Jumaat, 6 November 2009

APAK AH SEMUDAH ITU KITA MENGAKU BERIMAN PADAHAL BELUM TERUJI SEBAGAIMANA ORANG DAHULU DITIMPA DENGAN BERBAGAI COBAAN?

Bismillaahirrahmaanirrahiim






ORANG YANG TERUJI IMANNYA MAMPU MEMILIH
HIDUP MENDERITA SELAGI SYSTEM ISLAM
YANG RAHMATAN LIL ALAMIN
BELUM EXIST
DALAM KOMUNITAS MEREKA
Muhammad al Qubra
Acheh - Sumatra




Kampus itu adalah produk Taghut Indonesia Pancasila. Jadi bagaimana mungkin mereka tidak "padam" ketika menyaksikan berbagai persoalan di Acheh - Sumatra paska perjanjian Helsinki. Menurut info dari bung Vande itu kanun Jinayah yang sedang heboh sekarang adalah produk para intelektual menara gading di kampus-kampus. Mereka. Mereka sepertinya hendak mengumumkan kepada orang Acheh - Sumatra bahwa mereka memahami hukum Tuhan. Sebetulnya mereka itu bukan kaum Intelektual tapi para Ilmuwan yang melacur ilmunya kepada penguasa Indonesia. Kalaupun terlanjur disebut kaum Intelektual, juga gak salah tapi Intelektual "menara gading". Mereka tidak memahami esensi Islam. justru itu mereka tidak memahami dimana seharusnya hukum tersebut diletakkan. Ketika hukum Jinayah diturunkan Allah, system Islam sudah Exist. Andaikata mereka itu bukan intelektual menara gading atau ilmuwan yang melacur ilmunya buat penguasa, mereka pasti sejak dulu bersatupadu dalam perjuangnnya bersama DR Tgk Hasan Muhammad Ditiro, meninggalkan kampus kendatipun mereka di gaji oleh penguasa Indonesia dimana sebetulnya gaji tersebut berasal dari hasil "curian" minyak Bumi orang Acheh - Sumatra sendiri. Apabila para intelektual tersebut menyadari hal seperti itu barulah mereka berobah statusnya disisi Allah dari intelektual gadongan menjadi Intelektual sejati atau Ideolog bukan intelektual menara gading.

Sekarang Tgk Hasan sudah tua dan sepertinya tidak produktif lagi untuk berfikir. Andaikata beliau masih seperti dulu, pastinya sesuai dengan ucapannya yang revoklusioner itu: Lebih baik mati daripada berdamai dengan Indonesia-Jawa. Malah katanya 1000 x. Hal ini saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa Tgk Hasan tidak sesuai lagi perbuatannya dengan ucapan tapi disebabkan kondisinya sekarang yang terpaksa berbuat senekat itu. Dengan kata lain saya tidak akan menyalahkan beliau tapi kitalah yang akan meneruskan cita-cita beliau dimana hal tersebut merupakan cita-cita kita juga sebagai bangsa Acheh - Sumatra yang masih sadar. Di alinia ini saya hendak katakan andaikata para intelectual menara gading turun untuk membimbing kaum dhuafa bersama tgk Hasan ditiro, perdamaian yang sudah pasti menjadi permainan Indonesia yang hipokrit itu tidak perlu terjadi. Saya juga yakin Acheh - Sumatra sejak dulu Sudah merdeka. Pabila Acheh sudah terbebas dari jeratan Indonesia, yang pertama dipikirkan para ideolog adalah Finansial setiap penduduk Acheh - Sumatra. Apabila finansial rakyatnya sudah tercapai barulah semua hukum Tuhan dapat diberlakukan. Maksud saya semua hukum Allah dapat diberlakukan kecuali hukum potong tangan harus ditunda sampai kapan? Sampai tercapai finansil seluruh penduduknya. Dengan kata lain hukom potong tangan sudah bisa diterapkan kepada para koruptor dan orangorang yang sudah mapan ekonominya.

Sekarang banyak persoalan yang muncul dan menjadi ajang perdebatan yang tidak putus-putusnya, kenapa? Sebabnya kita sudah naik anak tangga yang ke 3 sementara kita seharusnya masih berada di posisi anak tangga ke satu (baca memutuskan jeratan belenggu Taghut Indonesia). Setelah itu baru membangun systemnya, menapaki anak tangga ke 2. Andaikata para intelektual menara gading sadar dan meninggalkan segala-galanya di kampus buat sementara, memilih hidup menderita bersama pejuang lainnya barulah sekarang saatnya menapaki anak tangga ke 3. Merumuskan dan mengesahkan Hukum Jinayah dan hukum-hukum lainnya sesuai perintah Allah swt. Orang Islam yang teruji Imannya mampu memilih hidup menderita demi keselamatan Akhiratnya dan pantang bekerja sebagai pegawai negeri dalam system Taghut yang menjejaskan kehidupan kaum dhuafa. Untuk inilah para Rasul diutus Allah. Realitanya para intelektual menara gading bukan saja diam seribu satu bahasa dikampus menikmati gaji yang tinggi saat DR Hasan Ditiro memimpin kaum duafa didalam dan di luar negeri tapi malah sebahagian mereka masih tega melahab dana para korban Tsunami, perlukah saya sebutkan namanya satu persatu?

Jadi sebetulnya para intelektual gadongan itulah yang sepertinya bersembunyi dibalik layar hukum Jinayah di Tanah Rencong untuk menipu kaum dhuafa hingga terkesan Acheh sudah Islami. Ironisnya bagi siapa saja yang menolak hukum tersebut dengan alasan belum exist system Islamnya, mereka tidak segan-segan menuduh kafir. Mereka tidak sadar sesungguhnya mereka itulah yang relatif kafir secara filosofis (baca mencari kesenangan diatas penderitaan kaum dhuafa dan bekerja sama dengan penguasa dhalim), dimana mereka termasuk dalam surah 2 ayat 8/hipokrit.

Para intelektual menara gading itu bukan orang awwam yang perlu kita nasehati dengan bahasa yang menyentuh. Mereka itu kita perjelas posisinya bukan untuk menyadarkan mereka tapi untuk mecerahkan hati kaum dhuafa hingga mereka sadar siapa penghuni kampus tersebut sebetulnya. Sebahagian mereka pernah mengatakan bahwa orang GAM itu terdiri dari manusia-manusia bodoh, padahal sesungguhnya merekalah yang bodoh tapi mereka takpernah sadar. Mereka tertutup hatinya disebabkan terlalu lama bersatupadu dalam system dhalim dan korrup. Tidakkah pembatja renungkan siapakah dulu secara mayoritas yang menyambut ajakan Rasulullah saww? Bukankah kebanykan mereka adalah orang-orang miskin yang tidak sekolah disebabkan kemiskinannya. Mengapa mereka miskin? Apakah disebabkan mereka malas bekerja? Apakah orang Acheh kebanyakan sekarang juga miskin disebabkan malas bekerja? Kalau hal ini kita tanyakan kepada kaum di menara gading sepertinya, ya. Tapi para ideolog mengatakan bahwa mereka miskin disebabkan systemnya yang tidak adil terhadap kaum dhuafa, konon pula diharapkan untuk memihak kepada mereka yang dhaif itu sebagaimana perintah Allah swt. Itulah sebabnya DR Ali Syariati, Intelecual yang Ulama, Syahid, Ahli pikir yang belum ada duanya paska Imam khomaini, berulang-ulang menyebutkan: "Allah,Tuhannya kaum Dhu’afa, Muhammad, Nabinya Kaum Dhu’afa. Allah dan Rasulnya mengharapkan kepada orang-orang yang benar imannya agar memihak kepada kaum dhuaf. Hal ini sesuai dengan tujuan diutusnya para Rasul untuk membebaskan kaum dhuafa dari penderitaan yang menimpa kuduk-kuduk mereka (QS, QS.7:157 & QS, 90:12-18)

DI Acheh - Sumatra, minyak Bumi saja melimpah buat penduduknya andaikata tidak diekploitasi oleh penguasa Indonesia. Apabila hak penduduk tidak diekploitasi, tak ada orang Acheh - Sumatra yang miskin. Tak ada orang Acheh - Sumatra yang tidak sanggup meneruskan pendidikannya sampai kepeguruan Tinggi. Akibatnya semua orang Acheh menjadi pintar, kecuali hanya sedikit saja disebabkan eqyu nya memang rendah. Para penghuni kampus sepertinya tidak senang kalau semua orang Acheh - Sumatra pakai mobil sama seperti mereka. Mereka sama pikiran dengan pejabat "basah" berbicara tentang jalan Tolnya agar para bedebah itu tidak macet di jalan sementara kaum dhuafa merintih di gubuk derita, tertutup mata hati untuk memberdayakan ekonominya.

Jadi yang benar tidakpun semua orang GAM tak sekolah disebabkan system dhalim yang telah menjauhkan mereka dari pembendaharaan Dunia tapi masih ada orang GAM yang pintar dan memilih hidup menderita sampai hari ini. Namun tidak tertutup mata juga, kita menyaksikan sebahagian GAM telah terpuruk meniru para Intelektual gadongan tadi hingga mereka lupa ikrar mereka dulu, sibuk memperkaya diri atas penderitaan kaum dhuafa Acheh - Sumatra paska MoU Helsinki. Mereka itu dapat dipastikan bahwa dulu berjuang bukan karena Allah tapi karena ingin merebut kekuasaan sematamata. Untuk apa? Agar mereka dapat meraih kekayaan. Mereka itu lebih keji daripada musuh bangsa Acheh - Sumatra itu sendiri tapi mereka itu sepertinya tak akan pernah sadar lagi. Jadi kesimpulan lain yang dapat kita temui dari alinia ini bahwa siapapun orang Acheh yang sadar untuk membebaskan diri adalah GAM. Justru itu kalau ada orang Acheh yang merasa pintar tidaklah sepatutnya mengatakan GAM itu bodoh tapi tutupilah kebodohan mereka yang mayoritasnya terdiri dari anak anak muda dimana orang tua mereka telah syahid dalam perjuanga Acheh - Sumatra serta mampu memilih hidup menderita demi kesejahteraan kelak di hari Akhirat yang kekal selama-klamanya. Apabila kita hanya pandai melemparkan isu negatif buat mereka, pastinya kita sendiri yang terkutuk di sisi Allah swt.

Ada satu hal yang perlu kita perjelaskan kepada orang Acheh - Sumatra pada khususnya dan pembaca pada umumnya dimana masih banyak orang yang keliru memahami GAM. Hal ini perlu kita perjelaskan terutama kepada segelintir orang yang menganggap bahwa dirinya itu GAM sementara orang lain bukan GAM. Ironisnya orang seperti itu tidak lagi berani menulis kekeliruan musuhnya dengan alasan sudah berdamai dengan musuh. Orang seperti ini sesungguhnya tidak memahami Esensi Perjuangan GAM yang Islami.

GAM adalah Gerakan Acheh Merdeka (singkatannya), dimana mereka ini senantiasa berdaya upaya untuk melepaskan diri dari belenggu system Taghut Pancasila/Indonesia. Secara mudah dapat dipahami bahwa siapa saja orang Acheh yang sadar untuk melepaskan diri dari system Taghut Indonesia adalah GAM. Yang namanya gerakan itu adalah pejuang-pejuang yang terlibat dalam kemiliteran atau ketentaraan. dalam hal ini adalah TNA. Tapi TNA juga tidak dapat berbuat apa-apa tanpa pemimpin baik tingkat top leadernya maupun pemimpin jenjang bawahannya. Ada satu komponen lagi yang tidak kalah pentingnya yaitu Rakyat dan kaum dhuafa yang bercita.cita sama untuk melepaskan diri dari belenggu yang menimpa kuduk-kuduk mereka. Jadi TNA tanpa rakyatnya umpama ikan tanpa airnya.

