Selasa, 6 November 2007

KITA DAN KAMI

Fuad Hasan (pernah menjadi menteri pendidikan era Soeharto), Dekan Fakultas Psikologi UI, dan mengasuh mata kuliah filsafat psikologi. Dalam karyanya yang berjudul "KITA dan KAMI", perspektif filsafat psikologi, pernah menulis, tentang filsafat ungkapan "KITA dan KAMI.

Sebagaimana terlihat dari judulnya, bahwa masyarakat pluralistik Indonesia seringkali lupa, atau mungkin, selalu menjadi rentan, malah dapat terjerumus pada dichotomisasi dalam masyarakat dapat menunjukkan dari bahasa dan ada hubungannya dengan psikologi penutur. Sebagai sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama, Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menyatukan berbagai kemajemukan, yang juga berarti bukan penyeragaman. Pluralitas adalah alamiah, demikian pesan sesungguhnya yang ingin disampaikan dalam karyanya itu.

Kata yang pertama (kita) dimaksudkan, melingkupi semua tanpa memandang sebagai orang lain. Lawan bicara tidak dicampakkan sebagai orang lain karena kediriaannya. Berbeda dengan yang pertama, kata kedua (kami), membatasi diri, dengan mengeluarkan lawan bicara sebagai lain, dia dicampakkan sebagai bukan saya dan teman-teman saya. Kata 'kami', berarti; psikologi si-penutur menunjukkan tidak melingkup. 'Kami', berarti; mempribadi, lawan bicara dicampakkan sebagai orang lain, bukan teman saya, atau 'kami' .

Kita hendaknya, apalagi dalam kebutuhan persatuan dan kesatuan bangsa seperti sekarang ini harus mampu membedakan untuk tidak membeda-bedakan secara dikhotomis sebagai "Kami" dan "Kita". Sebaikny dimengerti perbedaan dua kata antara "kita dan kami" yang dapat saja berdampak pada sikap ekslusif. Misalnya dengan mengeluarkan teman bicara bukan sebagai bagian dari si penutur kata 'kami' berimplikasi sesungguhnya bahwa kita lagi retak selalu.

Kata 'kita' mau dimaksudkan seseorang penutur, mau merangkul/merangkum semua tanpa memandang lain. Yang lain tidak dinafikan sebagai yang lain. Kemampuan berbahasa baik dan benar dan dimengerti orang ada hubungannya dengan logika (nalar berfikir, berucap dan menulis), misalnya 'kita dan kami' sebagai pembedaan dari pluralitas keberadaan masyarakat suatu bangsa. Semua hendaknya harus tahu, bukan beda artinya saja, tapi juga implikasi arti dari antara dua kata (kita dan kami). Banyak belum dapat membedakan perbedaan, yang bisa sangat jauh pengertian dua kata yang dianggapnya satu arti selama ini.

Tiada ulasan: