Ada banyak pentanyaan selama ini diajukan, dan, pertanyaan itu terserak dimana-mana dalam artian bahwa pertanyaan demikian ini senantiasa ada pada masyarakat kita. Tanpa mempertibangkan siapa yang sanggup atau berhak dan dapat menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan inti tapi siapa dan bagaimana menjawabanya itu misalnya'Kapan Papua Merdeka'?
Sulit terasa bagi kita atau siapapun secara jujur sanggup menyatakan pertanyaan sederhana ini dijawab dengan tuntas dan memuaskan, karena menyangkut sesuatu yang secara tanggungjawab tidak dipikul oleh siapa, tapi menyangkut keseluruhan. Jadi Jawaban pertanyaan seperti itu adalah persoalan semua individu manusia, soalnya adalah apakah setiap individu orang Papua siap? Maka jawabannya siap, tapi masalah pelik selama ini adalah memobilisasi seluruh rakyat adalah kemampuan mengorganisasi, oleh sebab itu disini saya hanya memberikan alternatif lain dari jawaban yang seharusnya dijawab dari pertanyaan demikian diatas.
Disini saya hanya melengkapi dan mempertajam pertanyaan mereka dengan mencoba memberi jawaban bukan dengan jawaban pada suatu solusi, malah menambah masalah atas pertanyaan mereka. Kecuali itu, saya hanya memberi masukan pemikiran untuk menambah rasa penasaran mereka bukan sebagai jawaban lansung atas pertanyaan tapi malah menambah masalah kecuali menyadari ada jalan yang harus kita tempuh secara bersama-sma. Jalan yang dapat ditempuh, tanpa berfikir untuk membebankan pertanyaan demikian pada salah satu organ apalagi individu.
Dari sekian banyak pertanyaan seputar waktu dan siapa, atau lembaga mana yang sekiranya dapat menggantungkan harapan masyarakat, menunjukkan suatu ke sia-siaan mengharapkan jawaban apalagi solusi langsung, mengingat kondisi kenyataan kita seperti adanya seperti ini. Namun penting saya ingatkan disini bahwa sebagai rasa prustasi jangan sampai ada anggapan Tuhan akan membebaskan kita, adalah suatu harapan yang sia-sia belaka dan karena mesianisme seperti itu adalah sangat berbahaya.
Karena itu harapan selama ini dengan mengharapkan bahwa Papua Merdeka akan dimerdekakan atau dibebaskan oleh Tuhan harus dibuang jauh-jauh dengan mencoba mebebaskan oleh diri sendiri, oleh orang Papua sendiri. Pemikiran atau harapan bersifat utopia seperti ini harus dibuang jauh-jauh atau segera ditinggalkan dengan motifasi baru bahwa 'Kalau Papua Merdeka Bukan oleh saya siapa lagi, dan Kalau Papua Merdeka Bukan sekarang Kapan lagi' menurut saya ini sangat penting.
Sebelum kita memasuki pada pertanyaan lain misalnya, 'Mengapa Papua Belum Merdeka'? atau Kapan Papua Merdeka? Atau Pertanyaan Kapan saya bisa Merdeka? Hal-hal sebagaimana diterangkan secara jelas dan terang benderang diatas selalu harus menjadi pedoman hidup dalam kita melangkah untuk menjawab sejumlah atau seputar pertanyaan berikutnya.
A. PENDEKATAN PERJUANGAN
1. Memahami makna "damai" dan "kekerasan".
Adapun pendekatan perjuangan Papua, penting diingat, sekali lagi, penting bahwa; Pendekatan perjuangan Papua Merdeka, bukan satu-satunya dengan cara damai atau kekerasan. Ingat sekali lagi, 'Pendekatan Perjuangan Papua Merdeka' baik dengan damai atau dengan kekerasan adalah bukan satu-satunya cara. 'Jalan menuju Roma itu banyak', demikian peribahasa orang Melayu, artinya menuju Papua Merdeka itu banyak jalan, termasuk jalan perjuangan "damai" atau dengan perjuangan "kekerasan". Saya tulis kekerasan dalam tanda petik, agar kita harus mengerti, karena selama ini seakan- akan orang membela diri dari serangan orang lain dianggap sebagai kekerasan.
a. Apa kekerasan itu?