Dengan demikina dapat kita pahami bahwa siapapun orang Acheh yang bercita-cita untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan Indonesia dan pantang menyerah adalah GAM. Berdasarkan definisi seperti itu malah orang Acheh yang sudah menyerah kepada musuh adalah GAM gadongan, kecuali benar-benar berkiprah sebagai taktik strategy. Ini mustahil dilakukan oleh orang Acheh yang berperangai cangkul. Justru itu saya menghimbau kepada pihak yang beroposisi supaya menahan diri agar tidak demikian mudah mencaci orang-orang yang telah diangkat wali Negara Acheh - Sumatra. Secara logika kalau kita mencaci orang yang diangkat Wali sama dengan mencaci wali itu sendiri. Bagaimana mungkin kita menghormati Orang tua kita sementara orang yang diangkat orang tua, berani kita hina. Dalam sejarah dulu ada orang yang masih mengaku beriman kepada Allah dan Rasulnya namun mereka membenci orang yang diangkat Rasul sebagai penerus kepemimpinannya. Sesungguhnya orang seperti itu tidaklah termasuk orang beriman. Fenomena yang kita saksikan dulu dimana-mana terulang di jaman kita ini. Andaikata kita yakin bahwa perjuangan sekarang tidak ada harapan lagi sekalipun, secara arif patut bersabar untuk tidak mendahului kecuali perjuangan taktik strategy mereka benar-benar tidak berdaya lagi. Apabila para oposisi terus mencaci pelaksana kepemimpinan sekarang, perlu kita sadari bahwa mayoritas rakyat Acheh masih percaya kepada pemimpin yang ditunjukkah wali. Andaikata tidak bersabar, mayoritas rakyat Acheh tidak akan bergabung dengan anda saat perjuangan mereka berhenti. Bukankah anda mengharapkan agar rakyat Acheh mengikuti anda? Ketika Tgk Hasan Tiro dulu meminta Tgk Daud Dibeureueh memperjuangkan Kemerdekaan Acheh saja, jangan bergabung dengan Negara Islam Indonesia tapi tidak digubris, Tgk Hasan bersabar tidak akan mengambil alih kekuasaan Tgk Daud Dibeureueh. Ini perlu diambil I'tibarnya dari teladan Tgk Hasan Ditiro yang sangat bijak itu.

Himbauwan saya ini tidaklah berarti bahwa saya memihak kepada para oposisi, kecuali merupakan daya upaya saya untuk merajut kembali persatuan Acheh - Sumatra di saat yang akan datang. Apabila cacimaki terhadap pemimpin tidak anda hentikan, sampai kiamat Duniapun, Acheh tetap dalam pecahbelah. Sesungguhnya inilah yang diharapkan oleh bangsa Jawa yang berkedok Indonesia. Mereka yakin hanya bangsa Acheh - Sumatra, Maluku Selatan dan Papua Barat sajalah yang memiliki kemampuan untuk meluluhlantakkan Indonesia - Jawa. Kalau hal ini kita sadari pastinya kita sadaripula bahwa Kanun Jinayah yang sedang digulirkan para pendukungnya, Legislatif Acheh lama, dan para perancangnya di menara gading kampusnya adalah sarungtangan yang digunakan pihak Indonesia jawa agar kita saling bentrok antara satu sama lainnya. Justru itu kalau anda dari tiga komponent yang saya maksudkan diatas sadar akan kebangsaan Acheh yang ingin membebaskan diri dari kaum yang tidak tau balas budi itu, berpatah baliklah untuk melupakan kanun tersebut dan berdaya upayalah dulu melepaskan Acheh - Sumatra dari belenggu pembodohan dari sebrang lautan tersebut. Setelah usaha tangga pertama berhasil barulah kita menapaki anak tangga ke 2 (baca berdaya upaya untuk tercapainya finansial penduduk Acheh Sumatra).Setelah itu barulah kita menapaki anak tangga ke 3 (baca hukum Jinayah termasuk hukum potong tangan bagi para koruptor dan pencuri jenis lainnya sesuai dengan Syariat Islam yang Murni Saat itu akan kita saksikan bahwa tidak seorangpun bangsa Acheh yang melanggar hukum potong tangan dan rajam kecuali oarng yang benar-benar jahat. Sebaliknya apabila sekarang dalam kondisi menapaki anak tangga pertama tapi kita bernafsu untuk menapaki anak tangga ke 3, bukan Islam yang rahmatan lil alamin yang kita terima tapi Islam yang beringas dan penuh kepalsuan yang tidak jauh berbeda dengan "dapurnya", Indonesia - Jawa. Apabila sandiwara yang dimainkan pihak Indonesia dan segenap pendukungnya di Acheh - Sumatra berhasil diaplikasikan, Yang paling terjejas dimata Internasional adalah Agama Islam Murni, terfitnah oleh Islam Gadongan ala para Intelektual menara gading dimanapun diseluruh belahan planet Bumi ini.

Kalau hanya dengan alasan kesalahan pemimpin di Acheh sekarang kita tega mencacinya tanpa perhitungan mayoritas pendukungnya, Abu di Beureueh juga salah ketika beliau mau diangkat sebagai Gubernur Acheh dalam system Taghut, kenapa tidak mengambil kesempatan? Ketika Tgk Hasan Ditiro mengingatkan, kenapa masih saja bergabung dengan Indonesia (baca NII). Bukankah disebabkan adanya Acheh, Indonesia Jawa masih dapat bernafas hingga sekarang ini? Masih ingatkah kita sejarah ditangkapnya Soekarno dan Hatta dan dibuang Belanda ke tempat terpencil? Masih ingatkah kita sejarah Pesawat Seulawah 1 dan 2? Justru itulah maka tak ada pihak yang mampu membantah bahwa Indonesia itu bagaikan kacang lupa akan kulitnya, bagaikan lembu ditarik dari sumur namun menyeruduk orang Acheh sebagai penolongnya. Ini merupakan realita yang paling hina bagi siapa saja yang mengaku diri orang Indonesia. Kalau anda merasa orang Indonesia yang tidak ingin terhina berpatah baliklah melawan pihak mana saja yang membuat bangsa anda terhina bukan marah kepada kami bangsa Acheh - Sumatra.

Sebelum saya akhiri tulisan ini ada satu hal lagi yang perlu juga kita ingatkan hawa benar sekali Islam itu tidak memaksa siapapun untuk masuk ke dalamnya tapi apabila kita telah memilih masuk ke dalamnya barulah Islam berhak memaksakannya segala ketentuan yang terdapat di dalamnya. Apakah yang berhak dipaksakan itu? Hukum yang berlaku. Kalau penguasa tidak memaksakan rakyatnya agar tundukpatuh kepada hukum yang diturunkan Allah Justru penguasa itu duluan yang mendapatkan cap Kafir, Dhalim dan Fasiq dari Allah swt bukan dari manusa (QS, al Maidah 44, 45 dan 47) Persoalannya sekarang kapan pemaksaannya itu berlaku? Ketika system Islam sudah exist. Apabila system Islam belum exist macam di Acheh - Sumatra sekarang belum dapat dipaksakan, kenapa dan apa logikanya? Logikanya Acheh sekarang belum memiliki power untuk menegakkan keadilan. Andaikata para penggagas kanun Jinayah sanggup menjalankan keadilan dimana bukan saja hukum itu diterapkan kepada rakyat jelata tapi juga kepada tentara dan polisi, gubernur, bupati, walikota, camat dan seluruh pejabat lainnya serta pegawai Negeri, silakan sekarang juga hukum jinayah itu dapat diberlakukan dan logis mendapat cap kafir bagi siapa saja yang tidak setuju, sanggupkah? Pastinya tidak. Kenapa tidak? Power Tangut Indonesia masih berkuasa atas Acheh - Sumatra. Justru itu hukum tersebut tidak berlaku bagi pegawai negeri dan pejabat Indonesia di Acheh, apa lagi polisi dan tentara.

Nah apabila hukum tersebut hanya dipaksakan kepada orang sipil saja tidak termasuk pegawai negeri dan pejabatnya, para alim palsu dari menara gading tadi mengira Islam telah dipraktekkan di Acheh hingga tertutuplah selamanya usaha untuk pembebasan Acheh dari belenggu Indonesia - Jawa. Inilah effek daripada diberlakukan syariat pura--pura di Acheh - Sumatra dan inilah politik keji daripada Konspirasi jahat para intelectual menara gading, para alimpalsu dari sebahagian pesantren dan penguasa Indonesia yang bersembunyi dibalik layar.

Billahi fi sabililhaq
Muhammad al Qubra
Acheh - Sumatra




Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.