Nama dan Lahir
Selama ini saya dikenal dengan nama Ismail Asso. Walaupun dalam ijazah tercatat dengan nama Isman Asso. Saya dilahirkan di Kampung Werasikiwa termasuk daerah induk distrik Assolipele Walesi, kira-kira 8 Km dari Selatan Kota Wamena Kabupaten Jayawi Jaya Papua. Kapan persisnya saya lahir, tidak tercatat. Karena ketika saya dilahirkan hampir semua lingkungan keluarga buta huruf. Tapi peristiwa perang (pemberontakan TPN/OPM) tahun 1977 saya tidak mengalami. Berarti diperkirakan saya lahir pada tahun 1975.
Sesungguhnya saya terlahir dengan nama Nasike, yang artinya; "Panahku". Kemudian dipanggil Ponogo, artinya "Terjatuh". Karena almarhum ayah saya wafat dalam kecelakaan di Kalelo pada musim kelapa hutan (tuke melapenem). Dulu ketika baru dinamai Ponogo, kadangkala orang tetap panggil dengan Nasike. Demikian pemberian dan pergantian nama sebagaimana kebiasaan berlaku umum tradisi Suku Dani Lembah Balim Wamena Jayawi Jaya Papua.
Guruku, Bashori Alwi, berasal dari Bantul, Jogjakarta mengganti namaku secara diam-diam. Dalam raport dicatat nama pemberiaannya Isman Asso. Beliau catat tanggal lahir saya 5 Mei tahun 1975 dalam raport. Nama ini maknanya saya sendiri tidak tahu, tapi diikuti ijazah SD (MI), SMP sampai SMA (Aliyah). Pencatatan tanggal dan tahun lahir termasuk nama oleh Kepala Sekolah adalah fiktif. Semua pencatatan identitas atas inisiatif Kepala Sekolah Merasugun Asso Walesi, Pak Bashori Alwi. Karena orang tua suku Dani Lembah Balim tidak punya budaya pencatatan. Oleh sebab itu identitas bukan yang sebenarnya pemberian orang tua.
Walaupun demikian apa penting artinya sebuah nama bagi manusia? Pada umumnya para ulama sufi tidak menganut asas formalitas symbol sebagai yang ebih penting dan utama. Bagi mereka betapapun kulit pisang bungkusan paling baik bagi jenisnya, semata-mata untuk dimakan isinya. Betapa kita manusia kadang lebih mementingkan bungkusan bukan isi, tapi kata yang lain tanpa kulit isi tidak mungkin baik, walaupun tetap yang mau dimakan bukan bungkusan, kulit pisang. Belakangan ini ada aliran filsafat bahasa (hermeutika) yang dikembangkan oleh Mickael Faucol, sudah mengesamping aspek ini
Saya tidak tahu persis apa arti sebuah nama. Kata orang Jawa nama adalah harapan (doa). Dalam kliwon (ramal nasib) nama Isman Asso, mungkin sebenarnya baik. Tapi apa artinya? Saya sampai sekarang tidak mempersoalkannya. Menggunakan nama ini (Isman Asso) kelak banyak mengubah perjalanan hidup. Dengan nama ini di kelas saya selalu rangking satu di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso Welesi. Tapi dalam pergaulan sehari-hari selama ini saya dikenal dengan sebutan nama Ismail Asso. Menjadi permasalahan tersendiri tatkala Ismail Asso bukan sebagai Isman Asso mengurus sesuatu urusan resmi.
Nama Ismail Asso sebagaimana umum dikenal selama ini lebih menunjukkan nama Islam dari bahasa Arab ketimbang bahasa Ibrani yang harus ditulis Ismael Asso. Dalam kisah Nabi Ibrahim, Bapak monotheisme, (Abramic Religion) memeperisterikan dua wanita yakni Siti Sarah dan Siti Hajar. Isteri kedua memperanakkan Ismail AS yang kelak keturunannya melahirkan Nabi Muhammad SAW, pembawa agama Islam, dan Ishaq AS, menurunkan Nabi Isa AS atau Yesus Kristus, pembawa agama Kristen.
Asal nama saya aksen Arab dari bahasa Ibrani dalam kisah Al-Qur’an, dimana kitab suci umat Islam tertulis dalam bahasa ini. Ibrani juga bahasa kitab suci Yahudi tertulis. Bahasa Arab dan Ibrani se-rumpun dari budaya semit Timur Tengah, tempat agama-agama besar berasal. Budaya bahasa mereka Ismail/Ismael maksudnya sama. Dari bahasa Ibrani : Isma’, artinya : “mendengar”, El, artinya: “Tuhan/Allah”. Berarti Ismail artinya “Tuhan telah mendengar”. Nama depan sering berubah tapi fam Asso tetap menempel dibelakang mengikuti perubahan nama. Ismail adalah nama “baptis” atau nama syahadah.
Masa Kanak-Kanak
Saya menghabiskan masa kanak-kanak di kampung kelahiran saya di Distrik Assolipele Walesi, (Distrik Assolipele 100% warga penduduknya beragama Islam). Pada masa saya lahir dan menjalani masa kanak-kanak dikampung halaman tradisi lama dalam keadaan sangat dominant kuat. Pengaruh modernisasi dan agama belum terasa. Tradisi adat di kampung ini, dan umumnya di Lembah Balim Jayawi Jaya mungkin juga demikian sampai dewasa ini masih lebih kuat dari unsure nilai baru lain. Di Wamena orang lebih menghayati tradisi lama daripada agama. Nilai-nilai Adat lebih mempengaruhi hidup masyarakat hingga dewasa ini masih terasa.
Orang tua saya kedua-duanya meninggal sejak saya masih kecil. Saya menjalani kehidupan yatim piatu. Karena itu pada masa kanak-kanak sering kelaparan. Saya sering makan dari tumbuhan alam seperti manisan atau asinan hanya tahan-tahan lapar. Waktu kecil saya menderita penyakit busung lapar alias kurang gizi. Jika diingat cukup sedih tanpa kasih sayang oleh orang tua. Pernah dipelihara paman tapi paman tidak punya isteri saya diasuh keluarga lain secara berpindah-pindah.
Sejak kecil saya sudah mengalami tiga lingkungan keluarga sekaligus yakni lingkungan Katolik, Islam dan Kingmi atau GKI. Tapi seperti ditegaskan diatas tadi nilai-nilai adat lama (Kaneke) masih lebih dominan daripada lain pada masa itu. Nama Nasike/Ponoga pernah ditulis guru dalam buku absensi di sekolah YPPK Hepuba. Saya merasakan duduk di bangku kelas satu SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) Hepuba. Paman saya Bapak Amandus Asso, seorang Katekis (guru agama katolik) yang hidup dalam semangat keluarga katolik yang taat agama.
Datang tinggal di Hepuba sebenarnya saya tidak betah, tapi Paman di Welesi menginginkan saya tinggal di Hepuba daripada tempat saya lahir, Walesi. Selama beberapa waktu hidup disini (Hepuba) satu hal yang sulit saya dilupakan adalah, mandi pagi-pagi sekali pada hari minggu. Karena paman pengkhotbah tetap di Gereja Katolik, Paroki Hepuba, mengharuskan demikian agar bersamanya pergi ke Gereja. Karena tidak betah saya pulang kembali ke Welesi walaupun paman menginginkan saya tetap tinggal disini sampai besar.
Sebelum Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso, didirikan pada tahun 1978, di Welesi sebelumnya sudah ada SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) dan Gereja dari Missi Katolik. Jarak sekolahnya agak jauh dari kampung kami Distrik Assolipele (Assolipele adalah nama confederasi perang tapi juga nama kamung/distrik). Saya pernah sekolah disini. Tapi hanya masuk beberapa hari saja di sekolah Missi Katolik (SD YPPK) ini. Karena di tolak oleh guru wali kelas bernama Cosmas Asso. Alasan guru wali kelas karena jarak sekolah jauh tapi juga saya dianggap belum cukup umur. Pertumbuhan fisik saya lambat pada waktu itu sehingga dianggap sama umur dengan teman sebaya yang diterima di sekolah itu.
Pada saat itu sebenarnya sudah ada rencana bahwa di kampung kami akan segera dibangun sekolah Islam. Terbukti beberapa waktu kemudian bangunan pertama untuk tempat tinggal guru telah selesai dibangun dua tingkat. Kami sudah bisa menggunakan bangunan ini untuk belajar dan berbagai macam kegiatan keagamaan Islam disini. Kami boleh belajar disini, bangunan baru tempat tinggal sekaligus tempat berbagai kegiatan keislaman ini.
Bangunan ini bentuk tidak seperti banguan sekolah tapi berbentuk rumah tempat tinggal yang ditingkat atasnya digunakan untuk tempat tinggal guru-guru yang umumnya masih bujangan semua. Dan dibawahnya difungsikan mushollah, madrasah dan berbagai fungsi keagamaan Islam lainnya.
Dalam tahun 1978 juga sekolah Islam Pertama Madrasah Ibtidaiyyah) sudah dimulai bangun. Tapi sebelum ada bangunan sekolah sudah datang guru-guru agama Islam dari Fak-Fak. Yang pertama datang adalah Pak Guru Aroby Aituarau dari dari Jayapura kelahiran Kaimana dan kedua Pak Jamaluddi Iribaram dari Kokas Bintuni.
Saya belum pernah mengalami pendidikan dengan Pak Aroby Aituarau guru asal Kaimana Fak-Fak. Konon dia mengajar pelajaran agama Islam di lapangan terbuka beralaskan rumput. Karena tidak ada bangunan apalagi sekolah kala itu di Kampung Assolipele. Beberapa waktu kemudian sepeninggal Pak Guru Aroby Aituarau, Jamaluddin Iribaram dari Kokas didatangkan. Rumah tempat tinggal guru pertama dibangun. Tempat itu kini dikenal sebagai lokasi Islamic Centre Walesi sekarang.
Pak Jamal kelak hidup bertahun-tahun di Welesi itu didatangkan dari Jayapura oleh Islamic Centre. Organisasi ini didirikan atas gagasan Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura. Ketua Islamic Centre pada waktu itu di Wamena Pak Hasan Panjaitan, Sekda Kabupaten Jayawi Jaya. Sponsor utamanya Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari AL dan Saddiq Ismail Kadolog Irian Jaya. Jamaluddin Iribaram sama dengan Aroby Aituarau, yaitu mahasiswa Uncen kala itu. Dia dibujuk agar meninggalkan kuliah untuk mengajar Islam disini. Jalamaluddin Iribaram muda ganteng. Saya termasuk siswa ajaran pertama Pak Guru ini.
Mula-mula Pak Jamal tiba disini, pelajaran belum di mulai secara luas, terbatas hanya beberapa anak dan masih dilakukan himbauan-himbauan agar para orang tua memasukkan anak pada pelajaran Al-Qur’an sore hari. Disamping belum ada bangunan sekolah untuk sementara tempat tinggal Pak Jamal (rumah guru) di jadikan sebagai ruang serba guna misalnya ruang belajar agama Islam anak-anak sekaligus dijadikan tempat pengislaman seperti sunat, syahadat dan tempat belajar tata cara sholat kaum tua.
Sebagai anak masih kecil dengan banyak ingus meleleh dan perut buncit, saya diajak paman sering datang menemui Pak Jamaluddin Iribaram. Paman saya, Heramon Asso, pelopor Islam di Walesi. Ustadz Jamaluddin akrab dengan paman saya. Rumah tempat tinggal Pak Jamal banyak pakaian sumbangan dari Jayapura. Saya pakai baju duluan dari kawan-kawan sebaya.
Tempat Pak Jamal tinggal setiap malam (ba'da maqhrib) diadakan pengajian al-qur'an. Saya dan teman-teman sebaya belajar mengaji disini. Kami lebih dulu tahu menyebut; alif, ba, ta, sta (abjad arab) daripada huruf latin. Kami diajarkan membaca Al-Qur’an di mulai dari Juz ‘amma hingga khatam. Awalnya dituntun, karena sering ulang-ulang, surat-surat pendek ayat Al-Qur’an kami hafal. Juga diajarkan tajwid dan makharojul huruf.
Kampung ini selain SD YPPK belum ada sekolah. Tidak ada kegiatan lain selain belajar mengaji yang tempatnya digunakan dari bangunan rumah tinggal guru.. Bangunan itu dipakai sebagai tempat sholat, mengaji dan belajar pendidikan agama islam sekaligus. Bangunan rumah guru itu adalah bangunan Islam pertama dibangun pada tahun 1978 di Walesi.
Pada mulanya hanya Pak Jamal sendirian tidak ada kegiatan belajar hanya mengaji. Tapi pada tahun 1979 dua orang guru khusus Madrasah Ibtidaiyyah (MI) datang dari Jawa. Mereka didatangkan oleh Rabithah ‘Alam Islami, kerja sama DDII dengan organisasi dunia Islam yang kantor pusatnya di Saudi Arabia itu. Dua orang guru itu bernama Bashori Alwy dan Walidan Mukhsin, mereka dari Bantul Jogjakarta.
Pembangunan sekolah pertama dimulai tahun 1979, selesai tahun 1980. Bangunan itu kelak dinamai menjadi Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Merasugun Asso Walesi. Sekolah ini pertama dan juga satu-satunya di kabupaten Jayawi jaya sampai hari ini. Sekolah itu dibangun lengkap dengan 6 ruangan kelas. Kegiatan belajar mengajar layaknya Madrasah Ibtidaiyyah mulai digunakan bangunan baru ini.
Sumbangan mengalir dari mana-mana. Dari Jepang , Malaysia , Jakarta , Jayapura juga dari kota Wamena sendiri. Sumbangan berupa pakaian dan alat-alat perlengkapan sholat. Dari Jepang alat-alat sekolah seperti buku, pensil, penghapus dll. Kami siswa paling modern tapi juga paling lengkap untuk ukuran pedalaman Papua kala itu.
Mulai Sekolah
Tahun ajaran 1982 saya tercatat sebagai siswa kelas satu di Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Kami dikenalkan dengan pelajaran berhitung dan huruf latin oleh seorang guru putra daerah bernama Muhammad Ali Asso. Guru ini sebelumnya sudah belajar di Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura. Pak Guru Madrasah kelas satu ini sekaligus wali kelas kami. Dia kecam, kalau kami nakal, tapi cara mengajarnya mudah dicerna dan memahami. Dalam pembagian raport kenaikan kelas saya di catat sebagai juara kelas. Demikian setiap kenaikan kelas selanjutnya.
Tidak lama Pak Bashori dan Pak Walidan datang tahun 1980 di Walesi, beberapa guru bantuan datang lagi dari Jawa. Pak Guru Nur Hadi Waluyo adalah sarjana muda pertama guru kami datang tidak lama setelah Pak Walidan dan Pak Bashori. Praktis sekolah Islam dan Madrasah Ibtidaiyyah pertama dan satu-satunya di Wamena ini hampir semua gurunya adalah pendatang tidak ada lagi guru orang Papua asli selain Muhammad Ali Asso yang belakangan di pecat karena minum beer yang diharamkan dalam agama islam itu. Silih berganti guru-guru kami datang dan pergi hampir semuanya amber (pendatang) dan tentu wajib beragama islam.
Sistem pendidikan di Madrasah Merasugun diterapkan dua system pagi dan sore.. Kami belajar dalam system yang diberlakukan system semi pesantren. Pada pagi hari kami sekolah biasa. Pada sore hari kami belajar pelajaran agama Islam terutama belajar Al-Qur’an. Pada pagi hari kami sekolah sebagaimana biasa dengan kurikulum diatur Madrasah Ibtidaiyyah tingkat nasional oleh pemerintah. Tapi pada sore hari kami diwajibkan belajar mengaji Al-Qur’an. Kami belajar sistem pendidikan semi Pondok Pesantren sebagaimana dikenal umumnya berlaku di Jawa.
Setiap sore dibantu tenaga dari guru-guru negeri yang datang tinggal disini misalnya Pak Qomari dan Pak Mahmud Yahya, kami diajari ngaji (belajar Al-Qur’an). Mereka membantu Pak Bashori Alwi dan Walidan Mukhsin mengajar kami yang jumlahnya banyak silih berganti secara bergilir. Pak Qomari adalah seorang guru negeri yang dikirim pemerintah yang ditugaskan di SDN Kecamatan Kurima.. Dia berasal dari Madura. Dia dari kampungnya memang santri totok. Dia membantu Pak Bashori dan Walidan Mukhsin, membantu kami mengajar mengaji.
Banyak guru silih berganti datang di sekolah kami, Madrasah ini, termasuk guru negeri yang ditugaskan pemerintah untuk mengajar di sekolah Negeri dan Impres. Banyak guru pindahan datang tinggal mengajar di sekolah kami, Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Guru-guru dari negeri yang dikirim pemerintah sebagai bantuan IMPRES banyak lari dan lebih merasa at home, mengajar sekolah kami disini daripada sekolah pemerintah di pelosok jauh tempat lain Kabupaten Jayawi Jaya Wamena.
Pada kelas tiga selama enam bulan saya minggat masuk kelas, karena ikut teman berburu ke hutan, tapi oleh kepala sekolah saya tetap dinaikkan ke kelas empat. Padahal saya tidak ikut ulangan dan tidak masuk kelas selama setengah tahun (6 bulan). Kesadaran betapa pentingnya arti pendidikan sangat rendah disini. Kadang-kadang selama satu bulan kawan-kawan yang lain sama seperti saya, jarang datang ke kelas untuk belajar. Selama beberapa bulan bersama teman-teman sebaya keluyuran di hutan sekedar berburu kus-kus dan burung.
Ikut MTQ Nasional
Pada saat saya baru naik dari kelas lima ke kelas enam di kota Wamena diadakan lomba Misabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat Kabupaten. Pak Ustadz Bashori Alwi titip berita agar saya segera dating. Karena waktu itu sebagaimana biasa disini saya minggat tidak datang sekolah dan mengaji selama beberapa bulan lamanya. Dia titip pesan khusus segera, agar saya kembali masuk sekolah. Maksudnya agar saya mau dibina khusus pelajaran Al-Qur'an setiap ba'da sholat maqhrib selama beberapa minggu untuk mengikuti MTQ di Kota Wamena.. Selama beberapa minggu saya dilihat bagaimana bacaan qu’an saya, mulai dari tajwid-nya, makhrajulhuruf-nya, juga tajwid-nya.
Kami anak-anak dari Walesi sebenarnya dua orang peserta diutus untuk mengikuti lomba ini. Selain saya ada yang lebih tua dari saya. Dia sudah kelas 6, untuk tingkat remaja. Tapi kandas sampai di Wamena. Hanya saya yang lolos sampai ke tingkat Nasional mewakili Propinsi Papua nanti. Saya dan anak-anak usia sebaya mengikuti lomba MTQ, dan saya dinyatakan oleh dewan juri keluar sebagai jura satu. Saya senang karena banyak dapat hadiah termasuk tabungan uang BRI yang saya sendiri tidak tahu mengurusnya hingga bagaimana nasib hadiah uang itu hingga sekarang saya tidak pernah tahu.
Dulu Pak Jamaluddin Iribaram sendirian mengajar kami pelajaran agama Islam. Tapi pada tahun 1980 dua orang guru/ustadz dari Jawa, datang membantu mengajar kami mengaji Al-Qur’an dan sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Walesi. Kedatangan dua orang guru/ustadz khusus dari Jogjakarta ini bantuan Rabithah 'Alam Islami yang berkedudukan kantornya di Suadi Arabia itu, menerapkan pola pendidikan semi pesantren.
Pada pagi hari kami sekolah madrasah biasa, dan sore harinya ba'da maqhrib biasanya belajar mengaji Al-Qur'an. Demikian setiap sore di sini, menerapkan sistem pendidikan pagi sekolah Madrasah biasa dan sore di lanjutkan dengan mengaji Al-Qur'an. Karena itu alumni madrasah ibtidaiyyah Walesi tidak kalah sedikitpun dengan alumni Pesantren dalam hal mengaji Al-Qur'an terutama makhrojul huruf dan tajwidnya.
Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Desa Walesi, melahirkan alumni pertama tahun 1987, saya termasuk alumni ke-2 dari sekolah ini tamat tahun 1988. Bersama saya ada 6 orang siswa ikut ujian nasional. Banyak murid teman-teman kami yang tidak serius sekolah. Kesadaran pendidikan waktu itu sangat rendah, sehingga banyak siswa-siswi, teman-teman kami yang berhenti sekolah dan keluar-masuk secara tidak serius di sekolah Islam pertama di Wamena ini. Demikian ini sesungguhnya tidak hanya mereka yang lain tapi termasuk kami yang 6 orang ikut ujian lulus itu. Tapi hanya factor X kami masih sempat sampai ikut ujian nasional dan dinyatakan lulus.
Teman kelas kami yang perempuan semuanya di kawinkan oleh orang tua mereka. Demikian adalah suatu kebiasaan buruk yang saya kira masih berlaku sampai sekarang ini. Karena itu tidak heran jika sekarang ini, dari Walesi tidak ada mahasiswi atau lulusan SMA, adalah kenyataan pahit pola kebiasaan lama orang tua di kampung kami di Walesi yang masih berlaku. Sebab ada tradisi (kepercayaan) orang tua menganggap bahwa perempuan adalah lambang kesuburan, sehingga dipertahankan untuk tidak pergi merantau jauh.
Pada saat naik ke kelas 6 saya masih belum serius sekolah. Pada suatu hari, karena saya tidak sekolah beberapa hari sebelumnya saya dicari oleh guru kepala sekolah yang merangkap guru mengaji. Tujuan Kepala Sekolah yang bernama Pak Bashori Alwy itu agar saya dilatih qiro’ah pada seorang Qori asal Ternate di kota Wamena.
Saya diantar Pak Bashori setiap sore datang turun-naik ke Wamena kota dari Walesi sekitar 6 kilo arah selatan dari Wamena. Saya masih ingat seumur-umur naik motor pertama bersama Pak Guru ini duduk miring-miring. Padahal jalan Walesi-Wamena saat itu belum diaspal dan berkelok-kelok. Demikian juga pengalaman paling pertama saya dibelikan sikat gigi dan odol untuk gosok gigi yang hasilnya gigi saya berdarah-darah. Saya juga dibelikan sandal swallow dan saya kira pengalaman paling pertama saya mengenakan alas kaki. Kejadian itu semua terjadi pada tahun 1986 kala itu.
Selama beberapa bulan dari minggu-keminggu menampakkan hasil dan kemajuan mengaji saya. Soal suara saya sudah ok, tajwid, maqhroj juga ok, tartil qur’an juga ok, tajwid juga sudah ok, tapi yang dilatih agar saya benar-benar bisa kuasai adalah irama lagu-lagu bacaan Al-Qu’an. Selama beberapa minggu saya dikarantina untuk dilatih terus-menerus dirumah Kasubdolog Jayawi Jaya. Dan hasilnya alhamdulillah saya sudah menguasai bacaan qiro'ah mulai bayati : qoror, nawa, jawab, jawabul jawab, nahawand, sika, jiharka dalam berbagai versi bacaan seperti misri, turky dll dalam bvebera surat Ayat Al-qur’an. Beberapa surat saya menghafal mati diluar kepala karena sering diulang-ulang.
Saya kemudian diberangkatkan ke Jayapura diantar oleh seseorang yang saya belum kenal, tapi dia ditugaskan agar mengurus segala tetek bengek keperluan saya.. Selama di Jayapura saya dipertemukan dengan para qori senior yang pernah mewakili Papua ditingkat nasional. Mereka menjadi pelatih ditingkat propinsi, difasilitasi oleh Pemda agar mendidik qori’-qori’ah yunoir seperti saya.
Mereka oleh Pemda diberi tinggal berupa rumah tepatnya di LPTQ Kota Raja sekarang ini. Disana saya ketemu dengan Ustadz Hasan Basri asal Serang Banten dan Wahidin Purada dari Kaimana, Fak-Fak (kini Bupati Fak-Fak). Mereka dua adalah pelatih saya pertama dari propinsi. Karena pindah pelatih hafalan saya lagu-lagu dari Wamena agak menjadi kacau.
Saya di latih dan tinggal di rumah pak Wahidin Puarada. Saya diperlakukan dengan istimewa sama Qori Nasional asal Kaimana Papua itu. Selama beberapa minggu saja saya di Jayapura, beberapa hari lagi saya harus berangkat ke Kabupaten Nabire untuk mengikuti MTQ tingkat Propinsi Papua (waktu itu Irian Jaya). Saya mewakili Kabpupaten Jayawi Jaya di even tingkat propinsi di Nabire ini. Tapi karena saya satu-satunya putra daerah dan memang dipersiapkan sejak awal, maka untuk mengikuti tingkat Propinsi itu saya sudah duluan di latih pelatih tingkat Propinsi.
Hasilnya saya menang dan keluar juara satu untuk tingkat anak-anak.Banyak orang memberi semangat dan gembira saya menang. Banyak petinggi propinsi yang beragama Islam senang pada saya, karena saya muallaf juga masih anak-anak tapi juga orang asli Papua adalah sejumlah pertimbangan mengapa saya banyak di gembirai umat islam Papua kala itu termasuk juga oleh para pejabatnya di tingkat propinsi.Setelah selesai even di Nabire saya di bawa pulang membawa kemenangan dengan berbagai hadiah, tapi tidak ke Wamena, kampung saya tapi saya di bawa ke Jayapura. Ternyata saya sudah ditangani dan dipersiapkan untuk mengikuti MTQ tingkat Nasional di Bandar Lampung.
Sejak pulang dari Nabire saya dilatih oleh para pelatih tingkat Propinsi, tapi tidak segiat dan seserius di Wamena dulu. Disini saya dianggap sudfah bisa atau kalau dilatihpun iramanya beda dari pelatih saya pertama di Wamena sehingga hafalan saya menjadi kacau balau. Tidak berapa lama kami peserta rombongan (kafilah) Irian Jaya (IRJA), yang terdiri dari para pejabat Pemda Propinsi dan rombongan Qori-Qoriah berbagai tingkatan itu tiba di Jakarta pada malam hari, dari berangkat jam lima pagi Bandara Sentani Jayapura menggunakan pesawat Garuda Airways. Dari Bandara Cengkareng kami menuju kota Jakarta untuk transit beberapa lama di Royal Hotel di Jalan Gajah Mada. Beberapa hari saja di Royal Hotel besoknya kami lewat darat menuju Merak Banten untuk diteruskan ke Bakahuni Lampung.
Di lampung kami diberi tempat oleh panitia tuan rumah di APDN, kota metro Bandar Lampung. Disni kafilah Papua tinggal sederetan dengan kafilah dari Kalimantan Selatan. Terus terang saya tidak di dampingi oleh orang-orang dari Kabupaten Jayawi Jaya tapi dengan orang-orang baru saya kenal dari Propinsi. Tapi hanya beberapa hari saja bersama rombongan orang-orang yang mendampingi saya dari berbagai kota Kabupaten Papua, kami sudah saling akrab satu sama lain.
Saya orang Papua Asli menjadi perhatian utama peserta MTQ dari berbagai Propinsi Indonesia. Di Lampung saya hanya juara harapan dua untuk tingkat anak-anak. Selesai itu saya bersama rombongan pulang ke Papua dan sebagai duta yang membawa nama baik daerah. Untuk itu kami di pertemukan dengan Gubernur Isak Hindom.
Selanjutnya diantar Ustadz Wahidin Puarada saya pulang ke Walesi. Di sana sudah banyak orang kumpul menanti kami (saya dan Pak Wahidin Puarada). Rupanya mereka menunggu kedatangan kami sejak dari tadi. Mereka adalah orang-orang yang sudah saya kenal, ya keluarga besar muslim kampung Walesi, diantaranya orang tua asuh yang membesarkan saya dulu (keluarga dekat almarhum ayah saya). Mereka berkumpul persis dihalaman depan sekolah (MI) Merasugun Asso Walesi.
Dihadapan mereka saya diberi waktu untuk ceritera tentang perjalanan saya selama 6 bulan ikut Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ), dari tingkat Kabupaten-Propinsi sampai Nasional di Bandar Lampung. Saat itu saya belum biasa bicara dihadapan banyak orang, saya kaku, tidak bisa, malu. Tapi mereka sangat senang saya membawa pulang prestasi atas nama kampung Islam baru ini. Terutama Ustadz Bashori ALwy, beliau sangat senang muridnya bisa sampai mewakili Papua sampai ke tingkat Nasional.
Orang tua, terutama Paman saya bangga dengan kepulangan saya dengan beragam hadiah. Dia sangat puas dengan hasil perjalanan saya. Saya tahu itu tapi saya bersikap biasa pada saat pertama tiba disini, karena banyak orang, malu.. Banyak saudara-saudara dan para orangtuaku di kampung ini menanti dengan gembira akan prestasi saya mewakili mereka di tingkat nasional berjumpa kembali disini setelah perjalanan saya selama 6 bulan meninggalkan mereka di Kampung Walesi.
Saya sudah banyak ketinggalan pelajaran. Esok harinya saya sudah harus ikut persiapan Ebta dan Ebtanas. Terus terang untuk itu saya tidak siap. Saya banyak sekali ketinggalan pelajaran selama setengah tahun lamanya. Saya pergi selama 6 bulan, bukan waktu yang sedikit tapi itu berarti selama setengah tahun. Saya sudah banyak tidak mengikuti mata pelajaran yang akan di ujikan ditingkat nasional. Karena itu beratnya bagi saya bahwa tidak lama pulang ke Welesi, kampung halaman dari perjalanan panjang, sudah harus ikut ujian nasional. Tapi alhamdulillah saya akhirnya juga tetap lulus ujian lokal, Madrasah, maupun ujian nasional sekaligus.
Beberapa minggu saya tiba Walesi tidak begitu lama pecah perang suku antara Walesi dan Woma di satu pihak dan Kurima dan Assolokowal pihak lain. Pada waktu itu kami di jemput dengan kawalan seorang polisi dengan senjata lengkap dari Walesi turun ke kota Wamena sekitar 6 km jaraknya. Dari 6 orang anak siswa yang lulus angkatan ke- II lulusan Madarasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi, hanya 4 orang saja, dua orang dilarang oleh orang tua mereka.
Berangkat ke Jawa
Kami dari Wamena diantar oleh Abdurrahim Jumati. Dia orang Ternate , tinggal lama dan berda’wah di Wamena sebagai pegawai pemda. Kini beliau sebagai ketua Islamic Centre kabupaten Jayawi Jaya Wamena. Dalam kapasitasnya itu beliau dari Wamena bawa datang kami dan mengantarnya sampai di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Dari Wamena untuk keluar satu-satunya alat transportasi hanya udara. Mula-mula tiga orang teman saya baru merasakan naik pesawat, sampai ada yang teriak ketakutan karena pesawat oleng sedikit menghindari gunung emas Watikam sambungan dari Cartens yang kini diambil oleh Freport itu.
Kami tidak langsung berangkat ke Jawa tapi tinggal di APO kali depan Polda, Jayapura. Tempat kami ditumpangi pemilik rumahnya orang Ternate , mungkin masih kelurga Paitua disini. Kaka-kaka kami yang dulu tahun 1978 didatangkan ke jayapura untuk sekolah di Panti Asuhan Muhammadiyah Abepura dan Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura kota datang melihat kami, hanya untuk sekedar menanyakan keadaan orang di kampung, ada juga titipan surat buat mereka dari orangtuanya, tapi juga diantara kami salah satunya adalah adiknya.
Mereka dikirim ke Jayapura begitu Islam pertama masuk di kampung kami Assolipele Walesi. Jumlah mereka semuanya 20 orang anak. Untuk pertama kalinya sejak kami masih kecil dikirim ke Jayapura dari Walesi baru datang melihat kami disini sudah besar. Diantara mereka sudah banyak yang tidak melanjutkan pendidikan sebagaimana harapan orang tua dikampung dulu. Ada yang masih sekolah tapi kendala utama mereka sekolah di sini kelihatannya usia dan bahasa. Soal bahasa kelak sebagaimana akan kami alami nanti di Jawa sama. Kami disini tidak lama, hanya beberapa minggu saja di Jayapura. Dalam pada itu pengantar kami sudah membooking ticket sambil komunikasi dengan pihak Pesantren di Bogor kapan kami sudah mulai naik KM Umsini dan akan tiba di Tanjung Priuk.
Minggu selanjutnya pada malam hari kira-kira jam 22.00 WIT, dibawa antrian banyak orang kami datang ke pelabuhan untuk mengantri naik kapal. Ternyata kami baru pertama tahu, dipelabuhan malam itu manusia berjubel berebut naik kapal untuk mendapatkan tempat tidur di class ekonomi, adalah pemandangan biasa kala itu di kota Jayapura. Malam itu banyak manusia antri naik kapal dibawah penjagaan ketat tentara. Kapal putih besar ini semua kami juga pengalaman pertama kalinya. Walaupun sebelumnya dari Merak ke Bakahuni saya sudah pernah naik kapal laut tapi ukuran kapal penumpang ini sangat besar dan hanya menumpang manusia.
Kami mulai meniggalkan daratan Papua lewat laut menuju Pulau Jawa. Itulah pada mulanya kami diberangkatkan di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Rupanya pilihan dan undangan sekolah disini dipesan oleh Wapres RI pada waktu itu, Sudharmono. Rupanya pada waktu saya datang ikut MTQ di Bandar Lampung dulu (dua bulan sebelumnya), acara penutupannya di lakukan oleh Wapres RI , Sudharmono. Kemudian banyak peliputan dan tersiar berita di berbagai media massa pada waktu itu tentang berbagai hal tentang kami, Kafilah asal Irian jaya. Termasuk berita itu mungkin juga keikutsertaan saya lebih banyak tentang darimana lingkungan kehidupan masyarakat saya berangkat..
Karena itu masuk akal. Mungkin ada yang kastau dan sampai ke telinga Wapres RI , bahwa saya satu-satunya peserta dari Papua Asli, juga dari komunitas muallaf (daerah baru Islam berkembang). Beliau selaku pemimpin nasional, wajar karena itu tergerak hatinya, agar saya dan kawan-kawan berkesempatan belajar disini (pondok Pesantren Al-Mukhlisin). Ini terbukti kami ketahui belakangan bahwa beliau sponsor utama Pondok Pesantren Al-Mukhlisin yang pemiliknya adalah staf pribadinya sendiri Bapak Haji Zainal Abidin. Karena itu ketika kami tiba pertama di Pondok Pesantren yang letaknya arah barat diluar kota Bogor ini, kami di pungut langsung sebagai anak angkat oleh sejumlah pejabat dari Sekretariat Negara RI.
Tiba di Tanjung Periuk
Kami menginjakkan kaki pertama di Tanah Jawa pada bulan Agustus tahun 1988 di Tanjung Priuk. Itu berarti untuk tiga orang kawan saya paling pertamakali menginjakkan kaki di sini ( Jakarta ). Kami berangkat dari Jayapura menggunakan kapal laut dengan KM Umsini. Perjalanan cukup lama dengan memakan waktu satu minggu. Lama-lama diatas kapal laut membosankan, apalagi makanannya tidak enak. Walaupun di atas kapal ada hiburan, kami orang baru, disamping itu ada pengantar yang terus mengawasi, agar kami tidak hilang, terus membatasi.
Begitu tiba di pelabuhan Tanjung Priok sudah ada jemputan. Kami tiba pada sore hari disini. Ternyata kami termasuk santri teristimewa, karena langsung di jemput oleh Kiay, pimpinan Pondok Pesantren, tempat dimana kami akan belajar didalam pola pendidikan system asrama yang semi militer peraturannya. Hal demikian tidak sama sekali dialami pelajar lain yang berasal dari berbagai daerah Indonesia itu. Disni misalnya ada santri asal Timor , Maluku, Sulawesi , Kalimantan Sumatra, Jawa, Madura dan Aceh Darusslam.
Dari Tanjung Priuk kami dibawa langsung ke Pondok Pesantren Ciseeng Parung Bogor, Jawa Barat pada waktu sholat maqrib tiba. Sehabis sholat maqhrib berjama’ah bertempat di Mesjid kami diperkenalkan kepada seluruh santri dan santriwati yang jumlah ribuan anak. Kami disuruh maju satu-satu dari empat orang untuk memperkenalkan nama oleh Pimpinan Pondok kepada kawan-kawan baru kami dan seluruh staf pengajar Pondok.
Pengantar kami sudah bicara duluan kepada pimpinan Pondok bahwa makanan pokok kami di Wamena Papua bukan nasi. Karena itu masa-masa awal kami di Pondok tidak makan bersama di dapur umum tapi dikhususkan makan dirumah Kyai. Untuk kami makan disediakan makanan ubi. Ibu dapur Pondok selalu sudah harus belanja bersama makanan yang diperuntukkan buat kami siswa/santri dari Papua. Demikian tugas itu sebagaimana yang diamanahkan Pimpinan Pondok. Ibu dapur selalu membeli makanan khusus buat kami dari Papua yaitu ubi jalar yang juga banyak terdapat di kota Bogor.
Tapi ubi jalar sebagaimana makanan pokok kami di Wamena lain rasanya dengan yang tumbuh di Bogor yang terkenal subur itu. Ubi di Jawa rasanya manis tapi tidak mengenyangkan. Tapi ubinya juga kecil-kecil tidak seperti di Wamena. Ubi Wamena Papua makan pagi bisa bertahan sampai malam hari. Tapi ubi disini buat kami banyak kentut, juga bau, karena serbelumnya di Jayapura dan dalam perjalan diatas kapal kami sudah makan nasi.
Pertama di Pesantren
Penerimaan siswa-siswi baru, sesuai jadwal Depdiknas RI sudah lewat beberapa minggu lalu. Kami terlambat tiba disini. Kami dari Papua boleh langsung sekolah bersama kawan-kawan dari Pondok yang sudah lebih awal masuk sekolah. Soal pendaftaran dan lain-lain sudah diatur oleh pihak Pondok. Saya ingat persis pertama masuk sekolah, sebagaimana biasa, sebagai siswa baru kami memperkenalkan diri kepada teman-teman didepan kelas. esok hari kami masuk sekolah formal bersama kawan-kawan yang sudah lama disini.
Disini menerapkan system pendidikan Islam dan umum sekaligus. Pada pagi hari kami sekolah formal, SMP Islam Al-Mukhlisin. Pada sore hari kami belajar khusus program pesantren, Madrasah Diniyah (“Sekolah Agama”) terdiri dari : Diniyah Ula (setingkat SD), Diniyah Wustho (setingkat SMP), Diniyah ‘Ulya (seingkat SMA). Demikian nama-nama sekolah di Pondok kami menyebutnya. Tapi di Pondok lain penyebutan sekolah program khusus Pondok tidak selalu sama. Misalnya ada yang menyebutnya dengan Ribathiyyah. Malah ada digabung secara integral sehingga yang ada hanya satu yakni Madrasah diniyah.
Kami pertama masuk diniyah Wustho. Pagi SMP dan sore Wustho. Madrasah Diniyah Wustho lebih banyak hafalan. Terutama Al-Qu’an, Hadits, Mahfudhot. Demikian juga bahasa Arab, Shorof dan Nahwu. Kurikulum sekolah sore sepenuhnya adalah sekolah Islam sebagaimana berlaku umum diberbagai Pondok Pesantren umumnya di Indonesia.
Sistem belajar disini sebenarnya tidak terlalu beda dengan system di kampung dulu Walesi. Tapi bedanya disini lebih kompleks fasilitasnya, juga termasuk tenaga pengajar. Kecuali itu, di Pesantren ini menerapkan jadwal kegiatan santri sejak dari bangun pagi sampai kembali wajib tidur jam 10 malam adalah sesuatu yang tidak kami dapati di Walesi.
Siswa sekolah disini ada yang mukim di Pondok dan yang lain pulang-pergi dari rumah orang tua. Yang bermukim di Pondok Pesantren utamanya siswa dari luar kampung disini. Hanya orang-orang jauh seperti halnya kami. Tapi ada juga tidak terlalu jauh rumahnya yang mukim di Pondok khusus Panti. Kami dari Papua dimasukkan dalam kategori santri Panti.
Soal tengek-bengek bayaran sekolah diurus oleh ketua Panti Pondok. Ketua Panti adalah pemilik Pesantren sendiri, Haji Zaenal Abidin, staf pribadi Wapres RI , Sudarmono. Hal ini menyangkut biaya pendidikan dan biaya hidup di Pondok yang lumayan mahal. Mula-mula kami 4 orang siswa asal Papua ini diambil anak angkat oleh sejumlah pejabat dari Setneg (Sekretariat Negara RI). Tapi bersamaan dengan mereka pensiun perhatian menjadi mengurang.
Belajar sekolah diniyah kami dari Papua tidak terlalu ketinggalan, sebagaimana di sekolah umum pada pagi hari. Sekolah diniyah pada dasarnya sama atau kelanjutan dari Madrasah Ibtidaiyyah dulu. Bedanya hanya banyak hafalan misalnya: Al-Qur’an, Hadits dan Mahfudhot (kata mutiara Arab) malah lebih utama hafal, kalau dapat beberapa surat dari ayat Al-Qur’an. Disini lebih padat muatan agama.
Kurukulum diniyah meliputi pelajaran: Hukum Islam (ibadah Syari’ah), Aqidah, Akhlaq, Nahwu, Shorof (tata bahasa Arab), Tafsir, Hadit, dan Bahasa Arab adalah beberapa contoh saja mata pelajaran di sekolah diniyah di Pondok ini. Tenaga pengajar lebih banyak dan kadang menggunakan bahasa Arab dalam pengajarannya. Karena itu belajar dan sekolah sore adalah biasa bagi kami dari Walesi, ketimbang betapa berat menyesuaikan diri disekolah formal pada pagi hari. Sebab kelanjutan dari system sekolah kami di Walesi dulu lebih banyak persamaan dengan sekolah diniyah wustho di Pondok Pesantren ini daripada sekolah formal pada pagi hari di SMPI Al-Mukhlisin.
Pondok Pesantren Al-Mukhlisin saat kami tiba pertama belum punya Tsanawiyyah dan Aliyah. Hanya ada SD, SMP dan SMA dengan ditempeli nama Islam dibelakangnya. Setelah beberapa tahun kami disini program Madrasah Aliyah diadakan.. Tapi Tsanawiyyah tetap belum ada saat kami lulus tinggalkan Pondok ini pada tahun 1994. Kami otomatis sekolah SMP, adalah halangan tersendiri, atau agak berat buat kami menyesuaikan dengan bobot pendidikan umum yang kami belum terlalu biasa. Nilai pelajaran matematika, Kimia, Fisika saat ulangan, saya di ponten bukan lima tapi 4 oleh guru SMP. Saya dan menyadari betapa kami siswa paling bodoh dikelas saat pertama sekolah disini.
Masa-Masa Sulit di Pesantren
Mereka di sini (Jawa Barat), sekolah dengan fasilitas dan kurikulum modern sesuai aturan pendidikan nasional. Sementara kami, dari pedalaman Papua, sudah pasti berat sekali menyesuaikan diri dengan system pendidikan di Jawa yang sudah standar nasional sebagaimana juga berlaku di kota-kota besar Papua, Jayapura misalnya. Tapi Kami dari Walesi, dari pelosok pedalaman, sekolah saja kami kadang minggat beberapa bulan baru datang masuk kembali, adalah pengalaman belajar di pedalaman Papua dulu.. Tapi disini, system pendidikan standar nasional dengan tingkat disiplin cukup tinggi.
Ada satu hal lagi yang berat bagi kami adalah menyangkut bahasa. Bahasa Indonesia kami terus-terang menjadi halangan tersendiri belajar di Jawa pada waktu pertama kami tiba. Kami di Walesi diajar dengan bahasa Indonesia , tapi kami tidak terlalu biasa menggunakannya dalam hidup sehari-hari. Bahasa Indonesia kami waktu itu masih pasif. Belajar disini diajarkan dengan bahasa Indonesia juga tapi dalam pergaulan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Betawi, karena mayoritas siswa anak-anak Jakarta. Semua itu adalah halangan tersendiri kami dalam belajar menyesuaikan diri disekolah formal.
Kami siswa 4 orang asal Papua ditempatkan lain-lain kelas agar cepat berbaur dengan kawan-kawan dari daerah lain. Pertama masuk kelas banyak teman menawarkan duduk sebangku. Tapi dari beberapa teman, saya memilih duduk satu bangku dengan teman Pondok yang bergaul paling akrab dengan saya namanya, Yayat Suyatna. Teman ini belakangan saya ketahui salah satu siswa terpandai di kelas kami. Dia selalu juara kelas kalau tidak ke-1 urutan ke-2. Hampir semua siswa dari Pondok menjuarai ranking kelas pada saat kenaikan kelas di seklah formal SMP.
Pada awal masuk kelas saya satu-satunya teman mereka paling unik. Sebahagian datang pegang-pegang rambut saya, ada yang takut-takut, ada yang tanya ini itu biasa pada susuatu hal asing dan baru bagi mereka. Saya senang pada mereka. Malah ada yang nonton saya, macam TV, maklum teman baru mereka paling asing dikelas. Selain masuk akal karena saya teman mereka satu-satunya yang lain rambut dan kulit. Saya diperlakukan oleh guru dan juga teman-teman agak istimewa. Mereka ingin berteman dan bergaul dengan saya secara akrab. Hal itu juga mungkin teman lain siswinya, tapi saya tidak boleh terlalu berlebihan, sebagaimana aturan pembatasan Pesantren.
Kami di kelas dari Papua menjadi sorotan banyak teman termasuk guru-guru tapi sangat menyayangkan kami dari Papua tidak terlalu pandai sebagaimana yang mereka harapkan. Saya merasa siswa paling bodoh dikelas waktu itu. Saya dan juga teman lain disini, kami ada beberapa, termasuk siswa paling bodoh. Sebagaimana dapat diduga dari awal bahwa nilai kami siswa asal Papua jeblok semua.
Saat pembagian raport saya ranking 47 dari siswa 47 jumlah semua siswa kelas. Nilai saya hampir semua angka merah, bukan diponten 5 tapi juga ada yang 4. Nilai saya paling tinggi diponten 6, semuanya merah alias diponten 5 dan Fisika di ponten 4 dalam raport. Tapi saya dan satu teman Papua lagi masih beruntung karena pihak dewan sekolah rapat dan memutuskan kami naik kelas dua, tapi dua teman kami dari Papua yang lain dinyatakan tidak naik kelas alias tahan kelas.
Demikian awal-awal kami sekolah di Pesantren Pulau Jawa. Pada saat masih duduk dikelas dua SMP pun kami masih yang paling terbelakang, goblok! Padahal hal demikian bodoh ini tidak kami alami di sekolah sore (diniyah). Dapat dibayang disamping cultur, sistem pendidikan di Jawa lebih maju ketimbang kami di Papua. Proses adaptasi berlangsung selama satu tahun. Pada saat naik kelas tiga SMP, kami sudah dapat menyesuaikan diri sedikit. Terbukti tugas karangan pelajaran Bahasa Indonesia sanggup kami kerjakan.
Kami lulus SMP tahun 1991, dan melanjutkan di Madrasah Aliyah yang baru dibuka. Di Aliyah setingkat SMA itu kami sudah biasa dalam artian dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman lain disini, malah ada beberapa pelajaran misalnya bahasa Arab, teman-teman, terutama dari kampung sekitar yang tidak mukim di Pondok, datang duduk dekat kami agar dapat menyontek.
Sejak pertama kami datang dan masuk di Pesantren kami menjalani hidup sebagaimana peraturan sudah ada sebelumnya, sama dengan kawan-kawan lain yang sudah lebih dulu ada disini. Kegiatan pesantren sangat padat dengan dengan jadwal yang ditata secara rapih. Kami semua harus mentaatinya, tidak boleh ada yang melanggarnya. Jika melanggar sanksi mulai dari hafalan, botak, kerja bakti, sampai yang paling berat kalau pelanggarannya maka sanksinya siswa bersangkutan diserahkan ke orangtuanya alias dikeluarkan dari Pesantren.
1). Dunia Pondok Pesantren
Pag-pagi sekali semua santri baik pria maupun perempuan, istilah dunia pesantrennya Santriwan dan Santriwati, harus bangun jam 05.30 WIB untuk sholat subuh berjamaah. (Jika tidak bangun sholat subuh bersama hukumannya agak lebih berat, tapi kalau susah bangun kadang disiram oleh petugas yang membangunkan pagi yang dituskan secara bergiliran dari santri sendiri). Ba’ada sholat subuh kegiatan di lanjutkan dengan Program Bahasa Arab dan Inggris selama beberapa jam. 07.00 di kelas. Sesudah itu pagi membersihkan kamar masing-masing, bagi yang diserahi tugas sesuai jadwal nama harus menyapu dan mengepel kamar.
Kemudian dilanjutkan dengan mandi, makan dan mempersiapkan diri dengan segaram masuk sekolah formal. Dari jam 08.00 wib, kami masuk sekolah formal, belajar sampai jam 12 siang, semua santri wajib ikut sholat dhuhur berjama’ah di Masjid. Setelah itu makan siang jam 13.30 wib. Kembali masuk sekolah sore (Madrasah Diniyah) sampai selesai keluar jam 14. 30 wib sholat Ashar berjama’ah di Masjid.
Ba’da Ashar pada sore hari wajib olahraga. Meliputi sepak bola, Folly Ball, Tennis Meja, Pimpong dll. Tapi jam 17. 30 santri wajib harus sudah ada di dalam mesjid membaca Al-Qur’an sampai waktu sholat maqhrib tiba. Ba’da maqrib semua santri wajib belajar program Takhassus Qur’an yakni program Pondok Pesantren misalnya kitab kuning, qiro’ah, takhassus Qur’an, singkatnya belajar mengaji tapi berbagai tingkat mulai dari yang dasar sampai yang tertinggi belajar kitab kuning bagi yang menguasai tata bahasa Arab dasar (shorf, nahwu, atau kitab jurumiyah).
Belajar malam sampai waktu sholat isya dating shilat berjama’ah, tapi ada sebahagian terutama kelas tinggi sampai kelewatan belajar jam sholat isya lewat. Kemudian waktu makan malam dari jam 22.00 wib sampai jam 22. 30 wib belajar di masing-masing ruang belajar yang disediakan. Belajar ini namanya muthola’ah (mengulang kembali pelajaran di sekolah maupun pelajarn diniyah yang banyak hafalan. Jam 10 malam semua santri sudah haruis tidur untuk kembali bangun pagi-pagi lagi.
Tapi pada hari malam jum’at santri semua santri di wajibkan secara bersama membaca surat Yasiin, tahlil, dilanjutkan membaca barzanzi (sholawat pada Nabi) di masjid. Tidak ada kegiatan lain pada malam itu (pada malam ini makannya selalu pake daging ayam, ada teman yang ingin cepat-cepat selesai agar berebutan lebih dulu dapat jatah makan dengan paha ayam atau sayap adalah suatu kelucuan tersendiri hari-hari kehidupan di Pondok).
Kemudia pada pagi harinya senam pagi, dilanjutkan dengan bersih-bersih lingkungan secara bersama sampai jam 09.30 wib. Usai itu santri punya waktu memcuci pakaian sendiri dan kegiatan lain-lain sampai waktu sholat Jum’at tiba. Hari Jum’at adalah hari libur Pesantren. Santri-Santriwati lebih banyak menggunakannya untuk mencuci pakaian sendiri yang sudah ditampung dua-tiga hari sebelumnya.
Setiap sabtu dan minggu ba’da subuh semua santri wajib ikut mengaji kitab kuning bersama di masjid. Kitab yang digunakan namanya “Al-Ushfuriyyah”, “Nashoihul Ibad”, yang isinya lebih banyak tentang nasehat dan keutamaan akhlaq mulia seorang santri hidup ditengah masyarakat dan untuk dipraktekkannya. Biasanya kitab di baca Kyai atau Ustadz, santri memberi harokat, lalu mencatat tafsirannya di pinggiran kitabnya.
Kitab kuning tertulis huruf Arab dan bahasa Jawa. Hurufnya tertulis dalam bahasa Arab huruf gundul (tanpa tanda baca, harokat). Namanya hurufnya disebut pegon atau jawi. Mungkin demikian diajarkan diseluruh Pondok Pesantren di seluruh Jawa. Kitab kuning merupakan program andalan di Pondok Pesantren. Bisa membacanya merupakan suatu keistimewaan. Tapi sekolah modern seperti kami dengan padat kegiatan lain, maka dengan sendirinya program pondok menyebabkan tersingkirnya belajar menguasai kitab khusus di Pondok ini.
Kembali pada jadwal pondok, bahwa pada malam hari ba’da isya tatakala kami belajar latihan pidato (muhadhoroh) di mesjid diadakan pengajian bersama kaum bapak dari sekitar lingkungan Pondok. Kemudian pagi harinya sampai jam 11.30 wib mesjid diisi pengajian umum kaum ibu (majlis ta’alim). Kami semua santri libur pada hari itu, tapi pada malamnya ada latihan muhadhoroh (latihan pidato) dan acara hiburan lainnya, karena itu hari minggu hari penting bagi kegiatan pondok untuk masa depan kami berdiri dihadapan masyarakat umum.
Pagi diadakan olahraga lari pagi keluar Pondok sampai jam 09.00 wib, kembali kepondok untuk istirahat makan dan lain-lain. Habis makan latihan Dram Band dan Mercy Band. Kami dari Papua satu anakpun tidak ada yang ikut kegiatan ini. Kami memanfaatkan waktu libur ini kelur Pondok untuk mengenal lingkungan sekitar. Pada hari minggu, waktu libur Pondok santri boleh keluar tapi harus izin dan ketat. Kami santri Papua kadang jalan sampai ke Kali Cisadane untuk mandi-mandi, kadang ke Gunung Menara di Putat Nutug (gunung tertinggi daerah itu).
Kadang juga kami jalan sampai ke kampung-kampung yang jauh di daerah Rumpin, Ciampea, Cibogo, Cibentang, Putat Nutug, dan Cibentang Bogor (semua nama daerah sekitar tidak jauh dari Pondok) dan pulang dengan membawa pepaya, singkong, kelapa dll pemberian orang kampung. Tapi semua santri wajib ada di Pondok dan 15 menit sebelum adzan dikumandangkan sudah harus membaca al-qur’an di Masjid. Demikian rutintitas kehidupan di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin terus menerus kami jalani selama tiga tahun awal di Pesantren kelas satu sampai tamat SMP.
2). Rindu Kampung Halaman
Selama beberapa waktu lama kami ikuti semua kegiatan Pondok ini, lama kelamaan menjalani rutinitas demikian padat sangat membosankan dan membuat kami tidak betah tinggal di Pondok ini. Kejenuhan terjadi kira-kira 6 bulan pertama kami tinggal di Pondok ini. Menjalani rutinitas Pondok lama kelaman adalah membosankan dan membuat kami sudah tidak betah tinggal di Pondok ini. Hal itu semakin diperparah lagi oleh kerinduan pada orang tua dan kampung halaman untuk berjumpa kembali dengan sanak family. Kami rasanya sudah lagi tidak betah disini, tempat sangat jauh dari nanak kelurga, saudara-saudara kami di Walesi Wamena Papua.
Awalnya biasa tapi teman dua orang tidak naik kelas sekolah formal tahun pertama kami sekolah disini semakin kami sudah tidak betah. Dua kawan prustasi akhirnya, ada yang mogok kembali ke sekolah formal. Pada awalnya kami menjalani hidup dengan biasa tanpa ingat siapa-siapa. Tapi setelah 6 bulan sampai menjelang mau satu tahun, jujur saya merasakan kerinduan yang sangat amat dengan kampung halaman dan sanak family.
Waktu itu komunikasi dengan keluraga/orang tua dikampung Walesi Wamena nun jauh sana hanya lewat surat kantor pos. Itupun surat kami atau mereka sampainya dengan jarak waktu berbulan-bulan. Berita yang kami terima suatu kejadian di Kampung berita basi, sudah beberapa bulan lewat baru kami tahu kejadian itu. Misalnya temana saya ada keluarganya meninggal, kami tahu setelah kejadian itu beberapa bulan kemudian.
Karena semua itu, hanya, kami sangat rindu dan malas, sangat malas, hidup terus begini. Lamunan kerinduan untuk berkumpul kembali dengan handai taulan di kampung benar-benar membuat kami tidak betah tinggal di sini, di Pondok ini. Tapi bagaimana kami bisa kembali pulang untuk berkumpul lagi dengan orang tua dan handai tauland di kampung? Tidak ada jalan! Satu-satunya jalan datang pergi di belakang Pondok, di bawah pohon kelapa, melamun sambil memandangi arah matahari terbenam sampai waktu sholat maqrib tiba oleh suara pengajian dengan pengeras suara keras terdengar yang mengagetkan lamunan, menandakan santri harus sudah ada di mesjid sebelum 15 menit adzan di kumandangkan.
3). Pacaran dengan Orang Kampung
Hari demi hari betapapun kami bosan akan rutinitas Pondok dan kerinduan mendalam akan perjumpaan dengan keluarga sekaligus orang tua dikampung halaman.. Tidak ada yang lain, selain hasrat pulang kampong tidak tercapai. Dari hari-kehari terus berlalu disini tanpa tercapai kerinduan dan hasrat perjumpaan dengan orang tua yang mengasihi kami di kampung halaman. Kami tertawan disini, juga tidak ada jalan lain, selain hanya rasa kerinduan belaka tanpa pernah terwujud rasa rindu pada yang dirindui.
Waktu begitu terus berlalu, usia semakin bertambah membuat kami menjadi remaja-remaja yang menginjak usia pubertas. Dunia penuh keingintahuan seorang remaja dimana-mana, sebagai manusia beringstual lazimnya. Ada hasrat, biasa ingin bergaul dengan lawan jenis adalah suatu hal pantangan di Pondok. Terus terang di Pondok ini dan mungkin semua Pondok umumnya dimana-mana, pacaran adalah hal tabu, selain dilarang dalam agama Islam, jika ketahuan urusannya gawat, dikeluarkan dari Pesantren.
Kami dari 4 orang anak Papua, mungkin saya paling kecil tiba pertama di Pondok ini. Artinya kala itu saya belum baliqh (mimpi basah). Semua proses itu terjadi disini sejak beberapa saat tidak lama kami tiba di Pesantren Al-Mukhlisin. Dalam pesantren (lingkungan Pondok) pergaulan bebas apalagi lawan jenis sangat pantangan. Jangankan bicara lama-lama, untuk memadang lain jenis saja, sudah tidak boleh kalau bukan muhrim. Tapi kalau disekolah umum agak renggang aturannya. Hal itu dimungkinkan terjadi di bangku sekolah formal bagi anak santri Pondok.
Terus terang saya punya dua orang teman yang tidak pernah bisa lupa sampai sekarang ini. Yang satu teman mengaji pada sore hari, kami sama-sama anak Pondok. Dia teman saya pertama yanag saya naksir. Dia anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, namanya Neneng. Kami belajar mengaji sama-sama satu kelas ba’da maqhrib pada program takhassus Al-Qur’an. Mungkin dia akrab dengan saya karena kami sama-sama menyukai qiro’ah. Saya lebih biasa melagukan Al-Qur’an karena pernah jadi Qori nasional Papua. Dia menyukai suara saya melantunkan ayat-yat Allah dengan indah. Dalam makhrojul huruf, tajwid, murottal adalah sudah biasa bagi kami dari kampung halaman Papua. Dia selalu duduk dekat, setiap kesempatan memanggil, hanya sekedar untuk melagukan al-qur’an.
Yang kedua, namanya O’om, biasa nama panggilan orang Sunda. Dia orang Kampung dari Putat Nutug, Rumpin Utara, Bogor. Dia tidak mukim di Pondok sebagaimana Nenenga tadi. Orangnya tidak terlalu cantik, tapi hitam manis. Dia kadang duduk satu bangku dengan saya di Aliyah kelas satu. Apalagi kalau ulangan pelajaran bahasa Arab. Saya sebenarnya tidak tahu bahasa Arab, tapi dia menganggapnya bisa menjawab soal. Jika saya ada bicara dengan teman dia yang lain dia cemburu. Saya cepat ditariknya untuk jangan saya bicara dengan temannya.
Sungguh mengingat semua itu rasanya indah, sungguh begitu indah. Kata orang masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah. Tapi itu hanya perasaan saya, padahal mungkin karena dia mau bisa mengaji. Saya merasakan tapi dia tidak merasakan atau …entahlah, tapi adalah sesuatu hal masa lalu yang tidak cocok diceriterakan disini.
Tapi ada satu hal seperti dijelaskan diatas tadi bahwa diluar sekolah formal (SMP, itupun tahun-tahun awal kami sekolah disini), memang kami sangat ketinggalan, ya, kami sangat bodoh dikelas, nilai rapurt angka merah semua. Dari 10 mata pelaran wajib nasional, 6 angka merah, hanya empat angkat ditulis dengan warna hitam. Rangking paling terakhir dari jumlah siswa kelas. Sampai dua orang teman Papua finyatakan tidak naik kelas. Hal demikian tidak sama dengan sekolah program Pondok. Kami anak.anak Papua, tidaklah terlalu ketinggalan. Apalagi sesudah kami memasuki tahun kedua dan ketiga, sebenarnya kami sudah dapat menyesuaikan dan dapat menerima pengajaran sekolah biasa sebagaimana kawa-kawan kami yang lain selain Papua.
Selama beberapa tahun di Pondok rasa rindu kampung halaman Papua nun jauh sudah tidak lagi ada, sahabat dekat lain belum lagi ada, di Pondokpun aturannya ketat untuk bisa membagi rasa rindu dan susah. Maka kami sering kaluar jalan-jalan di kampung sekitar. Disitulah saya dan teman juga dari Papua berkenalan dengan gadis-gadis Bogor. Mereka tinggal di kampung sebelah. Rumah mereka agak jauh tapi masih bersebelahan dengan Pesantren kami. Tiap hari minggu pagi hingga sore bahkan sampai malam kami sering datang pergi kesana.. Hal demikian tidak diketahui pihak Pondok, kalau tahu urusannya gawat. Ya, kami berpacaran. Sayang belakangan mereka sudah dipinang pemuda tetangga.
4). Juara Umum Takhasus Qur’an
Pada waktu diadakan class meeting, setelah kenaikan kelas, di Pondok diadakan lomba berbagai cabang, mulai dari pertandingan bola kaki, fola foly, dan lain-lain cabang olahraga antar kamar, juga di adakan MTQ, lomba azdan, Qiro’ah, murottal, dll. Pertandingan jenis pertama diadakan tentu saja secara beregu, kamar asrama dimana anak-anak Papua menghuni memborong semua hadiah dan piala perlombaan. Adapun jenis perlombaan kedua, saya dinyatakan keluar sebagai juara umum se Pondok Pesantren Al-Mukhlisin.
Demikian juga dalam pembagian raport baik di sekolah umum maupun Diniyah Pondok, nilai kami tidak seburuk masa awal kami datang kesini. Bahkan ranking sekolah diniyah prestasi anak-anak Papua lebih baik dan meraih prestasi secara kompetitif dengan kawan-kawan santri dari Jakarta. Saya sempat dicatat juara dua sekolah Diniyah Wustho (setingkat SMP, sekolah khusu Pondok). Demikian juga ada teman Papua yang otaknya boleh diandalkan, dia pintar, namanya Muslimin Yelipele. Dia anak yang pintar, salah satu anak Papua, tapi orangnya pendiam, kurang euphoria sebagaimana kepribadian saya, terkesan riya’ dan takabbur, seperti saya lakukan disini, menceriterakannya.
Semua ini saya ceriterakan terjadi pada saat kenaikan kelas, berarti bagi saya dan beberapa teman Papua, saat ujian SMP, Diniyah Wustho, yang kami ikuti, terjadi pada tahun 1990-1991. Dalam tahun-tahun ini kami sudah menyesuaikan diri dan dapat berkonpetisi sama dengan rekan-rekan kami daerah lain di kelas maupun dalam pergaulan sehari-hari. Kami sudah biasa dengan kehidupan di Pondok, bahkan rasa solidaritas kami, anak-anak santri dari berbagai daerah lebih kuat dan lebih tinggi daripada rasa nasionalisme orang Papua pada NKRI hari ini.
Bahkan menjelang tahun 1990 dari tahun 1989 malam pergantian tahun, saya dan kawan-kawan pergi ke Bandung. Ada teman anak Betawi Tanah Abang (Pejompongan, Play kami memanggilnya, tapi nama sesungguhnya Firman), punya teman bernama Kriston Situmorang, orang Batak. Dia ini belakangan menjadi teman paling akrab dengan saya, walau kami terpaut jauh, baik, adat budaya, agama maupun pendidikan.
Kami bersama mengadakan jalan liburan panjang ke Bandung. Saya masih ingat pada malam tahun 1990 itu saya datang antar dia ke Gereja Khusus Batak (HKBP) di kota Bandung. Kalau suara adzan terdengar biasa dia antar saya ke Masjid, pokoknya asal ada suara orang adzan kata dia Ismail, Muhammad ada panggil kamu ke Mesjid, dan dia mengantar saya kesana.
5). Jadi Guru Ngaji
Di Pondok sejak saya menjadi juar umum, banyak orang tua yang anaknya belum bisa mengaji datang menitipkan pada saya, agar diajari, mengaji. Terus terang saya secara keuangan tidak memungut bayaran, tapi dikasih suka rela oleh orang tua mereka. Waktu saya mengajar mereka mengaji pada sore hari menjelang sholat maqrib berjama’ah. Dari sini saya bisa bantu teman Papua untuk bisa beli sabun mandi, cuci, sikat gigi, odol dan lain keperluan, terutama jajanan lain di sekitar Pondok.
Anak yang saya ajari mengaji ada tiga orang, yang masing-masing orangtuanya termasuk orang mampu. Mereka jadinya mengaji duakali, dengan saya lebih dulu sebelum ke guru ngaji tetap Pondok. Terus terang pada awalnya mereka ini sama sekali huta aksara arab. Saya kenalkan huruf sampai belajar metode iqro. Pada akhirnya mereka menjadi bias dan cepat menguasai selama tiga bulan.. Ada yang sudah bisa tapi dia diminta oleh orangtuanya agar saya ajari qiro’ah.
Yang satu lagi minta diajari tajwid dan membaca al-qur’an secara baik dan benar. Saya ajari dia lagam qiro’ah murottal. Ketiganya saya ajari setiap ada kesempatan tapi tidak sampai tuntas dan saya lebih sering diajak pergi ikut Pak Mulia untuk mengaji di berbagai kalangan pengajian baik pejabat pemerintah maupun masyarakat umum di berbagai kota di Jakarta dan Jawa Barat.
6). Ikut Pak Mulya Tarmidzi
Pada satu kesempatan acara di Pondok ini yang umunya dikunjungi para pejabat pemerintah, utamanya para Menteri Kabinet Soeharto-Sudarmono. Sebagai penceramah diundang Dr. Nurcholis Majid (Cak-Nur, Cendikiawan Muslim Indonesia terkenal itu), untuk berbicara dihadapan santri disini, tapi berhalangan datang. Maka da'i ketiban, Dr. Muhammad Mulya Tarmidzi mendadak di undang datang ke Pondok ini. Kebetulan kami sendiri belum kenal dia. Tapi ternyata dia adalah Kolonel AL, yang pernah bertugas di Angkatan Laut 10 di Hamadi Jayapura Papua.
Dan dalam tahun 1978 Letnan Kolonel Angkatan Laut yang juga Dokter sekaligus Ulama ini pernah datang berkunjung ke Wamena. Islamic Centre Wamena adalah oraganisasi yang disponsori olehnya. Dia dikabari bahwa disini, santri berasal dari berbagai daerah Indonesia. Pondok ini ada anak-anak Papua asal Walesi Wamena. Paitua kaget minta ampun. Besoknya dia mengutus anak angkatnya, orang Papua juga, bernama Ilham Walelo, untuk datang jemput kami bawa pergi kerumahnya di Cinere, dekat Pondok Labu kompleks AL .
Berikutnya dia menyuruh Ilham Walelo (saat itu kuliah di IAIN, kini UIN Jakarta) untuk menjemput saya, agar diajaknya pergi mengaji dalam berbagai kesempatan ceramahnya. Selama duduk kelas tiga di bangku SMP, saya lebih banyak pergi mengikuti Pak Mulya Tarmidzi keliling kota Jakarta dan Jawa Barat. Sebelum beliau ceramah dihadapan jama'ah pengajian saya lebih dulu mengaji, setelah itu sebelum masuk thema ceramahnya yang kadang isinya lucu-lucu membuat jama'ah terbahak-bahak tertawa itu, dia menceriterakan dulu kondisi Islam di Walesi, bagaimana perjuangannya dulu, siap tokoh pejuangnya dan dikatakannya saya salah satu anak Kepala Suku dari daerah yang masih muallaf yang diislamkannya itu. Setelah itu beliau mulai ceramah sesuai thema yang diminta para jama'ah. Demikian itu berlangsung sampai saya sudah di SMA/Aliyah dikemudian hari.
Kenal Dunia Luar Pesantren
Pada waktu saya lulus ujian SMP, walaupun nilai tidak memuaskan, tapi tidak seburuk nilai pertama sekolah disini. Saya lulus ujian bersama teman, dua orang dari Papua tahun 1991, dan langsung mendaftarkan diri di Madrasah Aliyah. Aliyah ini baru buka kami siswa angkatan kedua dari siswa sekolah baru ini. Saat-sat itu juga sebenarnya di Pondok saya sudah punya prestasi. Saya mewakili Pondok ini mengikuti MTQ tingkat Kecamatan Parung di Masjid As-Sholihin yang diadakan kerja sama dengan Majalah Panjimas (Panji Masyarakat Islam, pendirinya Buya HAMKA, Pendiri MUI, Ulama Indonesia terkenal lewat tulisan dan ceramah-ceramahnya). Bahkan saya menjadi guru mengaji Frivat beberapa orang anak yang dititipkan oleh orang tuanya untuk saya mengajari mereka mengaji.
Namun sayang, akibat pergaulanbebas, ditambah lagi aturan Pondok yang mulai tidak ketat, apalagi anak-anak baru yang masuk belajar di Pondok ini orangtuanya beragam latar belakang, dari yang orang kaya, pejabat pemerintah, pengusaha sampai anak orang biasa layaknya saya, juga ada anak pengusaha, anak Kiay dan lain-lain latar belakang semua ada disini, di Pondok ini. Hal itu membuat kehidupan di Pondok menjadi labil. Penegakan aturan tidak sekrtat, dan se taat masa dulu saat pertama kami tiba disini.
Kami anak-anak Santri banyak melanggar aturan Pondok, kami menjadi anak Bandel. Dari Papua saya termasuk anak lumayan berprestasi yang paling bandel. Teman-teman segan dan takut saya, termasuk kismul amninya (petugas keamanannya), karena badan saya kuat dan besar. Mereka takut! Saya sesungguhnya anak baik sekaligus anak nakal dan berani melawan ustadz di Pondok ini. Padahal menyesal seumur hidup, apalagi dalam kitab, Nashoihul ‘Ibad; kami diajarkan bagaimana menghormati guru, ya, para ustadz kami di Pondok, tapi saya malah sebaliknya melawannya adalah murka sekaligus ilmu saya tidak bermanfaat kelak dikemudian hari ilmu darinya.
1). Pergaulan Bebas
Dalam pada itu ada teman-teman se kamar bekas pengguna narkoba, pil anjing, koplo, jarum suntik dan lain-lain juga diantar orang tuanya agar memperbaiki moralnya di antar masuk di Pondok ini menjadi teman-teman kami. Dalam satu kamar yang disediakan pihak Pondok kami tinggal jumlah belasan orang anak santri. Saya sering olahraga, angkat barbell, besi, dan memperbesar badan dengan sering pus up setiap pagi dan sore hari. Banyak kawan mencari perlindungan dengan menjadi teman akrab saya.
Saya masih ingat kawan-kawan dari Lahat, Sumatera Selatan, orangnya nekat-nekat, punya badik. Tapi saya lebih dekat dengan kawan-kawan dari Dumai, Riau. Kami dalam Pondok ini aturannya tidak ditegakkan secara disiplin ketat, aturan Pondok sering tidak stabil, membuat kami santrinya menjadi labil. Saya juga punya teman anak Surabaya , kami biasa memanggilnya Are, Mas Are. Dia juga punya clurit yang dibawanya dari rumah dan simpan rapih di Pondok untuk jaga-jaga diri. Itu keadaan didalam Pondok tahun 1990-an.
Diluar Pondok kita tahu ada istilah Petrus (penembak Misterius?) pada zaman Panglima LB Murdani yang menakutkan itu. Saya dan beberapa teman pada zaman itu sering keluar Pondok. Beberapa teman saya yang sering panggil saya dengan “Boss”, selalu kemana-mana ikut saya, sering datang main bukan lebih dekat di Pasar Parung, dimana disana ada Marsel Iyai (anak Paniai, preman terkenal tukang mabuk di Pasar ini), tapi kami sudah mulai berani main agak jauh ke Ciputat.
Kami sering datang main ke Ciputat pada jam-jam sekolah, kami membolos. Terminal Ciputat banyak orang Papua, ada yang Kopassus, Brimob, dan lain-lain kesatuan sering kumpul disini. Preman yang paling ditakuti disini dan punya nama besar adalah Bung Ramar, demikian orang menyebutnya. Dia adalah Andreas Ramar dari Manukwari. Dia baru pulang dari Vietnam, banyak didatangi anak-anak Papua lebih muda dari Brimob Kedung Halang Bogor, Kedaung, AL Pondok Labu, Kostrad Cibinong Bogor, Kostrad Kebayoran Lama Jakarta. Kami sering datang kesini bagi saya awalnya rindu lihat sesama orang Papua.
Disamping itu kami bisa cari uang di terminal, “palak”, sopir angkot jurusan Kebayoran Lama-Ciputat, Pondok Labu-Ciputat, Bus jurusan Tanah Abang-Ciputat, Kampung Rambutan-Ciputat, Ciputat -Sukabumi. Banyak bioskop di Pasar ini gratis bisa kami nonton. Semua berkat orang kuat, “Kaka Black” satu ini, Bung Ramar. Tapi kebiasaan mereka disini kalau berkumpul selalu minum, minuman keras. Kami masih anak-anak lugu, apalagi anak-anak Pondok. Tapi masa kami adalah masa-masa pubertas, sebagaimana biasa dunia remaja penuh dengan mencari jati diri. Kami berkumpul dengan orang-orang Papua yang lebih dewasa, berbaur, terjerumus lebih jauh didalam pergaulan bebas mereka disini.
2). Dikeluarkan dari Pesantren
Terus bterang walaupun kami sering keluar bergaul bebas dengan orang di luar Pondok, Kaka-Kaka Papua saya selalu tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Mengingat Pondok kami lebih banyak mengarahkan keutamaan ibadah daripada pondok lain yang lebih mengutamakan pendidikan modern dengan keutamaan menguasai bahasa asing (Arab-Ingris). Kami di Pondok Pesantren kewajiban dan aturan wajib berbahasa asing ada tapi dalam prakteknya sering tidak jalan.
Malahan aktivitas ibadah mahdoh lebih di utamakan dalam praktek sehari-hari di Pondok. Maka kami sudah terbiasa terdidik kearah pembinaan tasawuf dalam praktek. Hal ini terbawa dalam kepribadian kami para santrinya sampai diluar Pondok. Sholat lima waktu, walau dalam kondisi sakar, tetap saya tegakkan setiap waktu tiba.
Sejak sering keluyuran keluar Pondok menjadi keterusan. Sudah tentu banyak teman, tapi pengaruh pergaulan bebas, pengaruh bukan orang Pondok yang senantiasa mencari rihdo Allah SWT, serta memperbanyak ibadah. Pengaruh dunia sorga, minuman keras, hidup bebas, ingin mencoba hal baru, apalagi menginagt usia kala itu usia remaja yang ingin mencari jati dirinya membuat saya semakin berani melanggar bukan saja aturan Pondok, melainkan juga aturan Tuhan dalam syari'at Islam.
Terus terang saya tidak kenal perempuan, dan tidak mau melakukan hal itu. Keculi minum tapi melalui ikut-ikutan dan itupun awalnya dipaksa orang. Akhirnya sudah berani mengenal minuman, walaupun awalnya hanya coba-coba. Apalagi lingkungan dimana saya datang gauli di Ciputat adalah orang yang memang biasa minum dari sananya.
Ada teman cerita bahwa dia jago minum dan pernah mencicipi semua merk minuman sebelum masuk di Pondok ini. Saya mendengarnya merasa tertantang dibuatnya, ketinggalan, itulah godaan syaithon. Akhirnya saya ingin mencobanya semua jenis minuman yang disebutnya. Saya ingin membuktikan bukan hanya cerita tapi sebaliknya dipraktekkan langsung di dalam Pondok dihadapan teman yang mengaku jago minum.
Kebiasaan minum tidak ada dalam budaya Papua, hanya di kota oleh pengaruh Belanda sedikit orang Papua minum beer, tapi saya bukanlah orang kota . Bagaimanapun juga saya adalah orang Muslim dari Walesi yang sejak kecil sudah dikenalkan dengan aturan hukum-hukum Islam bahwa minuman khamar itu haram, walaupun makan daging babi yang dimaklumi masih dilanggar di kampung saya yang masih kuat budaya itu. Apalagi dalam Pondok di sekolah Diniyah saya sudah diajarkan hadits Nabi bahwa : Kullu muskiirin haramun; Artinya : “Semua yang memabukkan adalah haram”. (Al-Hadits).
Sudah ada laporan ke Pimpinan Pondok dia juga pembina Panti Pondok yang menangani soal tetek-bengek biaya pendidikan selama berlangsung di Pondok sejak pertama kami datang. Saya akhirnya memang dilaporkan bahwa minum di dalam asrama Pesantren. Ya sudah tentu akibatnya saya harus di keluarkan dari Pondok Pesantren. Demikian kebijakan Pimpinan Pondok Pesantren memutuskan. Kami masih beruntung karena aturan sebagaimana dalam agama Islam harusnya kami didera agar jera. Tapi aturan itu tidak ditegkkan karena Indonesia bukan Negara Islam. Karena itu kami tidak didera sebagaimana syari’ah Islam.
Bersama saya ada satu teman Papua lagi yang ikut-ikutan dikeluarkan. Kami dikeluarkan pada saat mau kenaikan kelas, saat itu kami baru duduk kelas dua Aliyah (SMA). Pimpinan Pondok tetap memutuskan saya dan teman satu lagi dari Papua harus dikelurkan agar yang lain mau coba-coba menjadi pelajaran. Demikian kira-kira Pimpinan Pondok berkesimpulan dari hasil renungannya atas pelanggaran hukuman bagi kami yang berani melanggarnya apalagi ini kasus minuman keras yang paling diharamkan dalam agama Islam itu saya layak dikelurkan karena saya memang melanggarnya..
Jadi kami dikeluarkan hanya dua orang sementara beberapa teman Papua yang lain, mereka yang datang belakangan disini, di Pondok ini, dari Walesi tetap dipertahankan. Karena memang yang bandel hanya saya bukan termasuk teman saya seperti dugaaan Pimpinan, tapi hanya saja dia hari itu tidak masuk sekolah diniyah pada sore hari. Saya tidak bisa membela diri apapun alasannya, apalagi teman saya yang tidak tahu banyak bicara, yang walaupun sebenarnya dia tidak ikutan meminum minuman memabukkan pada hari itu. Tapi hanya saya, anak Papua, selain beberapa teman lain dari Sumatra. Akhirnya tetap diputuskan kami dikeluarkan dari Pesantren tanpa pernah mau mengerti kemana kami pergi dari sini, Pondok ini. Disini kami tidak ada saudara. Ada Pak Mulya tapi kami melanggar aturan yang diketahuinya sangat tidak boleh dilanggar dalam Agama Islam yang selama ini di ceramahinya setiap hari kepada para semua jama’ah umat Islam.
3). Hidup di Terminal Ciputat
Akhirnya kami datang ke terminal Ciputat, tempat dimana pertama kami belajar dunia luar. Kami beberapa lama hidup dan tidur diterminal. Belajar sekaligus menjadi preman. Kala itu memang di jakarta orang-orang Papua sering dikerahkan pihak keluarga penguasa dalam urusan gusur-menggusur orang Betawi. Kala itu orang Papua yang perawakannya memang seram dan menakutkan bagi warga kecil di Ibukota menjadi laku keras penguasa Indonesia, menggunakan tenaganya untuk menggusur warga Jakarta untuk di paksa pindah lokasi. Sudah menjadi biasa diketahui orang-orang disiktar terminal ini. Kami leluasa mencari makan dengan palak para sopir angkot.
Dalam keadaan begitu saya secara kebetulan ketemu Ester, gadis hitam manis keturanan Ambon-Belanda. Dia cerita pada saya bahwa kakeknya masih orang Papua dari Serui. Kakeknya beristerikan perempuan Belanda. Dia baru tinggal di Indonesia. Kakaknya di Bandung termasuk orang kaya. Sayang dia pemakai (istilah anak jakarta, pengguna narkoba). Sebagai anggota Alamo ( Ambon lapar makan orang?) dia cukup matang dalam pergaulan bebas kota Metropolitan Jakarta.
Ketemu Ester saya menceriterakan dari mana dan asal usul, hingga bagaimana saya ada disini, diterminal Ciputat. Saya diajak ke kontrakannya, diberi tempat, di ruang tamu saya boleh tidur, selebihnya saya tahu diri, ditolong dia. Tapi saya tidak mau macam-macam, apalagi dia memperlakukan saya tidak level, dia lebih dewasa dan berpengalaman, sedangkan saya seorang ABG (anak Baru Gede) yang masih amatir dimatanya. Hanya satu baginya bahwa dia sayang pada saya, apalagi kakeknya masih orang Papua.
Beberapa waktu tinggal bersamanya, saya agak tidak betah. Kami kadang ketemu hanya sore hari, pada malam hari saya keluyuran dan pulang ditempatnya saya dalam kondisi teler. Tapi keinginan sekolah tetap tinggi dalam diri saya.. Dia menawarkan saya ke Bandung tinggal dirumah keluarganya yang orang kaya. Tapi bagaimanapun cita-cita saya apalgi saya adalah utusan dari Walesi, keinginan kembali ke Pesantren membuat saya pergi meninggalkannya.
4). Pergi ke Sukabumi
Diterminal Cipuata ada bus jurusan Sukabumi. Saya ketemu kembali dengan teman yang dikeluarkan bersama itu. Dia punya kaka tinggal di Pasar Minggu Gang Arab Pejaten Timur bersama Pak Saddiq Ismail. Beliau ini dulu bersama pak Mulya Tarmizi membangun dan merintis Islam pertama di Walesi. Pada waktu pindah tugas ke jakarta dia membawa salah satu anak Walesi, kakaknya teman saya itu. Tapi rupanya teman saya dimarahi, dan kakanya tidak mau mengurusnya.
Dia datang menemui saya ke terminal Ciputat. Saya usul padanya agar berdua kita pergi ke Sukabumi untuk cari sekolah di sana. Apalagi disana (Sukabumi) banyak terdapat Pondok Pesantren, memungkikan kita melanjutkan pendidikan agama disana. Disamping itu disana juga sudah ada orang Walesi pertama dikirim sekolah ke Jayapura dari 20 orang anak yang belakangan dibawa Pak Mulya Tarmidzi ke Jakarta bersama Ilham Walelo, tapi dia kabur dan pergi menjadi Polisi tinggal di asrama Secapa POLRI Sukabumi. Kami berangkat kesana kepadanya.
Selama satu minggu tinggal dirumahnya isterinya menunjukkan sikap tidak suka pada kami berdua. Kebetulan disana sudah ada orang Papua lain, Pak Mahuse dan Aloysius Kowenip. Saya tinggal sama Pak Aloy dan teman saya dirumah Pak Mahuse. Pak Aloysius lama di Wamena dan isterinya orang Kurulu. Saya dianggap keluarga dari isterinya dan saya lumayan betah tinggal dirumahnya. Saya diberi satu kamar. Disana saya boleh melakukan apa saja, termasuk sholat lima waktu.
5). Di Cari Orang
Tidak lama kami di Sukabumi ada yang mencari sampai keberbagai terminal. Mereka memasuki semua terminal di seluruh sudut kota jakarta. Konon kabarnya saya dan teman yang dukeluarkan Pondok itu menjadi preman berkeliaran di terminal sekitar Jakarta. Terminal Ciputat didatangi tapi kami sudah berlalu dari sini. Pesan titip kepada semua petugas terminal agar jika ada anak-anak dengan ciri-ciri seperti kami segera menghubnginya.
Ternyata orang datang mencari kami selama berminggu-minggu diberbagai terminal itu adalah Pak Sudirman Dampang yang kelak menjadi orang tua asuh yang sebenarnya. Dia orang Slayar Sulawesi selatan. Pada masa mudanya beliau sudah malang melintang bertugas di berbagai kota di Papua. Mulai dari Jayapura, Merauke, Biak dan Manukwari. Bahkan isterinya kelahiran Papua dari Jawa yang ayahnya seorang Militer. Kami di Sukabumi ada teman Papua dari Pesantren datang bawa berita bahwa kami harus segera kembali ke Jakarta. Rupanya baru kami ketahui bahwa dari Papua oleh tuntutan orang tua kami dari Walesi kepada Ketua Islamic Centre agar kami segera di cari dan disekolahkan kembali.
Ketua Islamic Centre adalah orang yang pertama datang antar kami di Jawa. Dia sudah telepon kenalan di Jakarta agar kami segera ditemukan. Demikian amanat itu sampai ditelingga kita di Sukabumi. Tapi terus terang saya betah tinggal sama Pak Aloy, apalagi disana ada isterinya yang sama-sma saya kami orang Wamena suku Dani. Pak Aloy sebelumnya menawarkan saya dan membelikan motor agar saya sekolah SMA di kota Sukabumi saja. Tapi sesungguhnya dalam hati saya harus kembali ke Pondok Pesantren. Saya tidak menolak tawarannya tapi saya memang beberapa lama tinggal bersamanya.
Akhirnya pada suatu hari saya bersama teman kembali ke Ciputat. Saya datang lagi ke kosan Ester, dia tetap menerima saya dan saya beberapa hari sering datang tidur ditempatnya. Pada waktu lain kali saya ajak Yudas Kotauky, dia buat skandal yang membuat saya tidak enak hati pada Nona Ambon Manise yang baik, yang padanya saya hormati dan menganggapnya sebagai kaka. Kala itu setiap pagi dan sore saya menjadi pengangguran (lebih tepat gelandangan) di terminal Pasar Ciputat.
6). Ketemu Yudas Kotouky dari Paniai
Begitu tiba-tiba dihadapan saya ditengah keramaian terminal Ciputat yang panas pada hari itu ada seseorang berkulit hitam melintas dihadapan saya. Dia laki-laki masih muda usianya, tapi kelihatannya jarang mandi. Sepatunya kotor karena becek terminal Ciputat waktu itu. Saya datang menghentikan langkahnya yang kelihatan berjalan buru-buru itu untuk menyapa menegurnya hanya menanyakan darimana dan hendak mau kemana. Dia adalah Yudas Kotouky dari Paniai.
Dia membalas sapaan saya dengan kata nayak (salam khas laki-laki Lembah Balim Wamena), karena baginya saya jelas terlihat anak Suku Dani Wamena. Disamping itu karena dia juga pernah sekolah SMP sampai tamat di kota Wamena. Jadi dia tahu dan mengenal dari suku dan kampung mana asal saya dari Papua dikenalinya cepat. Kami berkenalan menyebut nama kampung masing-masing memperkenalkan diri. Dari gaya bahasanya logat campur Jawa- Paniai, membuat saya agak lucu dan geli mendengarnya.
Rupanya dia droup out Fakultas Hukum UNDIP (Universitas Diponegoro Semarang) Jawa Tengah. Sebelumnya katanya dia kuliah program beasiswa di Universitas Satya Wacana Salatiga. Dia kuliah atas beasiswa IGGI dari pemerintah Belanda. Memang beberapa mahasiswa Katolik dari Papua dibeasiswakan belajar di Jawa Tengah kala tahun itu. Tapi alasan lain pemerintaha Indonesia memutuskan bantuan beasiswa yang umumnya diterima anak-anak mahasiswa Papua.
Yudas Kotouky adalah korban dari keputusan pemerintah RI itu, dan dia datang ke Jakarta dalam rangka menjual ekor bulu burung Cenderawasih yang indah terkenal dari papua itu, kepada orang-orang di Jakarta siapa saja yang mau membeli agar membiayai kuliah. Saya menganggapnya kasihan tapi dia seorang mahasiswa menganggap saya lebih kasihan, karena ada disini hanya seorang diri tempatnya di terminal dan masih anak-anak lagi. Saya sama seperti juga kepada yang lain menceriterakan padanya bahwa beberapa waktu lalu dikeluakan dari Pesantren pada saat mau kenaikan kelas.
Dia seorang mahasiswa kritis, tentu saja dia cepat merespons dengan perasaan prihatin atas peristiwa saya dikelurkan dari Pondok. Dia merasa iba pada saya dan akhirnya daya intelekltualitasnya muncul agar bagaimana dapat dengan cepat membantu menyelsaikan. Dia meresa masalah saya harus dibantunya untuk kembali belajar. Saya menceriterakan semua kronologis mengapa dan alasan saya dan teman satu lagi dikeluarkan dari Pesantren tanpa surat pindah begitu saja ditengah-tengah waktu mau semester kenaikan kelas. Dia mau mendengarkan semua cerita saya dan alasan saya tidak diterimanya tapi dia akhirnya bertekad ingin mengurus dan mendirikan yayasan.
Tapi sayang hari itu dia sedang buru-buru. Dia pergi lebih cepat dari yang saya harapkan. Karena katanya dia sebelumnya sudah janjian ketemu dengan seseorang yang mau membeli bulu burung cenderawasih yang sedang dibawanya. Katanya dia akan datang ketemu lagi diterminal, ditempat itu, pada jam 10.00 wib yang ditentukannya, agar saya sudah harus ada disana. Sesuai ketentuan waktu saya menunggu dia datang agak terlambat. Rupanya seperti kemarin kelihatan dia belum mandi, dia agak kotor berkeringat.
Kembali Masuk Pondok
Bersambung
****
Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.
Selama ini saya dikenal dengan nama Ismail Asso. Walaupun dalam ijazah tercatat dengan nama Isman Asso. Saya dilahirkan di Kampung Werasikiwa termasuk daerah induk distrik Assolipele Walesi, kira-kira 8 Km dari Selatan Kota Wamena Kabupaten Jayawi Jaya Papua. Kapan persisnya saya lahir, tidak tercatat. Karena ketika saya dilahirkan hampir semua lingkungan keluarga buta huruf. Tapi peristiwa perang (pemberontakan TPN/OPM) tahun 1977 saya tidak mengalami. Berarti diperkirakan saya lahir pada tahun 1975.
Sesungguhnya saya terlahir dengan nama Nasike, yang artinya; "Panahku". Kemudian dipanggil Ponogo, artinya "Terjatuh". Karena almarhum ayah saya wafat dalam kecelakaan di Kalelo pada musim kelapa hutan (tuke melapenem). Dulu ketika baru dinamai Ponogo, kadangkala orang tetap panggil dengan Nasike. Demikian pemberian dan pergantian nama sebagaimana kebiasaan berlaku umum tradisi Suku Dani Lembah Balim Wamena Jayawi Jaya Papua.
Guruku, Bashori Alwi, berasal dari Bantul, Jogjakarta mengganti namaku secara diam-diam. Dalam raport dicatat nama pemberiaannya Isman Asso. Beliau catat tanggal lahir saya 5 Mei tahun 1975 dalam raport. Nama ini maknanya saya sendiri tidak tahu, tapi diikuti ijazah SD (MI), SMP sampai SMA (Aliyah). Pencatatan tanggal dan tahun lahir termasuk nama oleh Kepala Sekolah adalah fiktif. Semua pencatatan identitas atas inisiatif Kepala Sekolah Merasugun Asso Walesi, Pak Bashori Alwi. Karena orang tua suku Dani Lembah Balim tidak punya budaya pencatatan. Oleh sebab itu identitas bukan yang sebenarnya pemberian orang tua.
Walaupun demikian apa penting artinya sebuah nama bagi manusia? Pada umumnya para ulama sufi tidak menganut asas formalitas symbol sebagai yang ebih penting dan utama. Bagi mereka betapapun kulit pisang bungkusan paling baik bagi jenisnya, semata-mata untuk dimakan isinya. Betapa kita manusia kadang lebih mementingkan bungkusan bukan isi, tapi kata yang lain tanpa kulit isi tidak mungkin baik, walaupun tetap yang mau dimakan bukan bungkusan, kulit pisang. Belakangan ini ada aliran filsafat bahasa (hermeutika) yang dikembangkan oleh Mickael Faucol, sudah mengesamping aspek ini
Saya tidak tahu persis apa arti sebuah nama. Kata orang Jawa nama adalah harapan (doa). Dalam kliwon (ramal nasib) nama Isman Asso, mungkin sebenarnya baik. Tapi apa artinya? Saya sampai sekarang tidak mempersoalkannya. Menggunakan nama ini (Isman Asso) kelak banyak mengubah perjalanan hidup. Dengan nama ini di kelas saya selalu rangking satu di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso Welesi. Tapi dalam pergaulan sehari-hari selama ini saya dikenal dengan sebutan nama Ismail Asso. Menjadi permasalahan tersendiri tatkala Ismail Asso bukan sebagai Isman Asso mengurus sesuatu urusan resmi.
Nama Ismail Asso sebagaimana umum dikenal selama ini lebih menunjukkan nama Islam dari bahasa Arab ketimbang bahasa Ibrani yang harus ditulis Ismael Asso. Dalam kisah Nabi Ibrahim, Bapak monotheisme, (Abramic Religion) memeperisterikan dua wanita yakni Siti Sarah dan Siti Hajar. Isteri kedua memperanakkan Ismail AS yang kelak keturunannya melahirkan Nabi Muhammad SAW, pembawa agama Islam, dan Ishaq AS, menurunkan Nabi Isa AS atau Yesus Kristus, pembawa agama Kristen.
Asal nama saya aksen Arab dari bahasa Ibrani dalam kisah Al-Qur’an, dimana kitab suci umat Islam tertulis dalam bahasa ini. Ibrani juga bahasa kitab suci Yahudi tertulis. Bahasa Arab dan Ibrani se-rumpun dari budaya semit Timur Tengah, tempat agama-agama besar berasal. Budaya bahasa mereka Ismail/Ismael maksudnya sama. Dari bahasa Ibrani : Isma’, artinya : “mendengar”, El, artinya: “Tuhan/Allah”. Berarti Ismail artinya “Tuhan telah mendengar”. Nama depan sering berubah tapi fam Asso tetap menempel dibelakang mengikuti perubahan nama. Ismail adalah nama “baptis” atau nama syahadah.
Masa Kanak-Kanak
Saya menghabiskan masa kanak-kanak di kampung kelahiran saya di Distrik Assolipele Walesi, (Distrik Assolipele 100% warga penduduknya beragama Islam). Pada masa saya lahir dan menjalani masa kanak-kanak dikampung halaman tradisi lama dalam keadaan sangat dominant kuat. Pengaruh modernisasi dan agama belum terasa. Tradisi adat di kampung ini, dan umumnya di Lembah Balim Jayawi Jaya mungkin juga demikian sampai dewasa ini masih lebih kuat dari unsure nilai baru lain. Di Wamena orang lebih menghayati tradisi lama daripada agama. Nilai-nilai Adat lebih mempengaruhi hidup masyarakat hingga dewasa ini masih terasa.
Orang tua saya kedua-duanya meninggal sejak saya masih kecil. Saya menjalani kehidupan yatim piatu. Karena itu pada masa kanak-kanak sering kelaparan. Saya sering makan dari tumbuhan alam seperti manisan atau asinan hanya tahan-tahan lapar. Waktu kecil saya menderita penyakit busung lapar alias kurang gizi. Jika diingat cukup sedih tanpa kasih sayang oleh orang tua. Pernah dipelihara paman tapi paman tidak punya isteri saya diasuh keluarga lain secara berpindah-pindah.
Sejak kecil saya sudah mengalami tiga lingkungan keluarga sekaligus yakni lingkungan Katolik, Islam dan Kingmi atau GKI. Tapi seperti ditegaskan diatas tadi nilai-nilai adat lama (Kaneke) masih lebih dominan daripada lain pada masa itu. Nama Nasike/Ponoga pernah ditulis guru dalam buku absensi di sekolah YPPK Hepuba. Saya merasakan duduk di bangku kelas satu SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) Hepuba. Paman saya Bapak Amandus Asso, seorang Katekis (guru agama katolik) yang hidup dalam semangat keluarga katolik yang taat agama.
Datang tinggal di Hepuba sebenarnya saya tidak betah, tapi Paman di Welesi menginginkan saya tinggal di Hepuba daripada tempat saya lahir, Walesi. Selama beberapa waktu hidup disini (Hepuba) satu hal yang sulit saya dilupakan adalah, mandi pagi-pagi sekali pada hari minggu. Karena paman pengkhotbah tetap di Gereja Katolik, Paroki Hepuba, mengharuskan demikian agar bersamanya pergi ke Gereja. Karena tidak betah saya pulang kembali ke Welesi walaupun paman menginginkan saya tetap tinggal disini sampai besar.
Sebelum Madrasah Ibtidaiyah (MI) Merasugun Asso, didirikan pada tahun 1978, di Welesi sebelumnya sudah ada SD YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) dan Gereja dari Missi Katolik. Jarak sekolahnya agak jauh dari kampung kami Distrik Assolipele (Assolipele adalah nama confederasi perang tapi juga nama kamung/distrik). Saya pernah sekolah disini. Tapi hanya masuk beberapa hari saja di sekolah Missi Katolik (SD YPPK) ini. Karena di tolak oleh guru wali kelas bernama Cosmas Asso. Alasan guru wali kelas karena jarak sekolah jauh tapi juga saya dianggap belum cukup umur. Pertumbuhan fisik saya lambat pada waktu itu sehingga dianggap sama umur dengan teman sebaya yang diterima di sekolah itu.
Pada saat itu sebenarnya sudah ada rencana bahwa di kampung kami akan segera dibangun sekolah Islam. Terbukti beberapa waktu kemudian bangunan pertama untuk tempat tinggal guru telah selesai dibangun dua tingkat. Kami sudah bisa menggunakan bangunan ini untuk belajar dan berbagai macam kegiatan keagamaan Islam disini. Kami boleh belajar disini, bangunan baru tempat tinggal sekaligus tempat berbagai kegiatan keislaman ini.
Bangunan ini bentuk tidak seperti banguan sekolah tapi berbentuk rumah tempat tinggal yang ditingkat atasnya digunakan untuk tempat tinggal guru-guru yang umumnya masih bujangan semua. Dan dibawahnya difungsikan mushollah, madrasah dan berbagai fungsi keagamaan Islam lainnya.
Dalam tahun 1978 juga sekolah Islam Pertama Madrasah Ibtidaiyyah) sudah dimulai bangun. Tapi sebelum ada bangunan sekolah sudah datang guru-guru agama Islam dari Fak-Fak. Yang pertama datang adalah Pak Guru Aroby Aituarau dari dari Jayapura kelahiran Kaimana dan kedua Pak Jamaluddi Iribaram dari Kokas Bintuni.
Saya belum pernah mengalami pendidikan dengan Pak Aroby Aituarau guru asal Kaimana Fak-Fak. Konon dia mengajar pelajaran agama Islam di lapangan terbuka beralaskan rumput. Karena tidak ada bangunan apalagi sekolah kala itu di Kampung Assolipele. Beberapa waktu kemudian sepeninggal Pak Guru Aroby Aituarau, Jamaluddin Iribaram dari Kokas didatangkan. Rumah tempat tinggal guru pertama dibangun. Tempat itu kini dikenal sebagai lokasi Islamic Centre Walesi sekarang.
Pak Jamal kelak hidup bertahun-tahun di Welesi itu didatangkan dari Jayapura oleh Islamic Centre. Organisasi ini didirikan atas gagasan Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura. Ketua Islamic Centre pada waktu itu di Wamena Pak Hasan Panjaitan, Sekda Kabupaten Jayawi Jaya. Sponsor utamanya Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari AL dan Saddiq Ismail Kadolog Irian Jaya. Jamaluddin Iribaram sama dengan Aroby Aituarau, yaitu mahasiswa Uncen kala itu. Dia dibujuk agar meninggalkan kuliah untuk mengajar Islam disini. Jalamaluddin Iribaram muda ganteng. Saya termasuk siswa ajaran pertama Pak Guru ini.
Mula-mula Pak Jamal tiba disini, pelajaran belum di mulai secara luas, terbatas hanya beberapa anak dan masih dilakukan himbauan-himbauan agar para orang tua memasukkan anak pada pelajaran Al-Qur’an sore hari. Disamping belum ada bangunan sekolah untuk sementara tempat tinggal Pak Jamal (rumah guru) di jadikan sebagai ruang serba guna misalnya ruang belajar agama Islam anak-anak sekaligus dijadikan tempat pengislaman seperti sunat, syahadat dan tempat belajar tata cara sholat kaum tua.
Sebagai anak masih kecil dengan banyak ingus meleleh dan perut buncit, saya diajak paman sering datang menemui Pak Jamaluddin Iribaram. Paman saya, Heramon Asso, pelopor Islam di Walesi. Ustadz Jamaluddin akrab dengan paman saya. Rumah tempat tinggal Pak Jamal banyak pakaian sumbangan dari Jayapura. Saya pakai baju duluan dari kawan-kawan sebaya.
Tempat Pak Jamal tinggal setiap malam (ba'da maqhrib) diadakan pengajian al-qur'an. Saya dan teman-teman sebaya belajar mengaji disini. Kami lebih dulu tahu menyebut; alif, ba, ta, sta (abjad arab) daripada huruf latin. Kami diajarkan membaca Al-Qur’an di mulai dari Juz ‘amma hingga khatam. Awalnya dituntun, karena sering ulang-ulang, surat-surat pendek ayat Al-Qur’an kami hafal. Juga diajarkan tajwid dan makharojul huruf.
Kampung ini selain SD YPPK belum ada sekolah. Tidak ada kegiatan lain selain belajar mengaji yang tempatnya digunakan dari bangunan rumah tinggal guru.. Bangunan itu dipakai sebagai tempat sholat, mengaji dan belajar pendidikan agama islam sekaligus. Bangunan rumah guru itu adalah bangunan Islam pertama dibangun pada tahun 1978 di Walesi.
Pada mulanya hanya Pak Jamal sendirian tidak ada kegiatan belajar hanya mengaji. Tapi pada tahun 1979 dua orang guru khusus Madrasah Ibtidaiyyah (MI) datang dari Jawa. Mereka didatangkan oleh Rabithah ‘Alam Islami, kerja sama DDII dengan organisasi dunia Islam yang kantor pusatnya di Saudi Arabia itu. Dua orang guru itu bernama Bashori Alwy dan Walidan Mukhsin, mereka dari Bantul Jogjakarta.
Pembangunan sekolah pertama dimulai tahun 1979, selesai tahun 1980. Bangunan itu kelak dinamai menjadi Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Merasugun Asso Walesi. Sekolah ini pertama dan juga satu-satunya di kabupaten Jayawi jaya sampai hari ini. Sekolah itu dibangun lengkap dengan 6 ruangan kelas. Kegiatan belajar mengajar layaknya Madrasah Ibtidaiyyah mulai digunakan bangunan baru ini.
Sumbangan mengalir dari mana-mana. Dari Jepang , Malaysia , Jakarta , Jayapura juga dari kota Wamena sendiri. Sumbangan berupa pakaian dan alat-alat perlengkapan sholat. Dari Jepang alat-alat sekolah seperti buku, pensil, penghapus dll. Kami siswa paling modern tapi juga paling lengkap untuk ukuran pedalaman Papua kala itu.
Mulai Sekolah
Tahun ajaran 1982 saya tercatat sebagai siswa kelas satu di Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Kami dikenalkan dengan pelajaran berhitung dan huruf latin oleh seorang guru putra daerah bernama Muhammad Ali Asso. Guru ini sebelumnya sudah belajar di Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura. Pak Guru Madrasah kelas satu ini sekaligus wali kelas kami. Dia kecam, kalau kami nakal, tapi cara mengajarnya mudah dicerna dan memahami. Dalam pembagian raport kenaikan kelas saya di catat sebagai juara kelas. Demikian setiap kenaikan kelas selanjutnya.
Tidak lama Pak Bashori dan Pak Walidan datang tahun 1980 di Walesi, beberapa guru bantuan datang lagi dari Jawa. Pak Guru Nur Hadi Waluyo adalah sarjana muda pertama guru kami datang tidak lama setelah Pak Walidan dan Pak Bashori. Praktis sekolah Islam dan Madrasah Ibtidaiyyah pertama dan satu-satunya di Wamena ini hampir semua gurunya adalah pendatang tidak ada lagi guru orang Papua asli selain Muhammad Ali Asso yang belakangan di pecat karena minum beer yang diharamkan dalam agama islam itu. Silih berganti guru-guru kami datang dan pergi hampir semuanya amber (pendatang) dan tentu wajib beragama islam.
Sistem pendidikan di Madrasah Merasugun diterapkan dua system pagi dan sore.. Kami belajar dalam system yang diberlakukan system semi pesantren. Pada pagi hari kami sekolah biasa. Pada sore hari kami belajar pelajaran agama Islam terutama belajar Al-Qur’an. Pada pagi hari kami sekolah sebagaimana biasa dengan kurikulum diatur Madrasah Ibtidaiyyah tingkat nasional oleh pemerintah. Tapi pada sore hari kami diwajibkan belajar mengaji Al-Qur’an. Kami belajar sistem pendidikan semi Pondok Pesantren sebagaimana dikenal umumnya berlaku di Jawa.
Setiap sore dibantu tenaga dari guru-guru negeri yang datang tinggal disini misalnya Pak Qomari dan Pak Mahmud Yahya, kami diajari ngaji (belajar Al-Qur’an). Mereka membantu Pak Bashori Alwi dan Walidan Mukhsin mengajar kami yang jumlahnya banyak silih berganti secara bergilir. Pak Qomari adalah seorang guru negeri yang dikirim pemerintah yang ditugaskan di SDN Kecamatan Kurima.. Dia berasal dari Madura. Dia dari kampungnya memang santri totok. Dia membantu Pak Bashori dan Walidan Mukhsin, membantu kami mengajar mengaji.
Banyak guru silih berganti datang di sekolah kami, Madrasah ini, termasuk guru negeri yang ditugaskan pemerintah untuk mengajar di sekolah Negeri dan Impres. Banyak guru pindahan datang tinggal mengajar di sekolah kami, Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Guru-guru dari negeri yang dikirim pemerintah sebagai bantuan IMPRES banyak lari dan lebih merasa at home, mengajar sekolah kami disini daripada sekolah pemerintah di pelosok jauh tempat lain Kabupaten Jayawi Jaya Wamena.
Pada kelas tiga selama enam bulan saya minggat masuk kelas, karena ikut teman berburu ke hutan, tapi oleh kepala sekolah saya tetap dinaikkan ke kelas empat. Padahal saya tidak ikut ulangan dan tidak masuk kelas selama setengah tahun (6 bulan). Kesadaran betapa pentingnya arti pendidikan sangat rendah disini. Kadang-kadang selama satu bulan kawan-kawan yang lain sama seperti saya, jarang datang ke kelas untuk belajar. Selama beberapa bulan bersama teman-teman sebaya keluyuran di hutan sekedar berburu kus-kus dan burung.
Ikut MTQ Nasional
Pada saat saya baru naik dari kelas lima ke kelas enam di kota Wamena diadakan lomba Misabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat Kabupaten. Pak Ustadz Bashori Alwi titip berita agar saya segera dating. Karena waktu itu sebagaimana biasa disini saya minggat tidak datang sekolah dan mengaji selama beberapa bulan lamanya. Dia titip pesan khusus segera, agar saya kembali masuk sekolah. Maksudnya agar saya mau dibina khusus pelajaran Al-Qur'an setiap ba'da sholat maqhrib selama beberapa minggu untuk mengikuti MTQ di Kota Wamena.. Selama beberapa minggu saya dilihat bagaimana bacaan qu’an saya, mulai dari tajwid-nya, makhrajulhuruf-nya, juga tajwid-nya.
Kami anak-anak dari Walesi sebenarnya dua orang peserta diutus untuk mengikuti lomba ini. Selain saya ada yang lebih tua dari saya. Dia sudah kelas 6, untuk tingkat remaja. Tapi kandas sampai di Wamena. Hanya saya yang lolos sampai ke tingkat Nasional mewakili Propinsi Papua nanti. Saya dan anak-anak usia sebaya mengikuti lomba MTQ, dan saya dinyatakan oleh dewan juri keluar sebagai jura satu. Saya senang karena banyak dapat hadiah termasuk tabungan uang BRI yang saya sendiri tidak tahu mengurusnya hingga bagaimana nasib hadiah uang itu hingga sekarang saya tidak pernah tahu.
Dulu Pak Jamaluddin Iribaram sendirian mengajar kami pelajaran agama Islam. Tapi pada tahun 1980 dua orang guru/ustadz dari Jawa, datang membantu mengajar kami mengaji Al-Qur’an dan sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Walesi. Kedatangan dua orang guru/ustadz khusus dari Jogjakarta ini bantuan Rabithah 'Alam Islami yang berkedudukan kantornya di Suadi Arabia itu, menerapkan pola pendidikan semi pesantren.
Pada pagi hari kami sekolah madrasah biasa, dan sore harinya ba'da maqhrib biasanya belajar mengaji Al-Qur'an. Demikian setiap sore di sini, menerapkan sistem pendidikan pagi sekolah Madrasah biasa dan sore di lanjutkan dengan mengaji Al-Qur'an. Karena itu alumni madrasah ibtidaiyyah Walesi tidak kalah sedikitpun dengan alumni Pesantren dalam hal mengaji Al-Qur'an terutama makhrojul huruf dan tajwidnya.
Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Desa Walesi, melahirkan alumni pertama tahun 1987, saya termasuk alumni ke-2 dari sekolah ini tamat tahun 1988. Bersama saya ada 6 orang siswa ikut ujian nasional. Banyak murid teman-teman kami yang tidak serius sekolah. Kesadaran pendidikan waktu itu sangat rendah, sehingga banyak siswa-siswi, teman-teman kami yang berhenti sekolah dan keluar-masuk secara tidak serius di sekolah Islam pertama di Wamena ini. Demikian ini sesungguhnya tidak hanya mereka yang lain tapi termasuk kami yang 6 orang ikut ujian lulus itu. Tapi hanya factor X kami masih sempat sampai ikut ujian nasional dan dinyatakan lulus.
Teman kelas kami yang perempuan semuanya di kawinkan oleh orang tua mereka. Demikian adalah suatu kebiasaan buruk yang saya kira masih berlaku sampai sekarang ini. Karena itu tidak heran jika sekarang ini, dari Walesi tidak ada mahasiswi atau lulusan SMA, adalah kenyataan pahit pola kebiasaan lama orang tua di kampung kami di Walesi yang masih berlaku. Sebab ada tradisi (kepercayaan) orang tua menganggap bahwa perempuan adalah lambang kesuburan, sehingga dipertahankan untuk tidak pergi merantau jauh.
Pada saat naik ke kelas 6 saya masih belum serius sekolah. Pada suatu hari, karena saya tidak sekolah beberapa hari sebelumnya saya dicari oleh guru kepala sekolah yang merangkap guru mengaji. Tujuan Kepala Sekolah yang bernama Pak Bashori Alwy itu agar saya dilatih qiro’ah pada seorang Qori asal Ternate di kota Wamena.
Saya diantar Pak Bashori setiap sore datang turun-naik ke Wamena kota dari Walesi sekitar 6 kilo arah selatan dari Wamena. Saya masih ingat seumur-umur naik motor pertama bersama Pak Guru ini duduk miring-miring. Padahal jalan Walesi-Wamena saat itu belum diaspal dan berkelok-kelok. Demikian juga pengalaman paling pertama saya dibelikan sikat gigi dan odol untuk gosok gigi yang hasilnya gigi saya berdarah-darah. Saya juga dibelikan sandal swallow dan saya kira pengalaman paling pertama saya mengenakan alas kaki. Kejadian itu semua terjadi pada tahun 1986 kala itu.
Selama beberapa bulan dari minggu-keminggu menampakkan hasil dan kemajuan mengaji saya. Soal suara saya sudah ok, tajwid, maqhroj juga ok, tartil qur’an juga ok, tajwid juga sudah ok, tapi yang dilatih agar saya benar-benar bisa kuasai adalah irama lagu-lagu bacaan Al-Qu’an. Selama beberapa minggu saya dikarantina untuk dilatih terus-menerus dirumah Kasubdolog Jayawi Jaya. Dan hasilnya alhamdulillah saya sudah menguasai bacaan qiro'ah mulai bayati : qoror, nawa, jawab, jawabul jawab, nahawand, sika, jiharka dalam berbagai versi bacaan seperti misri, turky dll dalam bvebera surat Ayat Al-qur’an. Beberapa surat saya menghafal mati diluar kepala karena sering diulang-ulang.
Saya kemudian diberangkatkan ke Jayapura diantar oleh seseorang yang saya belum kenal, tapi dia ditugaskan agar mengurus segala tetek bengek keperluan saya.. Selama di Jayapura saya dipertemukan dengan para qori senior yang pernah mewakili Papua ditingkat nasional. Mereka menjadi pelatih ditingkat propinsi, difasilitasi oleh Pemda agar mendidik qori’-qori’ah yunoir seperti saya.
Mereka oleh Pemda diberi tinggal berupa rumah tepatnya di LPTQ Kota Raja sekarang ini. Disana saya ketemu dengan Ustadz Hasan Basri asal Serang Banten dan Wahidin Purada dari Kaimana, Fak-Fak (kini Bupati Fak-Fak). Mereka dua adalah pelatih saya pertama dari propinsi. Karena pindah pelatih hafalan saya lagu-lagu dari Wamena agak menjadi kacau.
Saya di latih dan tinggal di rumah pak Wahidin Puarada. Saya diperlakukan dengan istimewa sama Qori Nasional asal Kaimana Papua itu. Selama beberapa minggu saja saya di Jayapura, beberapa hari lagi saya harus berangkat ke Kabupaten Nabire untuk mengikuti MTQ tingkat Propinsi Papua (waktu itu Irian Jaya). Saya mewakili Kabpupaten Jayawi Jaya di even tingkat propinsi di Nabire ini. Tapi karena saya satu-satunya putra daerah dan memang dipersiapkan sejak awal, maka untuk mengikuti tingkat Propinsi itu saya sudah duluan di latih pelatih tingkat Propinsi.
Hasilnya saya menang dan keluar juara satu untuk tingkat anak-anak.Banyak orang memberi semangat dan gembira saya menang. Banyak petinggi propinsi yang beragama Islam senang pada saya, karena saya muallaf juga masih anak-anak tapi juga orang asli Papua adalah sejumlah pertimbangan mengapa saya banyak di gembirai umat islam Papua kala itu termasuk juga oleh para pejabatnya di tingkat propinsi.Setelah selesai even di Nabire saya di bawa pulang membawa kemenangan dengan berbagai hadiah, tapi tidak ke Wamena, kampung saya tapi saya di bawa ke Jayapura. Ternyata saya sudah ditangani dan dipersiapkan untuk mengikuti MTQ tingkat Nasional di Bandar Lampung.
Sejak pulang dari Nabire saya dilatih oleh para pelatih tingkat Propinsi, tapi tidak segiat dan seserius di Wamena dulu. Disini saya dianggap sudfah bisa atau kalau dilatihpun iramanya beda dari pelatih saya pertama di Wamena sehingga hafalan saya menjadi kacau balau. Tidak berapa lama kami peserta rombongan (kafilah) Irian Jaya (IRJA), yang terdiri dari para pejabat Pemda Propinsi dan rombongan Qori-Qoriah berbagai tingkatan itu tiba di Jakarta pada malam hari, dari berangkat jam lima pagi Bandara Sentani Jayapura menggunakan pesawat Garuda Airways. Dari Bandara Cengkareng kami menuju kota Jakarta untuk transit beberapa lama di Royal Hotel di Jalan Gajah Mada. Beberapa hari saja di Royal Hotel besoknya kami lewat darat menuju Merak Banten untuk diteruskan ke Bakahuni Lampung.
Di lampung kami diberi tempat oleh panitia tuan rumah di APDN, kota metro Bandar Lampung. Disni kafilah Papua tinggal sederetan dengan kafilah dari Kalimantan Selatan. Terus terang saya tidak di dampingi oleh orang-orang dari Kabupaten Jayawi Jaya tapi dengan orang-orang baru saya kenal dari Propinsi. Tapi hanya beberapa hari saja bersama rombongan orang-orang yang mendampingi saya dari berbagai kota Kabupaten Papua, kami sudah saling akrab satu sama lain.
Saya orang Papua Asli menjadi perhatian utama peserta MTQ dari berbagai Propinsi Indonesia. Di Lampung saya hanya juara harapan dua untuk tingkat anak-anak. Selesai itu saya bersama rombongan pulang ke Papua dan sebagai duta yang membawa nama baik daerah. Untuk itu kami di pertemukan dengan Gubernur Isak Hindom.
Selanjutnya diantar Ustadz Wahidin Puarada saya pulang ke Walesi. Di sana sudah banyak orang kumpul menanti kami (saya dan Pak Wahidin Puarada). Rupanya mereka menunggu kedatangan kami sejak dari tadi. Mereka adalah orang-orang yang sudah saya kenal, ya keluarga besar muslim kampung Walesi, diantaranya orang tua asuh yang membesarkan saya dulu (keluarga dekat almarhum ayah saya). Mereka berkumpul persis dihalaman depan sekolah (MI) Merasugun Asso Walesi.
Dihadapan mereka saya diberi waktu untuk ceritera tentang perjalanan saya selama 6 bulan ikut Musabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ), dari tingkat Kabupaten-Propinsi sampai Nasional di Bandar Lampung. Saat itu saya belum biasa bicara dihadapan banyak orang, saya kaku, tidak bisa, malu. Tapi mereka sangat senang saya membawa pulang prestasi atas nama kampung Islam baru ini. Terutama Ustadz Bashori ALwy, beliau sangat senang muridnya bisa sampai mewakili Papua sampai ke tingkat Nasional.
Orang tua, terutama Paman saya bangga dengan kepulangan saya dengan beragam hadiah. Dia sangat puas dengan hasil perjalanan saya. Saya tahu itu tapi saya bersikap biasa pada saat pertama tiba disini, karena banyak orang, malu.. Banyak saudara-saudara dan para orangtuaku di kampung ini menanti dengan gembira akan prestasi saya mewakili mereka di tingkat nasional berjumpa kembali disini setelah perjalanan saya selama 6 bulan meninggalkan mereka di Kampung Walesi.
Saya sudah banyak ketinggalan pelajaran. Esok harinya saya sudah harus ikut persiapan Ebta dan Ebtanas. Terus terang untuk itu saya tidak siap. Saya banyak sekali ketinggalan pelajaran selama setengah tahun lamanya. Saya pergi selama 6 bulan, bukan waktu yang sedikit tapi itu berarti selama setengah tahun. Saya sudah banyak tidak mengikuti mata pelajaran yang akan di ujikan ditingkat nasional. Karena itu beratnya bagi saya bahwa tidak lama pulang ke Welesi, kampung halaman dari perjalanan panjang, sudah harus ikut ujian nasional. Tapi alhamdulillah saya akhirnya juga tetap lulus ujian lokal, Madrasah, maupun ujian nasional sekaligus.
Beberapa minggu saya tiba Walesi tidak begitu lama pecah perang suku antara Walesi dan Woma di satu pihak dan Kurima dan Assolokowal pihak lain. Pada waktu itu kami di jemput dengan kawalan seorang polisi dengan senjata lengkap dari Walesi turun ke kota Wamena sekitar 6 km jaraknya. Dari 6 orang anak siswa yang lulus angkatan ke- II lulusan Madarasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi, hanya 4 orang saja, dua orang dilarang oleh orang tua mereka.
Berangkat ke Jawa
Kami dari Wamena diantar oleh Abdurrahim Jumati. Dia orang Ternate , tinggal lama dan berda’wah di Wamena sebagai pegawai pemda. Kini beliau sebagai ketua Islamic Centre kabupaten Jayawi Jaya Wamena. Dalam kapasitasnya itu beliau dari Wamena bawa datang kami dan mengantarnya sampai di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Dari Wamena untuk keluar satu-satunya alat transportasi hanya udara. Mula-mula tiga orang teman saya baru merasakan naik pesawat, sampai ada yang teriak ketakutan karena pesawat oleng sedikit menghindari gunung emas Watikam sambungan dari Cartens yang kini diambil oleh Freport itu.
Kami tidak langsung berangkat ke Jawa tapi tinggal di APO kali depan Polda, Jayapura. Tempat kami ditumpangi pemilik rumahnya orang Ternate , mungkin masih kelurga Paitua disini. Kaka-kaka kami yang dulu tahun 1978 didatangkan ke jayapura untuk sekolah di Panti Asuhan Muhammadiyah Abepura dan Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura kota datang melihat kami, hanya untuk sekedar menanyakan keadaan orang di kampung, ada juga titipan surat buat mereka dari orangtuanya, tapi juga diantara kami salah satunya adalah adiknya.
Mereka dikirim ke Jayapura begitu Islam pertama masuk di kampung kami Assolipele Walesi. Jumlah mereka semuanya 20 orang anak. Untuk pertama kalinya sejak kami masih kecil dikirim ke Jayapura dari Walesi baru datang melihat kami disini sudah besar. Diantara mereka sudah banyak yang tidak melanjutkan pendidikan sebagaimana harapan orang tua dikampung dulu. Ada yang masih sekolah tapi kendala utama mereka sekolah di sini kelihatannya usia dan bahasa. Soal bahasa kelak sebagaimana akan kami alami nanti di Jawa sama. Kami disini tidak lama, hanya beberapa minggu saja di Jayapura. Dalam pada itu pengantar kami sudah membooking ticket sambil komunikasi dengan pihak Pesantren di Bogor kapan kami sudah mulai naik KM Umsini dan akan tiba di Tanjung Priuk.
Minggu selanjutnya pada malam hari kira-kira jam 22.00 WIT, dibawa antrian banyak orang kami datang ke pelabuhan untuk mengantri naik kapal. Ternyata kami baru pertama tahu, dipelabuhan malam itu manusia berjubel berebut naik kapal untuk mendapatkan tempat tidur di class ekonomi, adalah pemandangan biasa kala itu di kota Jayapura. Malam itu banyak manusia antri naik kapal dibawah penjagaan ketat tentara. Kapal putih besar ini semua kami juga pengalaman pertama kalinya. Walaupun sebelumnya dari Merak ke Bakahuni saya sudah pernah naik kapal laut tapi ukuran kapal penumpang ini sangat besar dan hanya menumpang manusia.
Kami mulai meniggalkan daratan Papua lewat laut menuju Pulau Jawa. Itulah pada mulanya kami diberangkatkan di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Rupanya pilihan dan undangan sekolah disini dipesan oleh Wapres RI pada waktu itu, Sudharmono. Rupanya pada waktu saya datang ikut MTQ di Bandar Lampung dulu (dua bulan sebelumnya), acara penutupannya di lakukan oleh Wapres RI , Sudharmono. Kemudian banyak peliputan dan tersiar berita di berbagai media massa pada waktu itu tentang berbagai hal tentang kami, Kafilah asal Irian jaya. Termasuk berita itu mungkin juga keikutsertaan saya lebih banyak tentang darimana lingkungan kehidupan masyarakat saya berangkat..
Karena itu masuk akal. Mungkin ada yang kastau dan sampai ke telinga Wapres RI , bahwa saya satu-satunya peserta dari Papua Asli, juga dari komunitas muallaf (daerah baru Islam berkembang). Beliau selaku pemimpin nasional, wajar karena itu tergerak hatinya, agar saya dan kawan-kawan berkesempatan belajar disini (pondok Pesantren Al-Mukhlisin). Ini terbukti kami ketahui belakangan bahwa beliau sponsor utama Pondok Pesantren Al-Mukhlisin yang pemiliknya adalah staf pribadinya sendiri Bapak Haji Zainal Abidin. Karena itu ketika kami tiba pertama di Pondok Pesantren yang letaknya arah barat diluar kota Bogor ini, kami di pungut langsung sebagai anak angkat oleh sejumlah pejabat dari Sekretariat Negara RI.
Tiba di Tanjung Periuk
Kami menginjakkan kaki pertama di Tanah Jawa pada bulan Agustus tahun 1988 di Tanjung Priuk. Itu berarti untuk tiga orang kawan saya paling pertamakali menginjakkan kaki di sini ( Jakarta ). Kami berangkat dari Jayapura menggunakan kapal laut dengan KM Umsini. Perjalanan cukup lama dengan memakan waktu satu minggu. Lama-lama diatas kapal laut membosankan, apalagi makanannya tidak enak. Walaupun di atas kapal ada hiburan, kami orang baru, disamping itu ada pengantar yang terus mengawasi, agar kami tidak hilang, terus membatasi.
Begitu tiba di pelabuhan Tanjung Priok sudah ada jemputan. Kami tiba pada sore hari disini. Ternyata kami termasuk santri teristimewa, karena langsung di jemput oleh Kiay, pimpinan Pondok Pesantren, tempat dimana kami akan belajar didalam pola pendidikan system asrama yang semi militer peraturannya. Hal demikian tidak sama sekali dialami pelajar lain yang berasal dari berbagai daerah Indonesia itu. Disni misalnya ada santri asal Timor , Maluku, Sulawesi , Kalimantan Sumatra, Jawa, Madura dan Aceh Darusslam.
Dari Tanjung Priuk kami dibawa langsung ke Pondok Pesantren Ciseeng Parung Bogor, Jawa Barat pada waktu sholat maqrib tiba. Sehabis sholat maqhrib berjama’ah bertempat di Mesjid kami diperkenalkan kepada seluruh santri dan santriwati yang jumlah ribuan anak. Kami disuruh maju satu-satu dari empat orang untuk memperkenalkan nama oleh Pimpinan Pondok kepada kawan-kawan baru kami dan seluruh staf pengajar Pondok.
Pengantar kami sudah bicara duluan kepada pimpinan Pondok bahwa makanan pokok kami di Wamena Papua bukan nasi. Karena itu masa-masa awal kami di Pondok tidak makan bersama di dapur umum tapi dikhususkan makan dirumah Kyai. Untuk kami makan disediakan makanan ubi. Ibu dapur Pondok selalu sudah harus belanja bersama makanan yang diperuntukkan buat kami siswa/santri dari Papua. Demikian tugas itu sebagaimana yang diamanahkan Pimpinan Pondok. Ibu dapur selalu membeli makanan khusus buat kami dari Papua yaitu ubi jalar yang juga banyak terdapat di kota Bogor.
Tapi ubi jalar sebagaimana makanan pokok kami di Wamena lain rasanya dengan yang tumbuh di Bogor yang terkenal subur itu. Ubi di Jawa rasanya manis tapi tidak mengenyangkan. Tapi ubinya juga kecil-kecil tidak seperti di Wamena. Ubi Wamena Papua makan pagi bisa bertahan sampai malam hari. Tapi ubi disini buat kami banyak kentut, juga bau, karena serbelumnya di Jayapura dan dalam perjalan diatas kapal kami sudah makan nasi.
Pertama di Pesantren
Penerimaan siswa-siswi baru, sesuai jadwal Depdiknas RI sudah lewat beberapa minggu lalu. Kami terlambat tiba disini. Kami dari Papua boleh langsung sekolah bersama kawan-kawan dari Pondok yang sudah lebih awal masuk sekolah. Soal pendaftaran dan lain-lain sudah diatur oleh pihak Pondok. Saya ingat persis pertama masuk sekolah, sebagaimana biasa, sebagai siswa baru kami memperkenalkan diri kepada teman-teman didepan kelas. esok hari kami masuk sekolah formal bersama kawan-kawan yang sudah lama disini.
Disini menerapkan system pendidikan Islam dan umum sekaligus. Pada pagi hari kami sekolah formal, SMP Islam Al-Mukhlisin. Pada sore hari kami belajar khusus program pesantren, Madrasah Diniyah (“Sekolah Agama”) terdiri dari : Diniyah Ula (setingkat SD), Diniyah Wustho (setingkat SMP), Diniyah ‘Ulya (seingkat SMA). Demikian nama-nama sekolah di Pondok kami menyebutnya. Tapi di Pondok lain penyebutan sekolah program khusus Pondok tidak selalu sama. Misalnya ada yang menyebutnya dengan Ribathiyyah. Malah ada digabung secara integral sehingga yang ada hanya satu yakni Madrasah diniyah.
Kami pertama masuk diniyah Wustho. Pagi SMP dan sore Wustho. Madrasah Diniyah Wustho lebih banyak hafalan. Terutama Al-Qu’an, Hadits, Mahfudhot. Demikian juga bahasa Arab, Shorof dan Nahwu. Kurikulum sekolah sore sepenuhnya adalah sekolah Islam sebagaimana berlaku umum diberbagai Pondok Pesantren umumnya di Indonesia.
Sistem belajar disini sebenarnya tidak terlalu beda dengan system di kampung dulu Walesi. Tapi bedanya disini lebih kompleks fasilitasnya, juga termasuk tenaga pengajar. Kecuali itu, di Pesantren ini menerapkan jadwal kegiatan santri sejak dari bangun pagi sampai kembali wajib tidur jam 10 malam adalah sesuatu yang tidak kami dapati di Walesi.
Siswa sekolah disini ada yang mukim di Pondok dan yang lain pulang-pergi dari rumah orang tua. Yang bermukim di Pondok Pesantren utamanya siswa dari luar kampung disini. Hanya orang-orang jauh seperti halnya kami. Tapi ada juga tidak terlalu jauh rumahnya yang mukim di Pondok khusus Panti. Kami dari Papua dimasukkan dalam kategori santri Panti.
Soal tengek-bengek bayaran sekolah diurus oleh ketua Panti Pondok. Ketua Panti adalah pemilik Pesantren sendiri, Haji Zaenal Abidin, staf pribadi Wapres RI , Sudarmono. Hal ini menyangkut biaya pendidikan dan biaya hidup di Pondok yang lumayan mahal. Mula-mula kami 4 orang siswa asal Papua ini diambil anak angkat oleh sejumlah pejabat dari Setneg (Sekretariat Negara RI). Tapi bersamaan dengan mereka pensiun perhatian menjadi mengurang.
Belajar sekolah diniyah kami dari Papua tidak terlalu ketinggalan, sebagaimana di sekolah umum pada pagi hari. Sekolah diniyah pada dasarnya sama atau kelanjutan dari Madrasah Ibtidaiyyah dulu. Bedanya hanya banyak hafalan misalnya: Al-Qur’an, Hadits dan Mahfudhot (kata mutiara Arab) malah lebih utama hafal, kalau dapat beberapa surat dari ayat Al-Qur’an. Disini lebih padat muatan agama.
Kurukulum diniyah meliputi pelajaran: Hukum Islam (ibadah Syari’ah), Aqidah, Akhlaq, Nahwu, Shorof (tata bahasa Arab), Tafsir, Hadit, dan Bahasa Arab adalah beberapa contoh saja mata pelajaran di sekolah diniyah di Pondok ini. Tenaga pengajar lebih banyak dan kadang menggunakan bahasa Arab dalam pengajarannya. Karena itu belajar dan sekolah sore adalah biasa bagi kami dari Walesi, ketimbang betapa berat menyesuaikan diri disekolah formal pada pagi hari. Sebab kelanjutan dari system sekolah kami di Walesi dulu lebih banyak persamaan dengan sekolah diniyah wustho di Pondok Pesantren ini daripada sekolah formal pada pagi hari di SMPI Al-Mukhlisin.
Pondok Pesantren Al-Mukhlisin saat kami tiba pertama belum punya Tsanawiyyah dan Aliyah. Hanya ada SD, SMP dan SMA dengan ditempeli nama Islam dibelakangnya. Setelah beberapa tahun kami disini program Madrasah Aliyah diadakan.. Tapi Tsanawiyyah tetap belum ada saat kami lulus tinggalkan Pondok ini pada tahun 1994. Kami otomatis sekolah SMP, adalah halangan tersendiri, atau agak berat buat kami menyesuaikan dengan bobot pendidikan umum yang kami belum terlalu biasa. Nilai pelajaran matematika, Kimia, Fisika saat ulangan, saya di ponten bukan lima tapi 4 oleh guru SMP. Saya dan menyadari betapa kami siswa paling bodoh dikelas saat pertama sekolah disini.
Masa-Masa Sulit di Pesantren
Mereka di sini (Jawa Barat), sekolah dengan fasilitas dan kurikulum modern sesuai aturan pendidikan nasional. Sementara kami, dari pedalaman Papua, sudah pasti berat sekali menyesuaikan diri dengan system pendidikan di Jawa yang sudah standar nasional sebagaimana juga berlaku di kota-kota besar Papua, Jayapura misalnya. Tapi Kami dari Walesi, dari pelosok pedalaman, sekolah saja kami kadang minggat beberapa bulan baru datang masuk kembali, adalah pengalaman belajar di pedalaman Papua dulu.. Tapi disini, system pendidikan standar nasional dengan tingkat disiplin cukup tinggi.
Ada satu hal lagi yang berat bagi kami adalah menyangkut bahasa. Bahasa Indonesia kami terus-terang menjadi halangan tersendiri belajar di Jawa pada waktu pertama kami tiba. Kami di Walesi diajar dengan bahasa Indonesia , tapi kami tidak terlalu biasa menggunakannya dalam hidup sehari-hari. Bahasa Indonesia kami waktu itu masih pasif. Belajar disini diajarkan dengan bahasa Indonesia juga tapi dalam pergaulan sehari-hari lebih banyak menggunakan bahasa Betawi, karena mayoritas siswa anak-anak Jakarta. Semua itu adalah halangan tersendiri kami dalam belajar menyesuaikan diri disekolah formal.
Kami siswa 4 orang asal Papua ditempatkan lain-lain kelas agar cepat berbaur dengan kawan-kawan dari daerah lain. Pertama masuk kelas banyak teman menawarkan duduk sebangku. Tapi dari beberapa teman, saya memilih duduk satu bangku dengan teman Pondok yang bergaul paling akrab dengan saya namanya, Yayat Suyatna. Teman ini belakangan saya ketahui salah satu siswa terpandai di kelas kami. Dia selalu juara kelas kalau tidak ke-1 urutan ke-2. Hampir semua siswa dari Pondok menjuarai ranking kelas pada saat kenaikan kelas di seklah formal SMP.
Pada awal masuk kelas saya satu-satunya teman mereka paling unik. Sebahagian datang pegang-pegang rambut saya, ada yang takut-takut, ada yang tanya ini itu biasa pada susuatu hal asing dan baru bagi mereka. Saya senang pada mereka. Malah ada yang nonton saya, macam TV, maklum teman baru mereka paling asing dikelas. Selain masuk akal karena saya teman mereka satu-satunya yang lain rambut dan kulit. Saya diperlakukan oleh guru dan juga teman-teman agak istimewa. Mereka ingin berteman dan bergaul dengan saya secara akrab. Hal itu juga mungkin teman lain siswinya, tapi saya tidak boleh terlalu berlebihan, sebagaimana aturan pembatasan Pesantren.
Kami di kelas dari Papua menjadi sorotan banyak teman termasuk guru-guru tapi sangat menyayangkan kami dari Papua tidak terlalu pandai sebagaimana yang mereka harapkan. Saya merasa siswa paling bodoh dikelas waktu itu. Saya dan juga teman lain disini, kami ada beberapa, termasuk siswa paling bodoh. Sebagaimana dapat diduga dari awal bahwa nilai kami siswa asal Papua jeblok semua.
Saat pembagian raport saya ranking 47 dari siswa 47 jumlah semua siswa kelas. Nilai saya hampir semua angka merah, bukan diponten 5 tapi juga ada yang 4. Nilai saya paling tinggi diponten 6, semuanya merah alias diponten 5 dan Fisika di ponten 4 dalam raport. Tapi saya dan satu teman Papua lagi masih beruntung karena pihak dewan sekolah rapat dan memutuskan kami naik kelas dua, tapi dua teman kami dari Papua yang lain dinyatakan tidak naik kelas alias tahan kelas.
Demikian awal-awal kami sekolah di Pesantren Pulau Jawa. Pada saat masih duduk dikelas dua SMP pun kami masih yang paling terbelakang, goblok! Padahal hal demikian bodoh ini tidak kami alami di sekolah sore (diniyah). Dapat dibayang disamping cultur, sistem pendidikan di Jawa lebih maju ketimbang kami di Papua. Proses adaptasi berlangsung selama satu tahun. Pada saat naik kelas tiga SMP, kami sudah dapat menyesuaikan diri sedikit. Terbukti tugas karangan pelajaran Bahasa Indonesia sanggup kami kerjakan.
Kami lulus SMP tahun 1991, dan melanjutkan di Madrasah Aliyah yang baru dibuka. Di Aliyah setingkat SMA itu kami sudah biasa dalam artian dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman lain disini, malah ada beberapa pelajaran misalnya bahasa Arab, teman-teman, terutama dari kampung sekitar yang tidak mukim di Pondok, datang duduk dekat kami agar dapat menyontek.
Sejak pertama kami datang dan masuk di Pesantren kami menjalani hidup sebagaimana peraturan sudah ada sebelumnya, sama dengan kawan-kawan lain yang sudah lebih dulu ada disini. Kegiatan pesantren sangat padat dengan dengan jadwal yang ditata secara rapih. Kami semua harus mentaatinya, tidak boleh ada yang melanggarnya. Jika melanggar sanksi mulai dari hafalan, botak, kerja bakti, sampai yang paling berat kalau pelanggarannya maka sanksinya siswa bersangkutan diserahkan ke orangtuanya alias dikeluarkan dari Pesantren.
1). Dunia Pondok Pesantren
Pag-pagi sekali semua santri baik pria maupun perempuan, istilah dunia pesantrennya Santriwan dan Santriwati, harus bangun jam 05.30 WIB untuk sholat subuh berjamaah. (Jika tidak bangun sholat subuh bersama hukumannya agak lebih berat, tapi kalau susah bangun kadang disiram oleh petugas yang membangunkan pagi yang dituskan secara bergiliran dari santri sendiri). Ba’ada sholat subuh kegiatan di lanjutkan dengan Program Bahasa Arab dan Inggris selama beberapa jam. 07.00 di kelas. Sesudah itu pagi membersihkan kamar masing-masing, bagi yang diserahi tugas sesuai jadwal nama harus menyapu dan mengepel kamar.
Kemudian dilanjutkan dengan mandi, makan dan mempersiapkan diri dengan segaram masuk sekolah formal. Dari jam 08.00 wib, kami masuk sekolah formal, belajar sampai jam 12 siang, semua santri wajib ikut sholat dhuhur berjama’ah di Masjid. Setelah itu makan siang jam 13.30 wib. Kembali masuk sekolah sore (Madrasah Diniyah) sampai selesai keluar jam 14. 30 wib sholat Ashar berjama’ah di Masjid.
Ba’da Ashar pada sore hari wajib olahraga. Meliputi sepak bola, Folly Ball, Tennis Meja, Pimpong dll. Tapi jam 17. 30 santri wajib harus sudah ada di dalam mesjid membaca Al-Qur’an sampai waktu sholat maqhrib tiba. Ba’da maqrib semua santri wajib belajar program Takhassus Qur’an yakni program Pondok Pesantren misalnya kitab kuning, qiro’ah, takhassus Qur’an, singkatnya belajar mengaji tapi berbagai tingkat mulai dari yang dasar sampai yang tertinggi belajar kitab kuning bagi yang menguasai tata bahasa Arab dasar (shorf, nahwu, atau kitab jurumiyah).
Belajar malam sampai waktu sholat isya dating shilat berjama’ah, tapi ada sebahagian terutama kelas tinggi sampai kelewatan belajar jam sholat isya lewat. Kemudian waktu makan malam dari jam 22.00 wib sampai jam 22. 30 wib belajar di masing-masing ruang belajar yang disediakan. Belajar ini namanya muthola’ah (mengulang kembali pelajaran di sekolah maupun pelajarn diniyah yang banyak hafalan. Jam 10 malam semua santri sudah haruis tidur untuk kembali bangun pagi-pagi lagi.
Tapi pada hari malam jum’at santri semua santri di wajibkan secara bersama membaca surat Yasiin, tahlil, dilanjutkan membaca barzanzi (sholawat pada Nabi) di masjid. Tidak ada kegiatan lain pada malam itu (pada malam ini makannya selalu pake daging ayam, ada teman yang ingin cepat-cepat selesai agar berebutan lebih dulu dapat jatah makan dengan paha ayam atau sayap adalah suatu kelucuan tersendiri hari-hari kehidupan di Pondok).
Kemudia pada pagi harinya senam pagi, dilanjutkan dengan bersih-bersih lingkungan secara bersama sampai jam 09.30 wib. Usai itu santri punya waktu memcuci pakaian sendiri dan kegiatan lain-lain sampai waktu sholat Jum’at tiba. Hari Jum’at adalah hari libur Pesantren. Santri-Santriwati lebih banyak menggunakannya untuk mencuci pakaian sendiri yang sudah ditampung dua-tiga hari sebelumnya.
Setiap sabtu dan minggu ba’da subuh semua santri wajib ikut mengaji kitab kuning bersama di masjid. Kitab yang digunakan namanya “Al-Ushfuriyyah”, “Nashoihul Ibad”, yang isinya lebih banyak tentang nasehat dan keutamaan akhlaq mulia seorang santri hidup ditengah masyarakat dan untuk dipraktekkannya. Biasanya kitab di baca Kyai atau Ustadz, santri memberi harokat, lalu mencatat tafsirannya di pinggiran kitabnya.
Kitab kuning tertulis huruf Arab dan bahasa Jawa. Hurufnya tertulis dalam bahasa Arab huruf gundul (tanpa tanda baca, harokat). Namanya hurufnya disebut pegon atau jawi. Mungkin demikian diajarkan diseluruh Pondok Pesantren di seluruh Jawa. Kitab kuning merupakan program andalan di Pondok Pesantren. Bisa membacanya merupakan suatu keistimewaan. Tapi sekolah modern seperti kami dengan padat kegiatan lain, maka dengan sendirinya program pondok menyebabkan tersingkirnya belajar menguasai kitab khusus di Pondok ini.
Kembali pada jadwal pondok, bahwa pada malam hari ba’da isya tatakala kami belajar latihan pidato (muhadhoroh) di mesjid diadakan pengajian bersama kaum bapak dari sekitar lingkungan Pondok. Kemudian pagi harinya sampai jam 11.30 wib mesjid diisi pengajian umum kaum ibu (majlis ta’alim). Kami semua santri libur pada hari itu, tapi pada malamnya ada latihan muhadhoroh (latihan pidato) dan acara hiburan lainnya, karena itu hari minggu hari penting bagi kegiatan pondok untuk masa depan kami berdiri dihadapan masyarakat umum.
Pagi diadakan olahraga lari pagi keluar Pondok sampai jam 09.00 wib, kembali kepondok untuk istirahat makan dan lain-lain. Habis makan latihan Dram Band dan Mercy Band. Kami dari Papua satu anakpun tidak ada yang ikut kegiatan ini. Kami memanfaatkan waktu libur ini kelur Pondok untuk mengenal lingkungan sekitar. Pada hari minggu, waktu libur Pondok santri boleh keluar tapi harus izin dan ketat. Kami santri Papua kadang jalan sampai ke Kali Cisadane untuk mandi-mandi, kadang ke Gunung Menara di Putat Nutug (gunung tertinggi daerah itu).
Kadang juga kami jalan sampai ke kampung-kampung yang jauh di daerah Rumpin, Ciampea, Cibogo, Cibentang, Putat Nutug, dan Cibentang Bogor (semua nama daerah sekitar tidak jauh dari Pondok) dan pulang dengan membawa pepaya, singkong, kelapa dll pemberian orang kampung. Tapi semua santri wajib ada di Pondok dan 15 menit sebelum adzan dikumandangkan sudah harus membaca al-qur’an di Masjid. Demikian rutintitas kehidupan di Pondok Pesantren Al-Mukhlisin terus menerus kami jalani selama tiga tahun awal di Pesantren kelas satu sampai tamat SMP.
2). Rindu Kampung Halaman
Selama beberapa waktu lama kami ikuti semua kegiatan Pondok ini, lama kelamaan menjalani rutinitas demikian padat sangat membosankan dan membuat kami tidak betah tinggal di Pondok ini. Kejenuhan terjadi kira-kira 6 bulan pertama kami tinggal di Pondok ini. Menjalani rutinitas Pondok lama kelaman adalah membosankan dan membuat kami sudah tidak betah tinggal di Pondok ini. Hal itu semakin diperparah lagi oleh kerinduan pada orang tua dan kampung halaman untuk berjumpa kembali dengan sanak family. Kami rasanya sudah lagi tidak betah disini, tempat sangat jauh dari nanak kelurga, saudara-saudara kami di Walesi Wamena Papua.
Awalnya biasa tapi teman dua orang tidak naik kelas sekolah formal tahun pertama kami sekolah disini semakin kami sudah tidak betah. Dua kawan prustasi akhirnya, ada yang mogok kembali ke sekolah formal. Pada awalnya kami menjalani hidup dengan biasa tanpa ingat siapa-siapa. Tapi setelah 6 bulan sampai menjelang mau satu tahun, jujur saya merasakan kerinduan yang sangat amat dengan kampung halaman dan sanak family.
Waktu itu komunikasi dengan keluraga/orang tua dikampung Walesi Wamena nun jauh sana hanya lewat surat kantor pos. Itupun surat kami atau mereka sampainya dengan jarak waktu berbulan-bulan. Berita yang kami terima suatu kejadian di Kampung berita basi, sudah beberapa bulan lewat baru kami tahu kejadian itu. Misalnya temana saya ada keluarganya meninggal, kami tahu setelah kejadian itu beberapa bulan kemudian.
Karena semua itu, hanya, kami sangat rindu dan malas, sangat malas, hidup terus begini. Lamunan kerinduan untuk berkumpul kembali dengan handai taulan di kampung benar-benar membuat kami tidak betah tinggal di sini, di Pondok ini. Tapi bagaimana kami bisa kembali pulang untuk berkumpul lagi dengan orang tua dan handai tauland di kampung? Tidak ada jalan! Satu-satunya jalan datang pergi di belakang Pondok, di bawah pohon kelapa, melamun sambil memandangi arah matahari terbenam sampai waktu sholat maqrib tiba oleh suara pengajian dengan pengeras suara keras terdengar yang mengagetkan lamunan, menandakan santri harus sudah ada di mesjid sebelum 15 menit adzan di kumandangkan.
3). Pacaran dengan Orang Kampung
Hari demi hari betapapun kami bosan akan rutinitas Pondok dan kerinduan mendalam akan perjumpaan dengan keluarga sekaligus orang tua dikampung halaman.. Tidak ada yang lain, selain hasrat pulang kampong tidak tercapai. Dari hari-kehari terus berlalu disini tanpa tercapai kerinduan dan hasrat perjumpaan dengan orang tua yang mengasihi kami di kampung halaman. Kami tertawan disini, juga tidak ada jalan lain, selain hanya rasa kerinduan belaka tanpa pernah terwujud rasa rindu pada yang dirindui.
Waktu begitu terus berlalu, usia semakin bertambah membuat kami menjadi remaja-remaja yang menginjak usia pubertas. Dunia penuh keingintahuan seorang remaja dimana-mana, sebagai manusia beringstual lazimnya. Ada hasrat, biasa ingin bergaul dengan lawan jenis adalah suatu hal pantangan di Pondok. Terus terang di Pondok ini dan mungkin semua Pondok umumnya dimana-mana, pacaran adalah hal tabu, selain dilarang dalam agama Islam, jika ketahuan urusannya gawat, dikeluarkan dari Pesantren.
Kami dari 4 orang anak Papua, mungkin saya paling kecil tiba pertama di Pondok ini. Artinya kala itu saya belum baliqh (mimpi basah). Semua proses itu terjadi disini sejak beberapa saat tidak lama kami tiba di Pesantren Al-Mukhlisin. Dalam pesantren (lingkungan Pondok) pergaulan bebas apalagi lawan jenis sangat pantangan. Jangankan bicara lama-lama, untuk memadang lain jenis saja, sudah tidak boleh kalau bukan muhrim. Tapi kalau disekolah umum agak renggang aturannya. Hal itu dimungkinkan terjadi di bangku sekolah formal bagi anak santri Pondok.
Terus terang saya punya dua orang teman yang tidak pernah bisa lupa sampai sekarang ini. Yang satu teman mengaji pada sore hari, kami sama-sama anak Pondok. Dia teman saya pertama yanag saya naksir. Dia anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, namanya Neneng. Kami belajar mengaji sama-sama satu kelas ba’da maqhrib pada program takhassus Al-Qur’an. Mungkin dia akrab dengan saya karena kami sama-sama menyukai qiro’ah. Saya lebih biasa melagukan Al-Qur’an karena pernah jadi Qori nasional Papua. Dia menyukai suara saya melantunkan ayat-yat Allah dengan indah. Dalam makhrojul huruf, tajwid, murottal adalah sudah biasa bagi kami dari kampung halaman Papua. Dia selalu duduk dekat, setiap kesempatan memanggil, hanya sekedar untuk melagukan al-qur’an.
Yang kedua, namanya O’om, biasa nama panggilan orang Sunda. Dia orang Kampung dari Putat Nutug, Rumpin Utara, Bogor. Dia tidak mukim di Pondok sebagaimana Nenenga tadi. Orangnya tidak terlalu cantik, tapi hitam manis. Dia kadang duduk satu bangku dengan saya di Aliyah kelas satu. Apalagi kalau ulangan pelajaran bahasa Arab. Saya sebenarnya tidak tahu bahasa Arab, tapi dia menganggapnya bisa menjawab soal. Jika saya ada bicara dengan teman dia yang lain dia cemburu. Saya cepat ditariknya untuk jangan saya bicara dengan temannya.
Sungguh mengingat semua itu rasanya indah, sungguh begitu indah. Kata orang masa-masa sekolah adalah masa yang paling indah. Tapi itu hanya perasaan saya, padahal mungkin karena dia mau bisa mengaji. Saya merasakan tapi dia tidak merasakan atau …entahlah, tapi adalah sesuatu hal masa lalu yang tidak cocok diceriterakan disini.
Tapi ada satu hal seperti dijelaskan diatas tadi bahwa diluar sekolah formal (SMP, itupun tahun-tahun awal kami sekolah disini), memang kami sangat ketinggalan, ya, kami sangat bodoh dikelas, nilai rapurt angka merah semua. Dari 10 mata pelaran wajib nasional, 6 angka merah, hanya empat angkat ditulis dengan warna hitam. Rangking paling terakhir dari jumlah siswa kelas. Sampai dua orang teman Papua finyatakan tidak naik kelas. Hal demikian tidak sama dengan sekolah program Pondok. Kami anak.anak Papua, tidaklah terlalu ketinggalan. Apalagi sesudah kami memasuki tahun kedua dan ketiga, sebenarnya kami sudah dapat menyesuaikan dan dapat menerima pengajaran sekolah biasa sebagaimana kawa-kawan kami yang lain selain Papua.
Selama beberapa tahun di Pondok rasa rindu kampung halaman Papua nun jauh sudah tidak lagi ada, sahabat dekat lain belum lagi ada, di Pondokpun aturannya ketat untuk bisa membagi rasa rindu dan susah. Maka kami sering kaluar jalan-jalan di kampung sekitar. Disitulah saya dan teman juga dari Papua berkenalan dengan gadis-gadis Bogor. Mereka tinggal di kampung sebelah. Rumah mereka agak jauh tapi masih bersebelahan dengan Pesantren kami. Tiap hari minggu pagi hingga sore bahkan sampai malam kami sering datang pergi kesana.. Hal demikian tidak diketahui pihak Pondok, kalau tahu urusannya gawat. Ya, kami berpacaran. Sayang belakangan mereka sudah dipinang pemuda tetangga.
4). Juara Umum Takhasus Qur’an
Pada waktu diadakan class meeting, setelah kenaikan kelas, di Pondok diadakan lomba berbagai cabang, mulai dari pertandingan bola kaki, fola foly, dan lain-lain cabang olahraga antar kamar, juga di adakan MTQ, lomba azdan, Qiro’ah, murottal, dll. Pertandingan jenis pertama diadakan tentu saja secara beregu, kamar asrama dimana anak-anak Papua menghuni memborong semua hadiah dan piala perlombaan. Adapun jenis perlombaan kedua, saya dinyatakan keluar sebagai juara umum se Pondok Pesantren Al-Mukhlisin.
Demikian juga dalam pembagian raport baik di sekolah umum maupun Diniyah Pondok, nilai kami tidak seburuk masa awal kami datang kesini. Bahkan ranking sekolah diniyah prestasi anak-anak Papua lebih baik dan meraih prestasi secara kompetitif dengan kawan-kawan santri dari Jakarta. Saya sempat dicatat juara dua sekolah Diniyah Wustho (setingkat SMP, sekolah khusu Pondok). Demikian juga ada teman Papua yang otaknya boleh diandalkan, dia pintar, namanya Muslimin Yelipele. Dia anak yang pintar, salah satu anak Papua, tapi orangnya pendiam, kurang euphoria sebagaimana kepribadian saya, terkesan riya’ dan takabbur, seperti saya lakukan disini, menceriterakannya.
Semua ini saya ceriterakan terjadi pada saat kenaikan kelas, berarti bagi saya dan beberapa teman Papua, saat ujian SMP, Diniyah Wustho, yang kami ikuti, terjadi pada tahun 1990-1991. Dalam tahun-tahun ini kami sudah menyesuaikan diri dan dapat berkonpetisi sama dengan rekan-rekan kami daerah lain di kelas maupun dalam pergaulan sehari-hari. Kami sudah biasa dengan kehidupan di Pondok, bahkan rasa solidaritas kami, anak-anak santri dari berbagai daerah lebih kuat dan lebih tinggi daripada rasa nasionalisme orang Papua pada NKRI hari ini.
Bahkan menjelang tahun 1990 dari tahun 1989 malam pergantian tahun, saya dan kawan-kawan pergi ke Bandung. Ada teman anak Betawi Tanah Abang (Pejompongan, Play kami memanggilnya, tapi nama sesungguhnya Firman), punya teman bernama Kriston Situmorang, orang Batak. Dia ini belakangan menjadi teman paling akrab dengan saya, walau kami terpaut jauh, baik, adat budaya, agama maupun pendidikan.
Kami bersama mengadakan jalan liburan panjang ke Bandung. Saya masih ingat pada malam tahun 1990 itu saya datang antar dia ke Gereja Khusus Batak (HKBP) di kota Bandung. Kalau suara adzan terdengar biasa dia antar saya ke Masjid, pokoknya asal ada suara orang adzan kata dia Ismail, Muhammad ada panggil kamu ke Mesjid, dan dia mengantar saya kesana.
5). Jadi Guru Ngaji
Di Pondok sejak saya menjadi juar umum, banyak orang tua yang anaknya belum bisa mengaji datang menitipkan pada saya, agar diajari, mengaji. Terus terang saya secara keuangan tidak memungut bayaran, tapi dikasih suka rela oleh orang tua mereka. Waktu saya mengajar mereka mengaji pada sore hari menjelang sholat maqrib berjama’ah. Dari sini saya bisa bantu teman Papua untuk bisa beli sabun mandi, cuci, sikat gigi, odol dan lain keperluan, terutama jajanan lain di sekitar Pondok.
Anak yang saya ajari mengaji ada tiga orang, yang masing-masing orangtuanya termasuk orang mampu. Mereka jadinya mengaji duakali, dengan saya lebih dulu sebelum ke guru ngaji tetap Pondok. Terus terang pada awalnya mereka ini sama sekali huta aksara arab. Saya kenalkan huruf sampai belajar metode iqro. Pada akhirnya mereka menjadi bias dan cepat menguasai selama tiga bulan.. Ada yang sudah bisa tapi dia diminta oleh orangtuanya agar saya ajari qiro’ah.
Yang satu lagi minta diajari tajwid dan membaca al-qur’an secara baik dan benar. Saya ajari dia lagam qiro’ah murottal. Ketiganya saya ajari setiap ada kesempatan tapi tidak sampai tuntas dan saya lebih sering diajak pergi ikut Pak Mulia untuk mengaji di berbagai kalangan pengajian baik pejabat pemerintah maupun masyarakat umum di berbagai kota di Jakarta dan Jawa Barat.
6). Ikut Pak Mulya Tarmidzi
Pada satu kesempatan acara di Pondok ini yang umunya dikunjungi para pejabat pemerintah, utamanya para Menteri Kabinet Soeharto-Sudarmono. Sebagai penceramah diundang Dr. Nurcholis Majid (Cak-Nur, Cendikiawan Muslim Indonesia terkenal itu), untuk berbicara dihadapan santri disini, tapi berhalangan datang. Maka da'i ketiban, Dr. Muhammad Mulya Tarmidzi mendadak di undang datang ke Pondok ini. Kebetulan kami sendiri belum kenal dia. Tapi ternyata dia adalah Kolonel AL, yang pernah bertugas di Angkatan Laut 10 di Hamadi Jayapura Papua.
Dan dalam tahun 1978 Letnan Kolonel Angkatan Laut yang juga Dokter sekaligus Ulama ini pernah datang berkunjung ke Wamena. Islamic Centre Wamena adalah oraganisasi yang disponsori olehnya. Dia dikabari bahwa disini, santri berasal dari berbagai daerah Indonesia. Pondok ini ada anak-anak Papua asal Walesi Wamena. Paitua kaget minta ampun. Besoknya dia mengutus anak angkatnya, orang Papua juga, bernama Ilham Walelo, untuk datang jemput kami bawa pergi kerumahnya di Cinere, dekat Pondok Labu kompleks AL .
Berikutnya dia menyuruh Ilham Walelo (saat itu kuliah di IAIN, kini UIN Jakarta) untuk menjemput saya, agar diajaknya pergi mengaji dalam berbagai kesempatan ceramahnya. Selama duduk kelas tiga di bangku SMP, saya lebih banyak pergi mengikuti Pak Mulya Tarmidzi keliling kota Jakarta dan Jawa Barat. Sebelum beliau ceramah dihadapan jama'ah pengajian saya lebih dulu mengaji, setelah itu sebelum masuk thema ceramahnya yang kadang isinya lucu-lucu membuat jama'ah terbahak-bahak tertawa itu, dia menceriterakan dulu kondisi Islam di Walesi, bagaimana perjuangannya dulu, siap tokoh pejuangnya dan dikatakannya saya salah satu anak Kepala Suku dari daerah yang masih muallaf yang diislamkannya itu. Setelah itu beliau mulai ceramah sesuai thema yang diminta para jama'ah. Demikian itu berlangsung sampai saya sudah di SMA/Aliyah dikemudian hari.
Kenal Dunia Luar Pesantren
Pada waktu saya lulus ujian SMP, walaupun nilai tidak memuaskan, tapi tidak seburuk nilai pertama sekolah disini. Saya lulus ujian bersama teman, dua orang dari Papua tahun 1991, dan langsung mendaftarkan diri di Madrasah Aliyah. Aliyah ini baru buka kami siswa angkatan kedua dari siswa sekolah baru ini. Saat-sat itu juga sebenarnya di Pondok saya sudah punya prestasi. Saya mewakili Pondok ini mengikuti MTQ tingkat Kecamatan Parung di Masjid As-Sholihin yang diadakan kerja sama dengan Majalah Panjimas (Panji Masyarakat Islam, pendirinya Buya HAMKA, Pendiri MUI, Ulama Indonesia terkenal lewat tulisan dan ceramah-ceramahnya). Bahkan saya menjadi guru mengaji Frivat beberapa orang anak yang dititipkan oleh orang tuanya untuk saya mengajari mereka mengaji.
Namun sayang, akibat pergaulanbebas, ditambah lagi aturan Pondok yang mulai tidak ketat, apalagi anak-anak baru yang masuk belajar di Pondok ini orangtuanya beragam latar belakang, dari yang orang kaya, pejabat pemerintah, pengusaha sampai anak orang biasa layaknya saya, juga ada anak pengusaha, anak Kiay dan lain-lain latar belakang semua ada disini, di Pondok ini. Hal itu membuat kehidupan di Pondok menjadi labil. Penegakan aturan tidak sekrtat, dan se taat masa dulu saat pertama kami tiba disini.
Kami anak-anak Santri banyak melanggar aturan Pondok, kami menjadi anak Bandel. Dari Papua saya termasuk anak lumayan berprestasi yang paling bandel. Teman-teman segan dan takut saya, termasuk kismul amninya (petugas keamanannya), karena badan saya kuat dan besar. Mereka takut! Saya sesungguhnya anak baik sekaligus anak nakal dan berani melawan ustadz di Pondok ini. Padahal menyesal seumur hidup, apalagi dalam kitab, Nashoihul ‘Ibad; kami diajarkan bagaimana menghormati guru, ya, para ustadz kami di Pondok, tapi saya malah sebaliknya melawannya adalah murka sekaligus ilmu saya tidak bermanfaat kelak dikemudian hari ilmu darinya.
1). Pergaulan Bebas
Dalam pada itu ada teman-teman se kamar bekas pengguna narkoba, pil anjing, koplo, jarum suntik dan lain-lain juga diantar orang tuanya agar memperbaiki moralnya di antar masuk di Pondok ini menjadi teman-teman kami. Dalam satu kamar yang disediakan pihak Pondok kami tinggal jumlah belasan orang anak santri. Saya sering olahraga, angkat barbell, besi, dan memperbesar badan dengan sering pus up setiap pagi dan sore hari. Banyak kawan mencari perlindungan dengan menjadi teman akrab saya.
Saya masih ingat kawan-kawan dari Lahat, Sumatera Selatan, orangnya nekat-nekat, punya badik. Tapi saya lebih dekat dengan kawan-kawan dari Dumai, Riau. Kami dalam Pondok ini aturannya tidak ditegakkan secara disiplin ketat, aturan Pondok sering tidak stabil, membuat kami santrinya menjadi labil. Saya juga punya teman anak Surabaya , kami biasa memanggilnya Are, Mas Are. Dia juga punya clurit yang dibawanya dari rumah dan simpan rapih di Pondok untuk jaga-jaga diri. Itu keadaan didalam Pondok tahun 1990-an.
Diluar Pondok kita tahu ada istilah Petrus (penembak Misterius?) pada zaman Panglima LB Murdani yang menakutkan itu. Saya dan beberapa teman pada zaman itu sering keluar Pondok. Beberapa teman saya yang sering panggil saya dengan “Boss”, selalu kemana-mana ikut saya, sering datang main bukan lebih dekat di Pasar Parung, dimana disana ada Marsel Iyai (anak Paniai, preman terkenal tukang mabuk di Pasar ini), tapi kami sudah mulai berani main agak jauh ke Ciputat.
Kami sering datang main ke Ciputat pada jam-jam sekolah, kami membolos. Terminal Ciputat banyak orang Papua, ada yang Kopassus, Brimob, dan lain-lain kesatuan sering kumpul disini. Preman yang paling ditakuti disini dan punya nama besar adalah Bung Ramar, demikian orang menyebutnya. Dia adalah Andreas Ramar dari Manukwari. Dia baru pulang dari Vietnam, banyak didatangi anak-anak Papua lebih muda dari Brimob Kedung Halang Bogor, Kedaung, AL Pondok Labu, Kostrad Cibinong Bogor, Kostrad Kebayoran Lama Jakarta. Kami sering datang kesini bagi saya awalnya rindu lihat sesama orang Papua.
Disamping itu kami bisa cari uang di terminal, “palak”, sopir angkot jurusan Kebayoran Lama-Ciputat, Pondok Labu-Ciputat, Bus jurusan Tanah Abang-Ciputat, Kampung Rambutan-Ciputat, Ciputat -Sukabumi. Banyak bioskop di Pasar ini gratis bisa kami nonton. Semua berkat orang kuat, “Kaka Black” satu ini, Bung Ramar. Tapi kebiasaan mereka disini kalau berkumpul selalu minum, minuman keras. Kami masih anak-anak lugu, apalagi anak-anak Pondok. Tapi masa kami adalah masa-masa pubertas, sebagaimana biasa dunia remaja penuh dengan mencari jati diri. Kami berkumpul dengan orang-orang Papua yang lebih dewasa, berbaur, terjerumus lebih jauh didalam pergaulan bebas mereka disini.
2). Dikeluarkan dari Pesantren
Terus bterang walaupun kami sering keluar bergaul bebas dengan orang di luar Pondok, Kaka-Kaka Papua saya selalu tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu. Mengingat Pondok kami lebih banyak mengarahkan keutamaan ibadah daripada pondok lain yang lebih mengutamakan pendidikan modern dengan keutamaan menguasai bahasa asing (Arab-Ingris). Kami di Pondok Pesantren kewajiban dan aturan wajib berbahasa asing ada tapi dalam prakteknya sering tidak jalan.
Malahan aktivitas ibadah mahdoh lebih di utamakan dalam praktek sehari-hari di Pondok. Maka kami sudah terbiasa terdidik kearah pembinaan tasawuf dalam praktek. Hal ini terbawa dalam kepribadian kami para santrinya sampai diluar Pondok. Sholat lima waktu, walau dalam kondisi sakar, tetap saya tegakkan setiap waktu tiba.
Sejak sering keluyuran keluar Pondok menjadi keterusan. Sudah tentu banyak teman, tapi pengaruh pergaulan bebas, pengaruh bukan orang Pondok yang senantiasa mencari rihdo Allah SWT, serta memperbanyak ibadah. Pengaruh dunia sorga, minuman keras, hidup bebas, ingin mencoba hal baru, apalagi menginagt usia kala itu usia remaja yang ingin mencari jati dirinya membuat saya semakin berani melanggar bukan saja aturan Pondok, melainkan juga aturan Tuhan dalam syari'at Islam.
Terus terang saya tidak kenal perempuan, dan tidak mau melakukan hal itu. Keculi minum tapi melalui ikut-ikutan dan itupun awalnya dipaksa orang. Akhirnya sudah berani mengenal minuman, walaupun awalnya hanya coba-coba. Apalagi lingkungan dimana saya datang gauli di Ciputat adalah orang yang memang biasa minum dari sananya.
Ada teman cerita bahwa dia jago minum dan pernah mencicipi semua merk minuman sebelum masuk di Pondok ini. Saya mendengarnya merasa tertantang dibuatnya, ketinggalan, itulah godaan syaithon. Akhirnya saya ingin mencobanya semua jenis minuman yang disebutnya. Saya ingin membuktikan bukan hanya cerita tapi sebaliknya dipraktekkan langsung di dalam Pondok dihadapan teman yang mengaku jago minum.
Kebiasaan minum tidak ada dalam budaya Papua, hanya di kota oleh pengaruh Belanda sedikit orang Papua minum beer, tapi saya bukanlah orang kota . Bagaimanapun juga saya adalah orang Muslim dari Walesi yang sejak kecil sudah dikenalkan dengan aturan hukum-hukum Islam bahwa minuman khamar itu haram, walaupun makan daging babi yang dimaklumi masih dilanggar di kampung saya yang masih kuat budaya itu. Apalagi dalam Pondok di sekolah Diniyah saya sudah diajarkan hadits Nabi bahwa : Kullu muskiirin haramun; Artinya : “Semua yang memabukkan adalah haram”. (Al-Hadits).
Sudah ada laporan ke Pimpinan Pondok dia juga pembina Panti Pondok yang menangani soal tetek-bengek biaya pendidikan selama berlangsung di Pondok sejak pertama kami datang. Saya akhirnya memang dilaporkan bahwa minum di dalam asrama Pesantren. Ya sudah tentu akibatnya saya harus di keluarkan dari Pondok Pesantren. Demikian kebijakan Pimpinan Pondok Pesantren memutuskan. Kami masih beruntung karena aturan sebagaimana dalam agama Islam harusnya kami didera agar jera. Tapi aturan itu tidak ditegkkan karena Indonesia bukan Negara Islam. Karena itu kami tidak didera sebagaimana syari’ah Islam.
Bersama saya ada satu teman Papua lagi yang ikut-ikutan dikeluarkan. Kami dikeluarkan pada saat mau kenaikan kelas, saat itu kami baru duduk kelas dua Aliyah (SMA). Pimpinan Pondok tetap memutuskan saya dan teman satu lagi dari Papua harus dikelurkan agar yang lain mau coba-coba menjadi pelajaran. Demikian kira-kira Pimpinan Pondok berkesimpulan dari hasil renungannya atas pelanggaran hukuman bagi kami yang berani melanggarnya apalagi ini kasus minuman keras yang paling diharamkan dalam agama Islam itu saya layak dikelurkan karena saya memang melanggarnya..
Jadi kami dikeluarkan hanya dua orang sementara beberapa teman Papua yang lain, mereka yang datang belakangan disini, di Pondok ini, dari Walesi tetap dipertahankan. Karena memang yang bandel hanya saya bukan termasuk teman saya seperti dugaaan Pimpinan, tapi hanya saja dia hari itu tidak masuk sekolah diniyah pada sore hari. Saya tidak bisa membela diri apapun alasannya, apalagi teman saya yang tidak tahu banyak bicara, yang walaupun sebenarnya dia tidak ikutan meminum minuman memabukkan pada hari itu. Tapi hanya saya, anak Papua, selain beberapa teman lain dari Sumatra. Akhirnya tetap diputuskan kami dikeluarkan dari Pesantren tanpa pernah mau mengerti kemana kami pergi dari sini, Pondok ini. Disini kami tidak ada saudara. Ada Pak Mulya tapi kami melanggar aturan yang diketahuinya sangat tidak boleh dilanggar dalam Agama Islam yang selama ini di ceramahinya setiap hari kepada para semua jama’ah umat Islam.
3). Hidup di Terminal Ciputat
Akhirnya kami datang ke terminal Ciputat, tempat dimana pertama kami belajar dunia luar. Kami beberapa lama hidup dan tidur diterminal. Belajar sekaligus menjadi preman. Kala itu memang di jakarta orang-orang Papua sering dikerahkan pihak keluarga penguasa dalam urusan gusur-menggusur orang Betawi. Kala itu orang Papua yang perawakannya memang seram dan menakutkan bagi warga kecil di Ibukota menjadi laku keras penguasa Indonesia, menggunakan tenaganya untuk menggusur warga Jakarta untuk di paksa pindah lokasi. Sudah menjadi biasa diketahui orang-orang disiktar terminal ini. Kami leluasa mencari makan dengan palak para sopir angkot.
Dalam keadaan begitu saya secara kebetulan ketemu Ester, gadis hitam manis keturanan Ambon-Belanda. Dia cerita pada saya bahwa kakeknya masih orang Papua dari Serui. Kakeknya beristerikan perempuan Belanda. Dia baru tinggal di Indonesia. Kakaknya di Bandung termasuk orang kaya. Sayang dia pemakai (istilah anak jakarta, pengguna narkoba). Sebagai anggota Alamo ( Ambon lapar makan orang?) dia cukup matang dalam pergaulan bebas kota Metropolitan Jakarta.
Ketemu Ester saya menceriterakan dari mana dan asal usul, hingga bagaimana saya ada disini, diterminal Ciputat. Saya diajak ke kontrakannya, diberi tempat, di ruang tamu saya boleh tidur, selebihnya saya tahu diri, ditolong dia. Tapi saya tidak mau macam-macam, apalagi dia memperlakukan saya tidak level, dia lebih dewasa dan berpengalaman, sedangkan saya seorang ABG (anak Baru Gede) yang masih amatir dimatanya. Hanya satu baginya bahwa dia sayang pada saya, apalagi kakeknya masih orang Papua.
Beberapa waktu tinggal bersamanya, saya agak tidak betah. Kami kadang ketemu hanya sore hari, pada malam hari saya keluyuran dan pulang ditempatnya saya dalam kondisi teler. Tapi keinginan sekolah tetap tinggi dalam diri saya.. Dia menawarkan saya ke Bandung tinggal dirumah keluarganya yang orang kaya. Tapi bagaimanapun cita-cita saya apalgi saya adalah utusan dari Walesi, keinginan kembali ke Pesantren membuat saya pergi meninggalkannya.
4). Pergi ke Sukabumi
Diterminal Cipuata ada bus jurusan Sukabumi. Saya ketemu kembali dengan teman yang dikeluarkan bersama itu. Dia punya kaka tinggal di Pasar Minggu Gang Arab Pejaten Timur bersama Pak Saddiq Ismail. Beliau ini dulu bersama pak Mulya Tarmizi membangun dan merintis Islam pertama di Walesi. Pada waktu pindah tugas ke jakarta dia membawa salah satu anak Walesi, kakaknya teman saya itu. Tapi rupanya teman saya dimarahi, dan kakanya tidak mau mengurusnya.
Dia datang menemui saya ke terminal Ciputat. Saya usul padanya agar berdua kita pergi ke Sukabumi untuk cari sekolah di sana. Apalagi disana (Sukabumi) banyak terdapat Pondok Pesantren, memungkikan kita melanjutkan pendidikan agama disana. Disamping itu disana juga sudah ada orang Walesi pertama dikirim sekolah ke Jayapura dari 20 orang anak yang belakangan dibawa Pak Mulya Tarmidzi ke Jakarta bersama Ilham Walelo, tapi dia kabur dan pergi menjadi Polisi tinggal di asrama Secapa POLRI Sukabumi. Kami berangkat kesana kepadanya.
Selama satu minggu tinggal dirumahnya isterinya menunjukkan sikap tidak suka pada kami berdua. Kebetulan disana sudah ada orang Papua lain, Pak Mahuse dan Aloysius Kowenip. Saya tinggal sama Pak Aloy dan teman saya dirumah Pak Mahuse. Pak Aloysius lama di Wamena dan isterinya orang Kurulu. Saya dianggap keluarga dari isterinya dan saya lumayan betah tinggal dirumahnya. Saya diberi satu kamar. Disana saya boleh melakukan apa saja, termasuk sholat lima waktu.
5). Di Cari Orang
Tidak lama kami di Sukabumi ada yang mencari sampai keberbagai terminal. Mereka memasuki semua terminal di seluruh sudut kota jakarta. Konon kabarnya saya dan teman yang dukeluarkan Pondok itu menjadi preman berkeliaran di terminal sekitar Jakarta. Terminal Ciputat didatangi tapi kami sudah berlalu dari sini. Pesan titip kepada semua petugas terminal agar jika ada anak-anak dengan ciri-ciri seperti kami segera menghubnginya.
Ternyata orang datang mencari kami selama berminggu-minggu diberbagai terminal itu adalah Pak Sudirman Dampang yang kelak menjadi orang tua asuh yang sebenarnya. Dia orang Slayar Sulawesi selatan. Pada masa mudanya beliau sudah malang melintang bertugas di berbagai kota di Papua. Mulai dari Jayapura, Merauke, Biak dan Manukwari. Bahkan isterinya kelahiran Papua dari Jawa yang ayahnya seorang Militer. Kami di Sukabumi ada teman Papua dari Pesantren datang bawa berita bahwa kami harus segera kembali ke Jakarta. Rupanya baru kami ketahui bahwa dari Papua oleh tuntutan orang tua kami dari Walesi kepada Ketua Islamic Centre agar kami segera di cari dan disekolahkan kembali.
Ketua Islamic Centre adalah orang yang pertama datang antar kami di Jawa. Dia sudah telepon kenalan di Jakarta agar kami segera ditemukan. Demikian amanat itu sampai ditelingga kita di Sukabumi. Tapi terus terang saya betah tinggal sama Pak Aloy, apalagi disana ada isterinya yang sama-sma saya kami orang Wamena suku Dani. Pak Aloy sebelumnya menawarkan saya dan membelikan motor agar saya sekolah SMA di kota Sukabumi saja. Tapi sesungguhnya dalam hati saya harus kembali ke Pondok Pesantren. Saya tidak menolak tawarannya tapi saya memang beberapa lama tinggal bersamanya.
Akhirnya pada suatu hari saya bersama teman kembali ke Ciputat. Saya datang lagi ke kosan Ester, dia tetap menerima saya dan saya beberapa hari sering datang tidur ditempatnya. Pada waktu lain kali saya ajak Yudas Kotauky, dia buat skandal yang membuat saya tidak enak hati pada Nona Ambon Manise yang baik, yang padanya saya hormati dan menganggapnya sebagai kaka. Kala itu setiap pagi dan sore saya menjadi pengangguran (lebih tepat gelandangan) di terminal Pasar Ciputat.
6). Ketemu Yudas Kotouky dari Paniai
Begitu tiba-tiba dihadapan saya ditengah keramaian terminal Ciputat yang panas pada hari itu ada seseorang berkulit hitam melintas dihadapan saya. Dia laki-laki masih muda usianya, tapi kelihatannya jarang mandi. Sepatunya kotor karena becek terminal Ciputat waktu itu. Saya datang menghentikan langkahnya yang kelihatan berjalan buru-buru itu untuk menyapa menegurnya hanya menanyakan darimana dan hendak mau kemana. Dia adalah Yudas Kotouky dari Paniai.
Dia membalas sapaan saya dengan kata nayak (salam khas laki-laki Lembah Balim Wamena), karena baginya saya jelas terlihat anak Suku Dani Wamena. Disamping itu karena dia juga pernah sekolah SMP sampai tamat di kota Wamena. Jadi dia tahu dan mengenal dari suku dan kampung mana asal saya dari Papua dikenalinya cepat. Kami berkenalan menyebut nama kampung masing-masing memperkenalkan diri. Dari gaya bahasanya logat campur Jawa- Paniai, membuat saya agak lucu dan geli mendengarnya.
Rupanya dia droup out Fakultas Hukum UNDIP (Universitas Diponegoro Semarang) Jawa Tengah. Sebelumnya katanya dia kuliah program beasiswa di Universitas Satya Wacana Salatiga. Dia kuliah atas beasiswa IGGI dari pemerintah Belanda. Memang beberapa mahasiswa Katolik dari Papua dibeasiswakan belajar di Jawa Tengah kala tahun itu. Tapi alasan lain pemerintaha Indonesia memutuskan bantuan beasiswa yang umumnya diterima anak-anak mahasiswa Papua.
Yudas Kotouky adalah korban dari keputusan pemerintah RI itu, dan dia datang ke Jakarta dalam rangka menjual ekor bulu burung Cenderawasih yang indah terkenal dari papua itu, kepada orang-orang di Jakarta siapa saja yang mau membeli agar membiayai kuliah. Saya menganggapnya kasihan tapi dia seorang mahasiswa menganggap saya lebih kasihan, karena ada disini hanya seorang diri tempatnya di terminal dan masih anak-anak lagi. Saya sama seperti juga kepada yang lain menceriterakan padanya bahwa beberapa waktu lalu dikeluakan dari Pesantren pada saat mau kenaikan kelas.
Dia seorang mahasiswa kritis, tentu saja dia cepat merespons dengan perasaan prihatin atas peristiwa saya dikelurkan dari Pondok. Dia merasa iba pada saya dan akhirnya daya intelekltualitasnya muncul agar bagaimana dapat dengan cepat membantu menyelsaikan. Dia meresa masalah saya harus dibantunya untuk kembali belajar. Saya menceriterakan semua kronologis mengapa dan alasan saya dan teman satu lagi dikeluarkan dari Pesantren tanpa surat pindah begitu saja ditengah-tengah waktu mau semester kenaikan kelas. Dia mau mendengarkan semua cerita saya dan alasan saya tidak diterimanya tapi dia akhirnya bertekad ingin mengurus dan mendirikan yayasan.
Tapi sayang hari itu dia sedang buru-buru. Dia pergi lebih cepat dari yang saya harapkan. Karena katanya dia sebelumnya sudah janjian ketemu dengan seseorang yang mau membeli bulu burung cenderawasih yang sedang dibawanya. Katanya dia akan datang ketemu lagi diterminal, ditempat itu, pada jam 10.00 wib yang ditentukannya, agar saya sudah harus ada disana. Sesuai ketentuan waktu saya menunggu dia datang agak terlambat. Rupanya seperti kemarin kelihatan dia belum mandi, dia agak kotor berkeringat.
Kembali Masuk Pondok
Bersambung
****
Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.