Isnin, 8 Jun 2009

ANTISIPASI KONFLIK SARA

Belakangan ini di Tanah Papua dan Papua Barat muncul berbagai lembaga pengembangan/ penyiaran agama dengan doktrin-doktrin intoleran dari satu keyakinan agama pada keyakinan agama lain. Mulai dari garis halus sampai garis kasar/garis keras mewabah di Papua cukup memprihatinkan kita semua. Penyiaran dengan main tabrak aturan itu di sinyalir dilakukan oleh aliran kepercayaan bersumber dua agama besar dunia (baca, Islam dan Kristen). Jika tidak diantisipasi dengan baik, maka itu akan berpotensi konflik horizontal.



Gejala demikian itu dikomentari tidak kurang dari Sekjen PDP. Bahkan dia mengeluhkan hal ini dalam siaran Radio Nederland beberapa waktu lalu. Belum lagi bahaya konflik horizontal oleh tumbuh suburnya berbagai paguyuban etnis dan lembaga sosial penyiaran yang akhir-akhir ini marak di Papua. Intoleransi penyiaran agama menghantui rakyat Papua dalam perjalanan pembangunan Papua diera otsus kedepan ini.



Potensi konflik berdimensi primordial demikian tidak hanya bersumber agama tapi juga dapat berasal dari paguyuban berdasar etnis (suku) yang kini tumbuh subur. Misalnya KKSS (Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan), FLABAMORA, Keluarga KAWANUA, Kelompak Pegunungan, Pulau dll. Jika tidak diantisipasi dari sekarang melalui dialog antar umat beragama dan antar peradaban atau antar adat budaya berbagai etnis yang hidup dan tumbuh berkembang di Papua maka konflik berdimensi SARA kedepan cukup tinggi dan tidak dapat terhindarkan lagi nanti.



Ibarat api dalam sekam, mudah meledak, apabila dipicu hal sepele. Oleh sebab itu wajar kalau para tokoh Papua mengeluhkan adanya aliran-aliran agama baru baik Islam maupun Kristen di Tanah Papua yang mewabah dan itu mengkhawatirkan toleransi antar umat beragama yang terjalin baik dan sudah lama hidup.



Hal ini dikemukakan dihadapan penulis oleh tuan rumah saat bertandang kerumah Thaha Al-Hamid (Sekjen PDP) beberapa waktu yang lalu. Dalam obrolan silaturrahmi penulis dengan Sekjen PDP itu beliau mengemukakan beberapa nama dan lembaga pengembangan agama intolerant yang “meresahkan” kerukunan antar umat beragama tertanam lama terutama di daerah Pesisir Selatan Barat Papua.



Lembaga-lembaga baru penyiaran agama dan "aliran-alirannya" seringkali mengabaikan kode etik agama itu sendiri yaitu dengan cara-cara membangun sentimentil antar satu kelompok pada kelompok agama lain. Padahal sebelum aliran-aliran baru dan cara-cara pengembangan agama (agama apapun) di Papua yang cenderung intoleran sekarang ini sesungguhnya bertentangan dengan kebenaran keyakinan agama itu sendiri. Padahal sejarah pengembangan agama misalnya Islam di Fak-Fak dan para muballiqh sejak dulu sangat menghormati adat budaya Papua dan toleransi antar umat agama baru (Kristen) kala itu di Papua.



Dewasa ini berkembang lembaga-lembaga penyiaran atau pengembangan agama baru dan itu secara terbuka maupun terselubung mulai menanamkan benih-benih kebencian pada kelompok agama lain antar umat beragam dan aliran kepercayaan agama dirasakan sebagai “keresahan”.



Para tokoh Papua mengkhawatirkan itu mulai muncul di era Otonomi Khusus Papua belakangan ini. Dari kelompok Islam Misalnya Ustadz Fadhlan Garamatan, lembaganya Al-Fath Kaffah Nusantara (AFKN), atau NU WAAR. Tidak sebagaimana Majelis Muslim Papua (MMP) dan Forum Komunikasi Muslim Jayawi Jaya (FKMJ) atau Yayasan Bina Persaudaraan Muslim Irian Jaya (YBPMI) yang telah lama secara tolerant berkembang dikalangan penduduk asli Papua di pegunungan Tengah dan Pesisir Papua.



Lembaga disebut pertama bergerak diluar Papua ( Jakarta ) dengan cara-cara provokasi dan sikap-sikap kebencian pada penganut agama lain. Proses indoktrinasi dilakukan di luar Papua dikhawatirkan kelak mereka kembali ke Tanah Air Papua akan membahayakan toleransi hidup bersama. Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.