Kekerasan tidak sama dengan membela mempertahankan diri, kekerasan tidak sama dengan membela mempertahankan hak hidup, berexistensi diri diatas tanah air sendiri, bumi Papua, dari kekerasan perampasan penjajah. Kalau begitu kekerasan itu apa? Kekerasan adalah mendiamkan penjajahan (Indonesia) yang merongrong hak hidup Orang Papua dalam kedaulatan yang berdaulat dengan menyatakan "damai".
Kita mengatakan "damai" padahal mereka membunuh. Kita mendiamkan dengan mengatakan perjuangan dengan damai, dari dan oleh, kekerasan penjajahan pihak musuh. Kita puaskan diri dengan menyatakan perjuangan damai, padahal penggunaan kekerasan oleh penjajah nyata dengan akibat korban pada diri kita karena penjajah menggunkan salah satu pendekatannya adalah dengan kekerasan.
Penjajah datang ke Tanah Air kita, Papua, dengan berbagai cara pendekatan. Penjajah (Indonesia dan sekutunya ekonominya) dewasa ini sedang menggunakan berbagai cara atau mengunakan seribu wajah pendekatan untuk menjajah Papua. Berbagai pendekatan yang ditempuh penjajah itu diantaranya, penyebaran penyakit HIV/AIDS, penembakan mematikan, pemerkosaan hak-hak asasi dengan pemekaran wilayah Papua, membawa masuk investor asing termasuk kasih uang dalam Otsus Papua dewasa ini.
Penjajah juga menggunakan kekerasan pada orang Papua lewat gereja dengan wajah pura-pura muka manis dengan kata damai, ataupun dengan menggunakan senjata oleh aparat TNI/POLRI, lewat lembaga sosial dengan menggratiskan pendidikan bagi yang muslim di YAPIS. Padahal mereka mereka mau terus menjajah Papua karena itu mereka sebagai penjajah menggunakan berbagai cara termasuk mengefektifkan institusi/lembaga sosial dan agama sebagai sarana untuk melakukan kolonisasi Papua Barat secara efektif dan berhasil dalam jangka waktu lama.
Tapi sesungguhnya semua saluran dengan berkedok apapun, itu semua adalah sumber segala sumber kejahatan. Kejahatan yang dibungkus dengan kemasan bantuan sosial, dengan pura-pura muka manis tapi itulah kejahatan atau kekerasan sesungguhnya bila kita menyadarinya. Mengapa, karena yang kita anggap sesuatu yang dipermukaannya damai dan baik, sesungguhnya mengandung virus yang akibatnya sangat fatal, mematikan.
Kekerasan bermula disini dan akibatnya adalah kelanggengan dan terpeliharanya kekerasan itu menjadi terus menerus. Kasih damai, mereka menyuguhkan kita dengan agama, itu semua mereka gunakan untuk menjajah dan mencuri harta kekayaan kita. Penjajah penempuh bukan dengan satu cara pendekatan kekerasan ataupun dengan bungkusan dengan berkedok damai.
b. Apa yang damai?
Dalam penjajahan tidak ada kata kedamaian, yang ada damai bila akibat sementara tapi sesungguhnya mengandung kekerasan berjangka panjang karena hal ini menyangkut mentalitas dan masa depan suatu bangsa, karenaya kekerasan yang dibungkus dengan kemasan "damai" adalah kekerasan yang berakibat fatal, karena resikonya mentalitas dan berjangka panjang.
Penjajahan dengan kata "damai" dapat berlangsung lama dan akibatnya permanent, karena itu kita banyak tidak menyadarinya, padahal akibat dengan bungkusan damai, sesungguhnya itu hakekat dari kekerasan yang paling gawat dan sangat mematikan dalam jangka waktu antar generasi. Kedok damai adalah bentuk kekerasan sesungguhnya, sebab dapat berakibat menjadi tidak menyisakan ruang dan tempat sedikitpun bagi masa depan bangsa terjajah (dalam hal ini kita Papua Barat), untuk punya hak menentukan masa depan sendiri.
