PAPUA BELUM MAMPU MERDEKA?
Banyak alasan terbenarkan, sehingga banyak orang mengatakan, termasuk pihak internasional bahwa Papua adalah sebuah Pulau dengan suku-sukunya yang masih saling berperang antar sesama mereka. Disana masih ada tradisi memotong (mengayau) kepala manusia, kanibal (makan manusia). Secara umum, 'kesan' (berarti belum tentu benar), bahwa Papua adalah sebuah Pulau yang dihuni oleh suku-suku dengan dominan perang antar sesama suku. Singkatnya Papua indentik dimata Internasional adalah masyarakat yang belum beradab.
Dengan alasan ini belum banyak perhatian pihak Internasional untuk mendukung kedaulatan Papua untuk mengatur negerinya sendiri tapi dititipkan kepada Indionesia untuk membangun Papua. Ini adalah alasan yang sangat rasional bagi cara berfikir yang dibentuk oleh opini tentang keterbelakangan Papua. Cara pandang ini dimiliki oleh Amerika Serikat, dan sebahagian negara anggota PBB lainnya. Bahkan, issu Papua, orang tahu tapi tidak populer; demikian laporan situs OPM dalam internet beberapa waktu lalu; ketika komentar seorang politikus Eropa, tentang opininya tentang issu gerakan Papua Merdeka.
Mengapa hal ini menjadi terbenarkan? Karena GERAKAN PAPUA MERDEKA, tidak ditempuh dengan gerakan inteletual. Gerakan Inteletual dimaksudkan disini, mohon tidak dikacaukan dengan gerakan agama misalnya; PERJUANGAN DAMAI, versi tokoh-tokoh agama yang dominan di PDP, yang sepenuhnya didukung Tokoh Agama Islam Tradisional NU, KH Abdurrahman Wahid (Gus-Dur).
Tapi untuk Papua dengan multi culturalisme, (seperti : etnis, agama, suku dan bahasa) sulit menghasilkan Revulusi gerakan agama sebagaimana; Amerika Latin dengan teori Teologi Pembebasan, atau Revolusi Islam semisal oleh para Mullah di Iran dibawah pimpinan Ayatullah Imam Khumaini, atau juga sebagaimana di Timor Leste yang lebih Dominan Katolik dengan gerakan Moral yang kuat seperti tokohnya yang meraih hadiah Nobel perdamaian, Uskup Bello.
Dengan demikian kesimpulannya bahwa konsep perjuangan damai, sekali lagi, PERJUANGAN DAMI, tidak relevant, (atau; tidak nyambung) dengan konteks sosial dan budaya Papua. Dengan kata lain 'perjuangan damai adalah taktik penjajah dan strategi penjajah untuk menjajah Papua, dengan melumpuhkan karakter agar mentalitas dan cara berfikir dibuat menjadi dependent, bermentalitas complex impriority.
Papua betapapun mayoritas Kristen Protestan di Utara dan Katolik di Selatan, tapi saat ini, sentra-sentra ekonomi perkotaan dikuasi oleh (Muslim). Seluruh perkotaan di Papua, yang lebih dominant penduduk beragama Islam; walaupun mereka para pendatang; tapi mereka tetap nantinya; menjadi warga negara Papua Merdeka. Nantinya; mereka akan tetap menjadi warga dan penduduk Papua, dan terkonsentrasi di perkotaan.
Sensus penduduk oleh BPS (Papua dalam angka 2000; kerja sama Bappeda Propinsi Papua), menunjukkan bahwa penduduk di kota Jayapura saja, yang lebih banyak adalah beragama Islam. Walaupun banyak pendatang Suku Dani dan Ekari di sekitar Jayapura, belum didata secara seluruhnya sebagai warga penduduk Ibukota Jayapura didalamnya, bisa menjadi hasilnya demikian.
Inilah alasannya bahwa, kita sebagai aktivis, PAPUA MERDEKA, dewasa ini belum memiliki asumsi sama, tentang batas nasionalisme, sebagai konsekuensi logis, bahwa sebagai bangsa modern, idealisme Negara Papua Barat, yang akan diwujudkan para aktivis Papua Merdeka, apakah juga termasuk orang pendatang Muslim, ataukah, nantinya Papua Merdeka kelak memperlakukan mereka ini (para warga sipil Melayu Muslim Asia {Bugis, Buton, Makasar, BBM dan Jawa, Madura, NTB, AMBON, Timor serta Melayu Sumatera), sebagai juga penjajah?
Hal ini ditambah lagi dari dalam persepsi dari dalam (in side) gerakan internal para penduduk urban Asia Muslim, apakah mereka sejauh ini tidakkah mengambat Perjuangan Papua merdeka, ataukah merasa sebagai bagian tak terpisahkan dari negara Papua Barat, merdeka kelak ?
