Bismillaahirrahmaanirrahim
Ummah adalah komunitas anak-anak manusia yang memiliki kesatuan pemikiran, keyakinan, mazhab dan metodologi, yang tidak saja tergambarkan di da lam ide, tetapi terbukti perwujudannya di alam nyata. Indi vidu-individu suatu Ummah, dari keturunan, ras dan tanah air manapun mereka berasal, mempu nyai cara berpikir dan keyakinan yang sama, dan sa at yang sama mereka mengharuskan diri mereka bergerak me nuju kesempurnaan - dan bukan kebaha giaan - dibawah kepemimpinan sosial kolektif.
Kepemimpinan ummah yang dinamakan imamah i tu, tugasnya bukanlah seperti Kepala Negara Ameri ka Serikat atau penanggung jawab acara 'Anda dan Radio' yang harus bekerja sebagai suatu kelompok untuk memenuhi selera dan keinginan para pendengarnya, dan tidak cuma memiliki kewajiban untuk merealisasi kan kebahagiaan dan kesejahtera an paling tinggi bagi individu dan diharuskan pula un tuk memimpin gera kan sosial menuju kesempurna an, melalui program-program yang digariskan secara mantap, disertai gera kan yang cepat dan tepat, se hingga manakala menjadi taruhan adalah penderita an individu-individu, maka hendaknya hal itu merupa kan penderitaan yang secara nyata dirasakan mayoritas ummah, dan sama sekali bukan sesuatu yang fiktif belaka.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka imamah ki ni menjadi manifestasi dari 'risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat' dari 'apa yang kini ada' (das sollen) semaksimal yang bisa dila kukan, bukan berdasarkan pada keinginan pribadi se orang Imam, melainkan atas konsep yang baku yang menjadi kewajiban bagi Imam lebih dari individu lain nya. Itulah sebabnya, maka imamah berbeda dari kepemimpi nan diktator, sekaligus menentang kepemimpinan revolusionir- ideologis dan diktator-individual.
TA'ASHSHUB;
INTERAKSI LEBIH TINGGI KETIMBANG KESAMAAN IDEOLOGY
by
DR Ali Syariati
INTERAKSI LEBIH TINGGI KETIMBANG KESAMAAN IDEOLOGY
by
DR Ali Syariati
Saya mempunyai keyakinan, hatta pada waktu-wak tu belakangan ini, bahwa ikatan paling tinggi dan sa kral adalah kesamaan Ideology dan Keyakinan. Arti nya saya menyadari bahwa orang paling dekat de ngan diri saya adalah orang-orang yang mempunyai jalan berpikir seperti saya, dan memiliki keimanan se perti yang saya yakini.
Sebenarnya memang demikian persoalannya bila kita analogikan pada berbagai bentuk interaksi lainnya. Tetapi dari istilah Ummah, ternyata kita bisa sampai pada istilah Ta'ashshub, yakni interaksi antara anak-anak manusia dalam bentuknya yang lebih tinggi ketimbang interaksi yang didasarkan atas kesa maan ideology dan kemiripan dalam keyakinan.
Individu-individu yang hidup dalam satu ummah, tidak saja dekat dalam aspek pemikiran, tetapi juga memi liki ikatan yang lebih mendalam dan kuat diban ding itu. Diantara interaksi-interaksi yang didasarkan atas ke lompok, keturunan, warna kulit dan kesama an tanah air, tidak satupun yang terjamin dan memili ki eksisten si hakiki dan praktis. Sementara itu, ika tan ideologis dan keyakinan, kendatipun boleh diang gap sebagai satu-satunya ikatan yang paling tinggi, toh bukan apa-apa, jika kita menunjuk kepada istilah Satre, "ia tidak punya eksistensi swebagai sesuatu yang esensial, sebab tidak berlaku dalam kehidupan praktis".
"Aku berpikir dengan cara ini", "Aku punya keyaki nan tertentu", "Aku orang baik", "Aku orang jahat" dan ungkapan-ungkapan seperti itu, semuanya ha nyalah konsep-konsep kosong dan baru bisa dianggap eksis serta punya arti manakala telah ter bukti eksistensinya secara nyata. Justeru itu "Aku orang baik" dan "Aku orang jahat", sama dan seban ding, dan sama pula dengan konsep-konsep berikut ini: "Engkau berpikir", "Kami berpikir dengan metode yang sama", dan "Kita tidak memiliki ,metode berpi kir yang sama", sebab semuanya memang tidak punya eksistensi. "Kita berpikir dengan metodologi yang sama dan memiliki ke yakinan yang sama pula", memang merupakan ungkapan yang benar, tetapi manusianya tetap belum eksis. Ia baru dikatakan eksis bila telah meniupkan etos kerja dalam hal-hal yang "baik" atau "buruk", '"indah" atau "jelek", "pengabdian" atau "pengkhianatan" . De ngan tinjauan seperti ini ,maka adanya dua orang yang ber satu dalam pemikiran, memiliki eksistensi dalam bentuk ide secara potensial, dan baru bisa di katakan suatu eksistensi yang nyata manakala kedua nya telah menapaki jalan menuju alam nyata.
Disini kita melihat bahwa jika hanya semata-mata po tensi pemikiran dan keimanan yang sama, maka tetap dianggap sebagai sesuatu yang belum berarti apa-apa. Artinya, belum ada pengaruhnya sedikitpun terha dap kehidupan individu, dan tidak pula bakal memberikan pengaruhnya terhadap kehidupan um mat manu sia. Dan disaat kesatuan qalbu, keimanan dan penderitaan tersebut sudah menyatu dengan amal, niscaya ia akan muncul dalam realita. Itulah se babnya, maka para ulama mendefinisikan iman de ngan, 'pengakuan lisan dan pengamalan dengan anggota tubuh'.