Singkatnya, penjajah tidak semata-mata dengan satu cara, tapi coba Anda perhatikan! Penjajah menggunakan teori machiavelly, (menghalalkan segala cara dan berbagai cara), bahkan ribuan cara sudah ditempuh oleh penjajah (Indonesia) agar mempertahankan Papua sebagai koloninya, dan kekerasan bermula disini. Dan cara-cara itu yang dimaksudkan sebagai cara pendekatan kekerasan sesungguhnya, termasuk penggunaan institusi agama sebagai kedok kejahatan yang sesungguhnya dapat berakibat kekerasan karena akibat meninabobokan perhatian kita melawan penindasan dan wajah kita dipalingkan dengan alasan kita harus damai.
Kalau begitu apanya yang damai? Bahasa "perjuangan Damai" adalah salah satu cara yang mereka susun sebagai alat untuk memalingkan perhatian kita. Dan "perjuangan damai" alat mereka untuk terus menjajah dan menghabiskan kita. Karena itu mendiamkan penjajah dengan alasan damai adalah kekerasan. Pertanyaan berikutnya adalah: Kalau begitu siapa yang membiarkan kekerasan menjadi kekerasan baru lainnya dengan mengatakan yang lainnya adalah suatu kekerasan padahal bukan lain mempertahankan diri? Kita terlanjur disuguhi oleh budaya damai yang lain, bukan budaya damai sendiri, aman damai adalah jika sudah berdaulat, ada kebutuhan akan itu apabila kita sudah merdeka berdaulat, itulah aman damai. Tapi kekerasan diawali dengan kedok damai, dan itulah situasinya kini. Kalau begitu dimana damainya? Tidak ada, karena itu kita sulit menjawab.
PENDEKATAN PERJUANGAN
Oleh sebab itu perjuangan dengan pendekatan apapun oleh kita Rakyat Papua Barat, tidak bisa tidak, harus ditempuh untuk mengimbangi hegemoni kekerasan berkedok damai. Maka catatan penting saya disini adalah kita harus menempuh perjuangan dengan berbagai cara termasuk dengan cara pendekatan yang sudah ditempuh saat ini, entah itu apapun namanya seperti damai, kekerasan, diplomasi, demontrasi, dll semua harus ditempuh menuju kedamaian abadi Papua yang akan kita songsong yakni Papua Merdeka.
Tujuan Papua Merdeka adalah menciptakan kehidupan damai, tanpa ada pencurian, pembunuhan oleh penjajah dan perampokan kekayaan Papua oleh orang asing. Karena itu hakekat dari damai adalah kemerdekaan, kita belum merdeka berdaulat, dimana damainya? Tidak ada. Jisteru yang ada adalah kekerasan dan kekerasan yang kita tidak menyadarinya karena mereka membungkus kekerasan dengan bungkusan atau kemasan "damai".
Fatalisme adalah menerima apa adanya dengan diam, tanpa mau usaha mempertanyakan untuk dipertimbangan aspek kebenarannya. Umumnya kita menerima itu sebagai keputusan yang dari "sana"nya sudah ditentukan demikian adanya karena itu kita menerima begitu saja. Dalam paham agama (islam), misalnya sabar, tawakkal, dengan campur aduk, tidak begitu jelas, kita menerima nasehat untuk sabar dan menerima suatu musibah toh, itu semua sudah rencana Tuhan! Umumnya kita tidak mau mampu memahami atau membedakannya, karena itu kita terima omongan orang yang sering mengatakan kepada orang yang kena musibah dengan kata-kata ini, ini semua kehendak Tuhan kita harus tabah, sabar, akrena ada saatnya nanti kita akan misalnya Papua dimerdekakan oleh Tuhan.
Tapi menurut saya faham ini sebaiknya tidak tepat disuapkan untuk diterapkan pada konteks sosial politik Papua dewasa ini. Karena hal seperti ini tidak ada usaha, tapi diam dan menerima semua keputusan sebagai suatu keadilan Tuhan. Kalau begitu logikanya jika kita menerima Otsus (PDP/DAP, sudah kembalikan), adalah keadilan dan "kebaikan" yang patut kita terima tanpa mau mengoreksi itu sebagai baik.