Semua ini sangat bergantung pada sikap, interaksi, selama ini antara sesama penduduk Papua. Apakah ada terobosan pemikiran baru dari kalangan internal para penduduk Papua, urban sipil Asia dan rekayasa sosial bersama yang mengarah pembauran dalam pembaruan penduduk yang dari dulu memang multi etnis terutama dipesisir/pulau, sehingga bisa membentuk pemikiran dan pandangan masyarakat awam kedua belah pihak (terutama kita pegunungan yang lama terisolir, menerima mereka, dan diterima mereka)?
Terobosan pemikiran Intelektual dimaksudkan disini urgensinya. Apakah kita semua eksklusif atau inklusif, sangat bergantung pada inteletualisme para pejuang Nasionalis Papua Merdeka, dan internal para warga penduduk Papua semuanya, terutama penduduk sipil pendatang. Barangkali masalah ini adalah satu, dan sedrhana, tapi yang paling fundamental bahwa : "Papua Belum Mampu Mereka", diukur oleh dunia internasional, dan internal para aktivis Papua sebagai in side, akan menjadi tampak disini .
PAPUA MISKIN INTELEKTUAL
Papua penduduknya primitif, belum beradab, bodoh dan terbelakang, demikian kata Ali Murtopo; dan lanjutnya; kita hanya menginginkan harta kekayaannya saja, bukan penduduknya.
Sebenarnya pernah diakui Koentjaraningrat (1994), seorang antropolog dari Indonesia dalam bukunya "Membangun masyarakat Majemuk", menyatakan : Kalasifikasi masyarakat Papua bahwa daerah yang paling banyak melahirkan intelektual Papua yang pertama adalah daerah Biak dan kedua adalah Sentani Jayapura. Itu ceritera 30 tahunan yang lalu, sekarang sudah banyak pemerataan, bahwa kita, Bangsa Papua Barat, sudah banyak memiliki para pemikir, baik tua, (apalagi), maupun yang muda tersebar disemua wilayah Papua.
Hanya masalahnya adakah pemikir-pemikir pembaharuan Papua dewasa ini sebagaimana, Thomas Wanggai dengan Bintang 14-nya dengan klaim melanesianya terdiri (melingkupi) , dari wilayah Fasifik (Timor, Maluku, sampai micro/macronesia) Jos Adjondro(2000? ), atau juga Arnold Ap, dengan lagu-lagu, "Mambesak"-nya mampu membangkitnya Nasionalisme sampai melampaui batas wilayah sebagai Negara Papua Barat dewasa ini? Adalah masalah tersendiri untuk merumuskan apa yang dimaksudkan sebagai Waltanchaung, (Falsafah negara Papua Barat), yang konon telah merdeka tanggal 1 Desember tahun 1960 itu.
Saya sangsi, sekaligus optimis, bahwa pemerataan intelektual Papua dewasa ini cukup memadai, itu yang membuat saya optimis, tapi membuat saya sangsi, karena pemikirannya masih emosional, fragmentaris, tidak radikal dan fundamental. Mungkin ini yang dimaksudkan Arkalius Baho, dalam galauan hatinya, agar Papua memiliki gaya dan karakter menulis khas Papua, sehingga tercipta pemikir atau gaya menulis sama sekali berbeda (walaupun itu tidak mungkin, dan sepenuhnya bisa dan benar, lihat keberatan Abe diatas)- dari selama ini ada yang kita miliki. Mengingat belum ada satupun menawarkan alternatif terobosan pemikiran baru yang bersifat inovatif.
Sehingga tercipta dan agaknya Arki, menghendaki adanya semacam gaya (berarti, memodifikasi) menulis (berarti juga, pemikiran intelektual) , khas Papua, tanpa mengekor gaya menulis atau cara berfikir penjajah. Berarti tawaran Arkalius Baho adalah ajakan untuk munculnya sebuah gerakan intelektual guna memodifikasi pemikiran terserak dan kaku selama ini, dengan inovasi (pembaharuan pemikiran) baru. Substansi pesan pembacaan kita mungkin berbeda karena itu bisa lain antara saya dan kawan yang sudah komentar diatas semua. Namun ada satu stimulus yang menarik buat saya; "Jangan Adopsi cara menulis ilmiahnya penjajah", demikian pesan akhir Arki.
Bahaya Hegemoni Budaya Penjajah
Saya akui bahwa kita dapat menyaksikan bahwa; yang tahu, mengerti, bisa, mampu, sanggup, benar dan yang ilmiah itu penjajah. Ini sangat berbahaya. Complex impriority, bermula dari sini oleh akibat hegemoni budaya penjajah dapat mengakibatkan; mengakui diri dan orang sendiri tidak tahu, atau melecehkan diri sendiri sebagai tidak tahu. Contoh kasus sebagai berikut :
Pertama ; teman saya, seorang pemuda Dani, pulang ke Wamena dari salah satu kota study dalam masa liburan. Dalam saat itu ada kejadian begini; Saya dan Teman saya dari Jakarta ke Wamena, Lalu ada Paitua, walaupun koteka, Paitua Dani ini punya Hand Phon (HP), mungkin dibelikan oleh anaknya yang PNS di Kabupaten Jayawi jaya, waktu itu kami ada duduk sama-sama sambil ngobrol didepan kiaos dipasar Kota Wamena. Tiba-tiba, ada dering suara panggilan masuk dari HP Paitua. HP-nya bisa bunyi tapi suaranya kurang jelas, dia harap agar suara Hp-nya dibesarkan, sehingga bisa menerima suara panggilan masuk dengan jelas.
Tapi kepada siap dia percayakan untuk tujuan itu? Dihadapannya, kami ada tiga orang. Dua orang, kami anak Wamena, mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Dan satu, Orang Jawa, tukang bangunan, rambut lurus, kulit coklat hitam, profesi kuli bangunan, pendidikan SD tidak tamat. Kedua kami sebagai; Anak Suku Dani, Lahir dari rahim Ibu Wamena dan ayahnya juga Dani, Profesi mahasiswa S3 tingkat akhir. Siapa yang dipercayakan Paitua ini untuk memperbaiki HP-nya agar suaranya besar?
Dia memilih, Mas Parto Kuli bangunan, dari Jawa Timur yang tidak tamat sekolah SD. Mengapa? Papitua pikir, (logika Paitua, asumsi umum Orang Dani dewasa ini). Karena dia Mas-Mas dari Jawa semuanya tahu. Mengapa ini terjadi? Hanya salah asumsi. Akibat hegemoni budaya Indonesia-Jawa selama ini, muncul kesan umum dikalangan masyarakat Papua, bahwa kesan; wah, baik, maju, hebat di tampilkan dalam berbagai media, elektronik, cetak, dan lain-lain selama ini oleh penguasa di tanah jajahan Papua Barat seperti misalnya; Cenderawasihpos, dan lain-lain sangat mempengaruhi opini orang Papua, contoh kasus misalnya paitua Dani yang koteka ini, dalam soal tekhnologi komunikasi Hand Phon (HP) dia tidak percaya kami, anak-anaknya dianggapnya tidak tahu, buta teknolgi alias bodoh, hanya lantaran kami tetap anak Papua dan Wamena.
Kedua, Saya sendiri dalam tahun 1995 dari perantauan pulang ke Wamena. Saat itu Bupatinya JB Wenas dari Menado. Wamena sangat maju sebagai kota Wisata, banyak perkembangan dan pembangunan sedang digalakkan, roda ekonomi maju pesat. Diantara perkembangan kemajuan itu diantaranya adalah 'makan pinang'. Saya tentu tidak makan pinang sebagimana para muda-mudi Dani kala itu.
Karena saya tidak biasa, saya tidak mau makan pinang dan mencobanyapun saya tidak berminat, karena itu saya dianggap tidak maju dan dikatakan; "Tidak Tahu Makan Pinang". Asumsi dibalik kata ini adalah bahwa; Makan pinang adalah maju, pernah ke luar Kota Wamena, dianggap maju. Saya heran, Makan pinang dianggap 'Tidak Tahu'. Apakah makan pinang sebuah proses ilmiah sehingga dikatakan' Tahu Makan Pinang?' Tidak! Orang Muda Dani makan kesan, menjadi asumsi, sehingga terbentuk persepsi salah bahwa makan pinang adalah sebuah "lambang kemajuan", adalah pengaruh dari masyarakat pesisir Papua yang terlanjur, dianggap benar, apalagi ungkapannya, tahu makan pinang'.
Malah lebih parahnya lagi saya dianggap belum pernah tahu ke Jayapura hanya lantaran saya tidak mau makan pinang oleh sebab itu saya di justifikasi tanpa proses di uji, langsung dihukum putuskan para pemuda/pemudi Dani yang manis-manis dan imut itu, sebagai orang yang tidak maju, tidak tahu alias bodoh. Ini sangat parah, makan pinang tidak dengan proses belajar sebagimana ilmu tapi adalah tradisi, kebiasaan saja, malah saya dianggap tidak tahu makan pinang alias bodoh.
Kembali pada pembahasan kita bahwa Papua dan kita sebagai bagian darinya tentu mempunyai keinginan; sebagaimana harapan Arki, memiliki ke-khasan, cara, metode, menulis sebagai bagian dari 'Dialektika Perubahan', tentu harus dirumuskan. Walupun secara berbeda 100%, tidak mungkin, imposible. Karena semuanya saling terkait antara satu dan lain baik dalam budaya, tekhnologi dan ilmu pengetahuan umumnya, sebagai masuk akal dari globalisasi.