Sebenarnya memang demikian persoalannya bila kita analogikan pada berbagai bentuk interaksi lainnya. Tetapi dari istilah Ummah, ternyata kita bisa sampai pada istilah Ta'ashshub, yakni interaksi antara anak-anak manusia dalam bentuknya yang lebih tinggi ketimbang interaksi yang didasarkan atas kesa maan ideology dan kemiripan dalam keyakinan.
Individu-individu yang hidup dalam satu ummah, tidak saja dekat dalam aspek pemikiran, tetapi juga memi liki ikatan yang lebih mendalam dan kuat diban ding itu. Diantara interaksi-interaksi yang didasarkan atas ke lompok, keturunan, warna kulit dan kesama an tanah air, tidak satupun yang terjamin dan memili ki eksisten si hakiki dan praktis. Sementara itu, ika tan ideologis dan keyakinan, kendatipun boleh diang gap sebagai satu-satunya ikatan yang paling tinggi, toh bukan apa-apa, jika kita menunjuk kepada istilah Satre, "ia tidak punya eksistensi swebagai sesuatu yang esensial, sebab tidak berlaku dalam kehidupan praktis".
"Aku berpikir dengan cara ini", "Aku punya keyaki nan tertentu", "Aku orang baik", "Aku orang jahat" dan ungkapan-ungkapan seperti itu, semuanya ha nyalah konsep-konsep kosong dan baru bisa dianggap eksis serta punya arti manakala telah ter bukti eksistensinya secara nyata. Justeru itu "Aku orang baik" dan "Aku orang jahat", sama dan seban ding, dan sama pula dengan konsep-konsep berikut ini: "Engkau berpikir", "Kami berpikir dengan metode yang sama", dan "Kita tidak memiliki ,metode berpi kir yang sama", sebab semuanya memang tidak punya eksistensi. "Kita berpikir dengan metodologi yang sama dan memiliki ke yakinan yang sama pula", memang merupakan ungkapan yang benar, tetapi manusianya tetap belum eksis. Ia baru dikatakan eksis bila telah meniupkan etos kerja dalam hal-hal yang "baik" atau "buruk", '"indah" atau "jelek", "pengabdian" atau "pengkhianatan" . De ngan tinjauan seperti ini ,maka adanya dua orang yang ber satu dalam pemikiran, memiliki eksistensi dalam bentuk ide secara potensial, dan baru bisa di katakan suatu eksistensi yang nyata manakala kedua nya telah menapaki jalan menuju alam nyata.
Disini kita melihat bahwa jika hanya semata-mata po tensi pemikiran dan keimanan yang sama, maka tetap dianggap sebagai sesuatu yang belum berarti apa-apa. Artinya, belum ada pengaruhnya sedikitpun terha dap kehidupan individu, dan tidak pula bakal memberikan pengaruhnya terhadap kehidupan um mat manu sia. Dan disaat kesatuan qalbu, keimanan dan penderitaan tersebut sudah menyatu dengan amal, niscaya ia akan muncul dalam realita. Itulah se babnya, maka para ulama mendefinisikan iman de ngan, 'pengakuan lisan dan pengamalan dengan anggota tubuh'.
Ummah adalah komunitas anak-anak manusia yang memiliki kesatuan pemikiran, keyakinan, mazhab dan metodologi, yang tidak saja tergambarkan di da lam ide, tetapi terbukti perwujudannya di alam nyata. Indi vidu-individu suatu Ummah, dari keturunan, ras dan tanah air manapun mereka berasal, mempu nyai cara berpikir dan keyakinan yang sama, dan sa at yang sama mereka mengharuskan diri mereka bergerak me nuju kesempurnaan - dan bukan kebaha giaan - dibawah kepemimpinan sosial kolektif.
Kepemimpinan ummah yang dinamakan imamah i tu, tugasnya bukanlah seperti Kepala Negara Ameri ka Serikat atau penanggung jawab acara 'Anda dan Radio' yang harus bekerja sebagai suatu kelompok untuk memenuhi selera dan keinginan para pendengarnya, dan tidak cuma memiliki kewajiban untuk merealisasi kan kebahagiaan dan kesejahtera an paling tinggi bagi individu dan diharuskan pula un tuk memimpin gera kan sosial menuju kesempurna an, melalui program-program yang digariskan secara mantap, disertai gera kan yang cepat dan tepat, se hingga manakala menjadi taruhan adalah penderita an individu-individu, maka hendaknya hal itu merupa kan penderitaan yang secara nyata dirasakan mayoritas ummah, dan sama sekali bukan sesuatu yang fiktif belaka.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka imamah ki ni menjadi manifestasi dari 'risalah kepemimpinan dan bimbingan individu dan masyarakat' dari 'apa yang kini ada' (das sollen) semaksimal yang bisa dila kukan, bukan berdasarkan pada keinginan pribadi se orang Imam, melainkan atas konsep yang baku yang menjadi kewajiban bagi Imam lebih dari individu lain nya. Itulah sebabnya, maka imamah berbeda dari kepemimpi nan diktator, sekaligus menentang kepemimpinan revolusionir- ideologis dan diktator-individual.
(Cuplikan dari buku Ummah dan Imamah, karya DR Ali Syariati, rausyanfikr dari RII)
Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.