Padahal semua keputusan menurut saya ada ditangan manusia, dan kita berhak mengatakan itu untuk membangun masa depan suku dan bangsa yang adalah diri dan keluarga kita sendiri. Filsafat Yunani mengatakan Panta rei, semua berubah, karena itu kita jangan ada sikap memutlakkan sesutau apalagi itu pendekatan Perjuaqngan Papua seperti satu kali untuk selamnya, sesutu yang akibatnya naif dan fatal. Padahal zaman dari detik ke detik terus berubah.
Karena itu berbahaya bagi masa depan Papua yang mengatakan damai atau kekerasan, sebagai sesuatu yang dianggap inti padahal itu hanya sarana. Perjuangan adalah kata kunci, tapi damai ataupun kekerasan adalah proses pelaksanaan kerja, kerja perjuangan. Pendekatan perjuangan damai atau kekerasan bukan tujuan tapi hanya jalan menuju kedamaian abadi yakni Papua merdeka. Karena itu damai dan kekeran adalah bukan tujuan diri sendiri, maka jalan manapun, dan kita terus membuat jalan baru untuk bisa lebih cepat sampai, agar kita cepat tiba pada tujuan menuju kedamaian abadi, Papua Merdeka. Namun kenapa dengan biasa misalnya seperti satu kali jadi untuk selamanya, adalah suatu ideologi tertutup, oleh karena itu biasanya ketinggalan zaman, terbelakang, contohnya negara komunis unisoviet, akibatnya karena usang runtuh atau membubarkan diri.
Kembali menyangkut pendekatan Papua Merdeka dalam hal ini saya berpendapat bahwa 'Papua Merdeka' selain dengan jalan perjuangan damai dalam pengertian PDP dan DAP, perjuangan secara sporadis sebagaimana TPN/OPM yang mau menunjukkan exsistensinya juga penting tetap diberi tempat, kalau boleh malah didukung penuh.
Namun ini tidak melupakan bahwa perjuangan dengan pendekatan lain misalnya, aksi demo mahasiswa, minta suaka para incaran aparat penjajah kenegara lain, lobby di negara lain oleh para wakil-wakil papua diluar yang berasal dari mahasiswa atau utusan khusus untuk itu, dialog, mogok kerja, singkatnya bahwa pendekatan Papua Merdeka bukan satu-atau hanya ada dua cara (kekerasa atau damai), tapi banyak cara, termasuk pendekatan lewat tulisan seperti ini, adalah pendekatan perjuangan yang dimaksudkan itu.
Kita jangan ketinggalan zaman, tertutup, ekslusif, sekali untuk selamanya dengan pola pikir fatalistis, menjadi, akhirnya tidak ada perubahan, padahal zaman selalu terus berubah. Dan ada saatnya nanti revolusi dengan memobilisasi umum rakyat Papua atau dengan aksi mogok kerja adalah diantara dari sekian cara pendekatan Papua menuju pintu gerbang kedamaian abadi, Papua Merdeka.
Format atau bentuk pendekatan Pembebasan Tanah Papua Barat, masih menjadi perdebatan para konseptor, diantara dua pendekatan, jalan mana yang lebih tepat dipilih, apakah jalan "perjuangan damai" ataukah jalan "kekerasan". Perdebatan masih berlangsung sampai tulisan ini dibuat, dan antara para elit intelektual Papua belum ada kesepakatan bersama, jalan mana idealnya harus ditempuh untuk membebasakan Tanah Papua Barat yang telah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961 itu.
Dari beberapa sumbangan pemikirannya, agaknya Peter Efraim dan Hendrik Ayamiseba menyampaikan pandangannya cukup "netral", dalam artian tidak terjebak dalam melihat soal "Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' dengan tidak memutlakkan salah satu dari dua pilihan pendekatan sebagai satu-satunya solusi pendekatan yang harus ditempuh. Dengan demikian kedua pejuang pemikir Papua ini, seakan memposisikan diri dalam posisi nyaman, tanpa mengambil resiko berpolemik dengan sesama penggiat 'Pembebasan Tanah Papua Merdeka'.
