Oleh : Ismail Asso
Pendahuluan.
Pameo: ‘Adat lebih dulu ada, baru Agama dan Pemerintah datang kemudian’; maksud kalimat ini menunjukkan bahwa kata pertama mutlak bagi orang Papua tapi dua kata dibelakang netral. Karena itu ada asumsi bahwa : ‘Papua milik -Tuhan, Orang Papua -Pewaris.’ Penting diingatkan ini disini agar senantiasa Papua Zona Damai. Dengan demikian tumbuh kesadaran bersama agar tidak ada cliem tafsir monopoli.
Disini penulis ingin memberikan sedikit sumbangan pikiran, teologi inclusive dalam pluralitas masyarakat Papua. Dengan demikian diharapkan kedepan ada elaborasi lebih lanjut pengembangan teologi Islam inclusive perspektif islam yang kemudian disesuaikan dengan konteks social masyarakat Papua.
Diktum bahwa agama memiliki nilai kebenaran bersifat universal tanpa dibatasi sekat-sekat primordialisme. Karena agama dalam dirinya memiliki kesanggupan menembus batas lokalitas nilai seperti teritory, ras, suku, marga, bahasa dst. Demikian watak semua agama samawi yang itu dianut orang Papua seperti berkembang dewasa ini.
Tiga agama besar dunia itu pada dirinya tidak ada keistimewaan membatasi. Misalnya membatasi agama tertentu diperuntukkan khusus suku, marga, bangsa, bahasa dan kampung tertentu. Sebagaimana aturan manusia ada daerah khusus seperti Otonomi Khusus Papua. Jika ada orang mau membatasi agama tertentu agar jangan dianut akhirnya gagal dan hasilnyapun sia-sia belaka.
Ormas Islam
Semua peneliti sepakat agama pertama hadir di Papua Islam. Agama ini 300 tahun lebih dulu masuk Selatan Barat Papua abad 16 (Toni Wanggai, 2009) melalui jalur perdagangan (JR. Mansoben, 1999). Integrasi negara penganut Islam mayoritas dunia (baca: Indonesia) tahun 1962. Namun belum ada pemukim pribumi menganut islam (Pigay, 2000). Ini berarti ada yang wrong dari Ormas Islam Papua. Apa kesalahan Ormas Islam? Disini bukan tempatnya tunjuk jari telunjuk kearah hidung siapa salah tapi kelemahan itu diperbaharui dan waktunya sekarang. Tulisan ini dipersembahkan tujuan itu.
Terlepas siapa yang salah dan dimana kesalahan itu bukan tujuan tulisan ini. Apakah islam lama atau baru dan penganut islam terbatas pada orang pendatang bukan juga harusnya orang pribumi Papua? Pastinya ormas islam khusus yang bergiat diri da’wah dikalangan pribumi Papua tidak pernah ada. Kaum muslim muhajirin dalam pengorganisasiannya selama ini belum pernah vocus. Kecuali itu perkenalan islam orang Papua melalui para pedagang muslim muhajirin (Mansoben, 1999).
Ormas Islam sampai detik ini tidak memiliki organisasi khusus da’wah bergerak dikalangan orang asli papua untuk menda’wakan agama islam adalah sebab lain da’wah islam Papua gagal total walau telah lama hadir. Ormas islam, sebagai organisasi cabang dari pusat baru dibentuk, itupun orientasinya lain, para pengurus cabang bukan vokus da’wah sebagaimana seharusnya tapi ada target lain bersifat sekunder. Kalaupun ada tujuan itu dibidang pendidikan namun lagi-lagi tidak significant hasilnya kita saksikan bersama kini.
Rasanya tidak ada satupun ormas Islam pusat yang belum ada cabangnya di Papua saat ini. Mulai dari ormas besar NU, Muhammadiyah, MUI, ICMI, Fatayat NU dan Aisyiah, sampai organisasi kemahasiswaan dan pemuda islam HMI, PMII, IMM, KAMMI, ANSOR dan KAHMI untuk sekedar menyebut beberapa. Semua ormas Islam besar pusat, dibentuk pemerintah maupun kelompok aliran agama islam bidang da’wah khosh (khusus) maupun ‘aam (umum) kini sudah ada di Papua.
Ormas yang dibentuk orang Papua seperti MMP dan FKMPT, YAPIS dan beragam lembaga pendidikan formal non formal islam, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sebagai lembaga da’wah atau organisasi umum yang berdampak da’wah seperti disebut diatas. Belum lagi partai politik berbasis massa islam dan berasas islam semua sudah masuk dan kini ada di Papua. Ada yang dari hilang ormas islam papua selama ini yakni ruh jihad da’wah islam sebagai agama rahmatan lil’alamin (kasih sayang untuk seluruh alam).
Dari banyak ormas islam itu terbukti tidak satupun diterima orang Papua. Sebaliknya islam tetap saja asing bagi orang Papua. Malah banyak orang Papua tidak tahu, kalau dinegeri mereka, islam agama lebih dulu hadir dan dianut orang Papua di Selatan Barat daerah berbudaya irarutu (mulai dari Kaimana, Fak-Fak, Bintuni, Kokoda sampai Raja Ampat). Umat islam tidak peka dan mati fungsi humanismenya karena depan mata terjadi pelanggaran HAM dan pengerukan harta kekayaan alam secara gila tak terkirakan diangkut pencuri keluar tanpa peduli orang asli Papua sebagai pemilik ulayat.
Orang islam tahu dan saksikan penderitaan orang asli Papua tapi diam tanpa peduli. Oknum orang islam sebagai pejabat jadi saksi dan memberi izin pencurian asing harta kekayaan alam seperti emas orang Papua. Orang islam ikut menyetujui dan membuat UU yang memungkinkan tindakan pencurian Negara-negara asing seperti Emas Timika oleh Amerika, Gas Bintuni oleh Inggris, Ikan oleh Jepang, Gas Bumi Mamberamo oleh Cina dan Kayu Merbau berbagai Negara Asia dan Eropa.
Maka wajar akibatnya persepsi orang Papua, islam dan orang islam berbuat-terlibat kejahatan pada diri mereka dan itu islam dan ormas islam Papua diam membisu seribu bahasa tanpa peduli. Dalam batas-batas tertentu sebahagian pihak, islam dicurigai sebagai bagian dari kolonialisasi dan kejahatan itu. TNI-POLRI yang dikirim pusat umumnya beragama islam untuk menjaga territory wilayah NKRI, berkomprotasi dengan rakyat penegak HAM. Dalam pada itu tentu, apalagi cara pikir “awam”, belum membedakan agama dengan manusia. Bagi mereka agama senantiasa identik malah sama. Sebagai akibatnya bisa diduga islam terposisikan dalam posisi keliru itu.
Paradigma Baru
Memperbaiki persepsi keliru sebahagian orang Papua itu tanggungjawab kerja intelektual muslim Papua. Citra Islam harus dipulihkan dari persepsi keliru. Islam sebagai agama berbeda dari manusia. Agama Islam sama dengan agama Katollik dan Protestan. Islam, Protestan dan Katolik agama Tuhan. Islam agama Tuhan beradik kaka dengan agama Yahudi dan Kristen. Islam agama kelanjutan dari agama Yahudi dan Kristen. Pembawa agama semuanya bersaudara lain ibu (Cak-Nur, 1999).
Nabi Musa AS (Moses), Yesus (Nabi Isa AS) Nabi Muhammad SAW keturunan Abraham (Nabi Ibrahim AS). Pernyataan mereka dalam Surat Al-Baqarah Ayat terakhir, mengatakan bahwa mereka percaya pada satu Tuhan, Kitab, Nabi dan Hari Kiamat. Tidak ada perbedaan diantara para Rasul. Kemudian mereka berdo’a dan pasrah pada Tuhan Yang Satu (Esa) dan sama. ‘Mereka berkata, kami mendengar, dan kami taat, dan ampunilah kami, sesungguhnya kepada Engkaulah tempat kami semua kembali’. (QS. Al-Baqarah; 287).
Usaha perubahan itu harus dimulai dari dalam diri umat islam dulu. Positif thinking (hus su’udhon) umat Islam Papua pada pribadi Yesus (Nabi Isa AS) sebagai Nabi dan Rasul saudara sepupu Nabi Muhammad. Harus dihormati kepercayaan orang Kristen bahwa Yesus sebagai Tuhan bagi orang Kristen Papua. Sepenuhnya harus dihormati tanpa harus terjebak debat kusir kepercayaan itu salah-benar. Karena kakek pembawa agama (Yesus dan Muhammad) sama Nabi Ibrahim. Positif thingking harus dimulai dari orang Islam.
Jika apresiasi keyakinan masing-masing dihormati maka timbul kerjasama. Akhlaqul Karimah (Islamic ethice) karena itu haruslah didahulukan. Maka Islam diterima dan dipandang sebagai sesuatu yang tidak asing. Islam dikenali karena keunggulan akhlaqul karimah. Itu membuat orang menjadi simpati dan menerima Islam. Sehingga tidak ada sikap alergy pada islam. Kesan ada islam phobia kelompok lain dan dalam batas-batas tertentu ada asumsi islam “tercurigai” bagian integral dari kolonisasi itu sendiri.
Meluruskan persepsi negative dan keliru itu,maka tidak ada cara lain selain umat islam kembali pada ajaran islam hakiki bersumber Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan memimjam ilmu social Barat untuk mencari formulasi da’wah dari sumber asli agar dapat memperbaiki citra islam sebagai agama Tuhan, berhak survive (tumbuh dan berkembang) di Tanah Papua. Untuk itu beberapa langkah secara fundamental harus diperhatikan. Ormas islam Papua harus turun kebawah. Tidak elitis dan berorientasi kekuasaan pusat. Tapi secara proaktif terlibat dalam kerja-kerja social, pelanggaran HAM dan demokrasi. Islam harus tampil dalam wajah ramah penuh peduli lingkungan sekitar (rahmatan lil’alamin).
Hal ini tentu saja dengan sendirinya menjawab hambatan psikologis muslim Papua. Selain tidak akan ada hambatan psikologi proses pribumisasi nilai-nilai islam (da’wah bilhal). Agama islam semakin diterima dan mampu berkembang sebagaimana agama lain secara bersama di Papua kedepan ini. Maka perubahan paradigm baru ormas islam mutlak perlu diperhatikan disini. Adapun pembenahan dimaksudkan itu adalah :
· Kontekstualisasi konsepsi Hijrah kaum muslimin secara umum
· Revolusi atau ferormasi kepemimpinan ormas islam pada orang asli Papua
· Regenerasi kepemimpinan ormas islam agar tidak tertumpuk pada seseorang
· Kaderisasi dan distribumi SDM muslim asli diberbagai organisasi islam.
Konsep hijrah yakni cara berpikir pindah dari tempat lama (Mekkah) tidak menguntungkan dan mencari tempat baru untuk membangun kehidupan lebih baik (konteks Madinah) dapat dipahami disini. Membangun kehidupan baru lebih baik itu dengan sendirinya sesuai konteks sosial tempat baru dan pola pikir baru. Nabi Muhammad hijrah dari Mekkah dan memilih Yastrib (Madinah). Tempat baru itu sudah ada orang Yahudi, Nasrani dll persis kontek Papua saat ini. Maka dibuatlah konstitusi Madinah yang terkenal itu.
Maka perubahan paradigm baru orang islam urban (muhajirin, isim masdar hijrah) penting diperhatikan disini. Demikian itu harus dimulai dari ormas islam dan menjadi perhatian penting para tokoh ulama Papua. Paradigma lama secara eksclusive berorientasi keatas menunju pusat kekuasaan duniawi, secara fundamental harus direcontrucsi (dirubah total). Berarti yang mutlak dan wajib dirubah itu adalah sikap, tindakan, pola pikir dan tindak tanduk pengurus ormas islam dan lembaga da’wah.
Perubahan pengalihan kepemimpinan ormas islam kepada orang asli Papua sesuai semangat Otsus adalah paling penting dan perhatian paling utama harus diperhatikan. Karena perubahan paradigma baru ormas islam kedepan yang ditawarkan disini untuk menghilangkan kesan keliru. Perubahan total eksclusivisme ormas islam pola lama dengan teologi inclusive (keterbukaan beragama) berdasarkan data asumsi teologis sebagaimana dipaparkan diatas tadi.
Sebab pada dasarnya islam agama beradik kaka dengan agama Yahudi dan Kristen (agama anutan mayoritas rakyat Papua), maka punya potensi hidup rukun dengan ketiga agama besar ini (Yahudi, Kristen dan Islam). Ketiganya secara historis bersumber semit dari abramic relegion yang memiliki nilai kebenaran bersifat universal tanpa dibatasi sekat-sekat primordialisme.
Pengalihan kepemimpinan ormas islam kepada pribumi secara sadar dan terencana harus menjadi perhatian intelektual muslim Papua. Kerja-kerja konkrit kemanusiaan apa yang dialami rakyat Papua harus ada kepedulian dari orang Islam Papua. Mungkin hal ini sudah dicoba lakukan element Majelis Muslim Papua, namun sesuatu yang baik bernilai positif harus didukung semua Ormas Islam Papua.
Umat islam populasinya kian bertambah seiring arus urbanisasi. Peningkatan kuantitas itu terjadi sesuai perkembangan waktu dan kebijakan politik pusat. Hal itu membawa implikasi lain dan baru bersifat positif negative sekaligus. Keislaman belum menjadi rahmatlil’alamin kehidupan bersama. Ciri khusus umat islam dalam posisi sadar-tidak sadar mayoritas pemeluk islam berperangai menindas. Belum lagi umat islam tidak mampu merubah akhlaq dari dalam diri sendiri tatkala berjumpa dengan lain.
Barangkali jargon idealisme “Papua Zona Damai” yang dimaksudkan para tokoh Papua. (Menurut Sekjen MMP, Anum Siregar) gagasan ini bermula dimunculkan oleh Muhammad Thaha Al-Hamid, sesungguhnya sejalan dengan teologi semua agama samawi yang bersumber dari satu budaya semit Timur Tengah. (Bersambung).
*** ***
*Ismail Asso, Kelahiran Walesi Wamena, adalah Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah Papua (FKMPT) Papua, pernah belajar di Pesantren dan Kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Syari’ah (Hukum Islam). Bisa dihubungi via HP : 081383418655