Paling-paling kita berharap elaborasi kekhasan dari yang kita miliki sebagai inkulturasi, itu saja, dan itu tercipta dengan sendirinya atau kita merekayasanya sendiri. Tapi hanya satu, bahwa pesan secara ekstrinsik dari Arki; kemampuan dan kemandirian dari hegemoni dan penjajahan budaya dan peradaban dominan penjajah harus di kritisi, disikapi secara ilmiah mana yang central dan feriveral. Agar kita tidak terjebak oleh kesan dan makan opini mereka secara mentah, menelannya bulat-bulat tanpa di kunyah (seperti orang makan Papeda), sebagaimana dalam kedua kasus contoh diatas.
Menurut saya relevansi pesan Arkalius Baho disini. Lain tidak! Sebagaimana Jepang, satu-satunya negara bukan Barat; yang mampu maju secara moden dengan pengalihan teknologi barat dengan imitasi, dan menciptakannya secara baru sama sekali. Papua harus, secara sama sekali lain dan baru, memiliki kekhasan dan dapat memulainya dengan wacana ilmiah dengan pemikiran secara fundamental bukan emosional dan dangkal.
Bangsa Jepang untuk melakukan rekayasa teknologi (imitasi) mengirim mahasiswanya keluar dan bertebar di semua negara Eropa dan Amerika pasca perang Fasifik atau Bom Atom Hirosima-Nagasaki oleh Amerika dan Sekutunya tahun 1945. Sekarang Jepang tidak kalah maju dari Barat adalah satu-satunya negara dan bangsa non barat. Komputer buatan Amerika sebesar meja makan, jepang memodifikasinya menjadi leptop, Hp ukuran As, besar karena jepang orangnya kecil dan pendek memodifikasinya sesuai dengan ukuran tubuh mereka Hp kecil, masuk dalam saku baju/celana.
Untuk menulis dan dialektika perubahan dimunculkan secara sama sekali lain dan baru untuk Papua. Yaitu dengan cara menulis secara lokomotif baru, khas Papua bukan gaya selera penjajah, bisa dengan pola perubahan sistem pendidikan dengan muatan lokal, penyusunan kurikulum, dalam era otonomi khusus mamang, adalah wajar dan masuk akal diberlakukan di Papua barat.
Tapi saya sendiri tidak mengerti bahwa, dalam "Menulis dan dialektika perubahan ", belum pernah menemukan, adanya karya dengan pemikiran secara reflektif dari kita, anak-anak Papua, Inikah Kelemahan Kita Itu?. Selama ini yang saya dapati kita saling memaki, menghujat, emosional, trush cliem, tidak terkoordinasi, menganggkat diri sebagai pemimpin Papua dan lain sebagainya selama, tidak lain adalah oleh akibat langsung dari kurangnya disiplin diri dan langkahnya intelektual terlibat dalam gerakan perjuangan Papua Merdeka.
Budaya inteletual yang kita punyai dewasa ini hanya pemikir 'pemamah' (baca, plagiat), sehingga, kita belum banyak merumuskan konsep-konsep negara Papua Barat, akan seperti apa jika kelak merdeka, dalam hal ini menyangkut persepsi nasionalisme. Dan kita belum banyak melakukan terosan baru yang dapat mempengaruhi perubahan itu sendiri. Sehingga masuk akal jika selama ini ada kesan umum masyarakat internasional bahwa; Papua tetap menjadi issu feriveral (pinggiran) dalam kontelasi perpolitikan internasional.
Hal ini terbukti dari laporan situs resmi OPM, beberapa waktu yang dilaporkan bahwa issu Papua ditingkat Internasional/ PBB, bahwa issu kemerdekaan Negara Papua Barat, dikenal tapi tidak populer alias lemah. Bahkan mereka (PBB) pernah dengar tapi bukan main strim dalam agenda sidang umum PBB selama ini.
Kesimpulan
Oleh akibat lemahnya budaya inteletual dikalangan para aktivis dan pejuang Papua Merdeka adalah penyebab utama, issu Papua Merdeka sangat lemah di PBB. sehingga menyebabkan, pembentukan opini internasional tentang Papua sangat soak (lemah). Menurut saya kita saat ini belum memiliki budaya intelektual yang pada kajian-kajian intelektual baik menyangkut; waaltanchaung (falsafah negara), nasionalisme dalam pluralitas suku bangsa, agama dan penduduk dewasa ini di Papua Barat. Akhirnya, ini apakah intelektual kita sebagaimana Joshua R Mansoben, antropolog pertama Papua dewasa ini dalam pengakuan kompas beberapa waktu lalu "tidak tertarik dengan issu Politik", padahal dia adalah seorang pakar antropologi yang berarti pakar politik papua, dia lebih tertarik pada keilmuan dari pada paktisi politik.
Wallahu'alambishowa b.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan