua Barat. Masyarakat tidak boleh diasingkan dari budaya mereka oleh dominasi agama. Usaha kontekstualisasi nilai-nilai kebaikan agama, agama apapun pada akhirnya tidak asing, demikian juga islam tidak disikapi sebagai asing. Dengan demikian orang merasa antara kebaikan agama dan Adat budaya lokal tidak ada jarak, tidak asing.
Demikian juga dengan islam yang memang diantara salah satu tujuan kehadirannya di dunia adalah rahmatan'alamin (kasih sayang bagi seluruh alam). Hal ini tidak berbeda dengan agama Kristen dengan kehadiran Yesus dimuka bumi dengan konsep Kasih, yang kemudian di dunia barat dijadikan sebagai standar nilai, misalnya Amerika dengan nilai Protestan ethicnya. Tapi harus ingat bahwa semua nilai kebaikan agama dipungut Amerika, tidak hanya Protestan. Demikian juga, islam harus seperti juga konsep "kasih"-nya Yesus Kristus, hadir kedunia untuk memebebaskan dosa manusia, benar-benar dirasakan manfaatnya, termasuk bangsa West Papua.
Kalau jika yang didahulukan adalah simbol, maka agama apapun akan menghadapi sikap anti pati dari Adat (kaneke) tak terhindarkan. Saya mencoba kedepankan isi dulu dari pada bungkusan, substansi daripada simbol. Jika sebaliknya maka hasil yang didapati adalah sikapi antipati, saya menghindari yang demikian dan itu dulu yang penting.
Saya lebih mengutamakan suatu nilai di luar dari Agama Islam, mungkin, ada kesan demikian, apalagi membaca tulisan saya terlampir ini, saya jawab ya, harus demikian dulu! Saya harus, misalnya lebih mengedepankan Adat dan Budaya Papua dulu, itupun juga sesungguhnya tidak bertentangan dengan Islam, dan nilai kebaikaikan agama apapun.
Hanya saja nanti islam atau adat akan mewarnai kepemelukan keagamaan itulah yang harus dibersihkan nantinya adalah masalah tersendiri nantinya. Sebagaimana pola pembagian proses islamisasi, Taufik Abdullah, ada empat pola yaitu : Pola Aceh yang dari perkampungan sehingga islamisasi menyeluruh sehingga muncul pameo :" Aceh Serambi Mekah". Islamisasi Aceh tuntas.
Pola sumatera Barat, sehingga memunculkan perang Paderi yang tidak berkesudahan, dan hanya bisa direlai atas campur tangan Belanda, tapi itu hanya dapat menghentikan perang saudara, bukan menyelesaikan masalah, sehingga Pameonya : "Adat bersendikan Sayari'ah dan Syariah bersendikan Kitabullah".
Lalu model Jawa dan Gowa, Selawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan Kerajaannlah yang memiliki mandat lebih dalam proses islamisasi, sehingga adat dan budayanya secara simbol terislamkan. Sedangkan Jawa lebih bercampur (sinkretisme) dengan adat dan budaya sebelumnya, termasuk agama Hindu dan Budha bercampur baur.
Lalu bagaimana dengan Bangsa West Papua idealnya nanti? Papua yang dinginkan adalah pola Aceh, hanya, masalahnya tidak mudah, sangat berat sekali, pada masa seperti sekarang ini. Itulah masalahnya, oleh sebab itu, apalagi ditambah lagi dengan hegemoni budaya Western (Barat) yang berlangsung sekarang tidaklah mudah, memastikan pola mana yang akan menjadi kecenderungan nantinya.
Oleh sebab itu banyak aspek adat dan Budaya Papua yang hampir sama dengan islam. Dan itu justeru bertentangan dengan Agama Samawi yang lain, contoh misalnya; Konsep Budak. Dalam islam apabila dibulan puasa seseorang melakukan hubungan kelamin (suami-isteri), harus bayar fidyah. Diantaranya dia membebasakan budak. Nah Islam hadir dimuka bumi sesungguhnya mengeyahkan perbudakan dari muka bumi.
Konsep demikian saya tidak tahu kalau ada dalam agama lain. Bahkan agama lainlah, yang di bawah oleh Eropa yang mengenalkan adanya konsep perbudakan di Papua lewat agama dan Kitab Sucinya (Injil). Hal demikian (konsep perbudakan) tidak dikenal dalam adat dan budaya Papua. Oleh sebab itu seorang kepala Suku dapat saja beristeri banyak (Islam dibatasi Nabi SAW, hanya 4 isteri saja, dengan mengharamkan nikah mut'ah), dan hal yang demikian banyak dilanggar orang, terutama penganut Katolik. Mereka lebih taat Adat, artinya mereka (orang West Papua), banyak melanggar dan beristeri lebih dari satu yang sesungguhnya bertentangan dengan Agama.
Adat Papua mengajarkan kami, Bahwa kedudukan anak, entah dari isteri pertama tau yang dari isteri dari nomor keberapa tidak dipersoalkan sebagai anak dari isteri utama, sehingga berkedudukannya tetap istimewa. Dari isteri manapun semua anak, apalagi anak lelaki dia berhak mendapat posisi istimewa sebagai pemangku adat.
Lalu yang menjadi masalah adalah persepsi orang Papua dalam hal kedudukan anak. Kalau Injil misalnya dan hal demikian sampai hari ini pemahaman dominan dalam teologi Iman Kristiani seluruh Dunia, bahwa : Tatkala Nabi Ibrahim AS, sebagai kakek dari bangsa semit dengan memperanakkan putranya dari isteri Siti Sarah, yaitu Nabi Ishaq AS. Bagi Kristen kedudukannya istimewa, sebab dia lahir dari rahim isteri pertama yang bukan budak.
Berbeda pandangan dengan kakeknya Bangsa Arab Qurays yaitu baginda Nabi Ismail AS. Dalam penafsiran umum (agama umum West Papua yang diperkenal Missionaris Eropa atau Barat), kedudukan Nabi Ismail As yang kelak menurunkan qobilah Qurays yang kemudian melahirkan Nabi Muhammad SAW, dan bangsa Qurays Arab, dianggap inferoir (rendah). Atau bahwa Rosullah SAW, dianggap sebagai keturunan budak (Siti Hajar). Bukan sebagaimana Ishaq AS, yang keturunan Siti Sarah, isteri pertama Nabi Ibrahim AS yang hanif itu.
Mengapa persepsi umum demikian? Ternyata agama anutan umum di West Papua yang dibawa datang dari Jerman dan Belanda adalah agama yang sudah di Romawikan, Konsepsi budak adalah konsep orang Yunani Eropa. Kita ingat Filosof Plato yang dijual sebagai budak dan dibebaskan oleh muridnya. Artinya bahwa Kristen di Papua banyak hal seperti contoh diatas bahwa bertentangan dengan budaya West Papua.
Berbeda dengan nilai Papua yang demokratis. Karena kedudukan dalam adat Papua yang menggunakan nama belakang sebagai (fam), yang diutamakan adalah anak laki-laki dan nasab dihitung dari ayah. Bila isteri pertama sampai isteri keberapa tidak dapat memberikan anak-laki-laki yang akan melanjutkan nasab, seseorang dapat saja kawin berapa saja, dan bila dapat anak laki-laki bukan dari isteri pertama kedukannya sama sekali bukan sebagai anak budak.
Lebih jauh bahwa dalam alam pikiran (Adat Budaya- Kaneke) Papua, misalnya di Lembah Balim yang menjadi inti sesembahan adalah batu hitam (axe). Batu ini dimiliki semua lembaga adat di Jayawi jaya. Batu ini sebenarnya adalah sama saja dengan hajar aswad. Lebih mendekati simbol batu hitam (hajar aswad punya islam), dari pada lain. Walau dalam islam hajar aswad yang banyak diciumi ribuan umat islam dunia itu bukan obyek sembahan.
Lebih jauh saya ingin sampaikan disini bahwa di Papua ada konsep manusia sebagai satu keturunan apapun warna kulitnya. Dalam budaya paling asli di seluruh West Papua dan Papua Timur mengakui ini. Semua manusia berasal dari dalam Goa dan tersebar keseluruh muka bumi. Sama juga dengan konsep Nabi Adam.
Lalu yang lebih dari semuanya diatas adalah bahwa konsep Allah satu-satunya sebagai Tuhan ada dalam adat dan budaya Papua. Adakah agama lain selain islam yang mengakui konsepsi Tuhan satu (tauhid), yang sesuai dengan budaya Papua? Saya sangsi, karena itu saya rasa hanya islamlah yang banyak kecocokan dengan budaya Papua. Hanya masalahnya bagaimana kita masuk dan dari pintu mana kita mmenyapa persamaan itu. Saya lebih cenderung ke adat daripada simbol islami yang hanya mendapatkan sikap antipati.
Lalu menyangkut hijrah nabi ke Habasyah, Etiopia, (negeri Kristen yang sama warna kulitnya dengan bangsa West Papua), terlepas apakah Rosulullah SAW, ada hubungan apanya dengan bangsa negeri itu. Yang pasti dalam Agama lain selain Islam tidak ada kedudukan istemewa sebagaimana Bilal Bin Rabah, Luqmanul Hakim yang menjadi nama Surat Alqur'an dan lain sebagainya. Islamlah yang lebih banyak kecocokan dengan budaya Papua.
Demikian dulu, ada banyak ingin disampaikan hanya waktulah yang mencukupkan disini.
Wallahua'lam bishowab;
***
Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.