Namun Saudara saya (lebih tepat Tuan) Yosep Rumasep, secara agak "emosional", tapi dengan tegas menolak, jalan "kekerasan". Dengan mengingatkan kita bersama bahwa jalan itu adalah sama saja dengan menjerumuskan rakyat kita, Papua Barat, mati tanpa kita hadir di front depan memimpin mereka dengan sikap berani, tapi hanya berdiri dibelakang layar internet/komputer berteriak dan hanya menganjurkan rakyat Papua untuk mennempuh jalan kekerasan tanpa kita sendiri sebagai penggagas terlibat langsung. Karena itu tidak baik disini kita menganjurkan orang untuk menggunakan kekerasan, dalam 'Pembebasan Tanah Papua'.
Berbeda dengan ketiga pejuang Papua diatas, Tuan David Haluk dan Oktavianus Takiamai secara samar tidak setuju pendekatan "kekerasan" tapi mentoleransi 'Pendekatan pembebasan Tanah Papua' sementara yang ditempuh oleh TPN/OPM saat ini dan akan datang ini sebagai amanat kongres TPN/OPM dirimba raya beberapa waktu lalu. Karena itu kita mengerti dua laki-laki dari "pasukan koteka" Pegunungan Tengah ini, disatu sisi tidak setuju tapi disisi lain orang tua mereka sudah memulai dengan pendekatan cara mereka sendiri. Cara pendekatan yang mereka tempuh itu difahami kaum intelek sebagai pendekatan "violence" yang penuh resiko dengan korban rakyat banyak berjatuhan nanti.
Dari kedua kelompok komentator yang disebut kelompok pertama dan yang paling terakhir dapat disimpulkan memiliki perspektif yang sama, walaupun menggunakan redaksi berbeda, namun membahasakan dengan tingkat penghayatan dan keterlibatan emosi berbeda, namun tujuan mereka sama, 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' tidak dengan cara kekerasan. Tetapi juga tidak secara tegas, mereka, menolak apalagi menyalahkan pendekatan yang dicoba dimulai di Mulia oleh TPN/OPM. Para komentator umumnya dalam komentar mereka, hanya basa-basi tapi tidak secara tegas kalau setuju alasan ini, dan kalau menolak alasannya ini, adalah suatu sikap keragu-raguan yang sesungguhnya tidak memberi manfaat, apalagi, dapat dikatakan menguntungkan bagi Papua Barat kedepan.
Mengomentari dengan bahasa dan cara "penuh kebijakan" sepintas lalu menetramkan, tapi akibatnya membuat kita ragu-ragu, dan ini resikonya cara berkomentar seperti ini. Karena memiliki implikasi kurang baik buat masyarakat awam karena kurang memilki ketegasan, 'Ya, apa,'Tidak. Apalagi buat masyarakat kita biasanya, bikin, ka.. ato, Tidak! Itu masalahnya, jadi, kalo ko mo' Merdeka, Bikin.. bikin to.. Barang apa jadi!
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat umun biasanya menunggu komando. Kalau begitu kesimpulannya kedua kelompok pertama dan terakhir ragu-ragu, bahkan tidak memberikan alternatif lain jikalau mereka tidak menyetujui pendekatan TPN/OPM sebagai mana di Mulia sebagai pendekatan "Perjuangan Babak Baru" Pembebasan Tanah Papua. Disini semakin menambah ketidak jelasan bagi kita, jalan mana yang sebaiknya harus ditempuh menuju 'Pembebasan Tanah Papua itu, memang semakin runyam urasannya.
Tapi ada yang lebih menarik dari mereka adalah bahwa; keduanya sepakat dan menganggapnya bahwa 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' sebagaimana ditempuh TPN/OPM dapat dimaklumi dan menganggap cara ini adalah sebagai jalan lain menjawab sementara jalan kebuntuan PDP/DAP, sehingga TPN/OPM sebagai sayap militer dianggap wajar melakukan pendekatan' Pembebasan Tanah Papua' dengan pendekatan yang telah dimulai di Mulia sebagai pendekatan wajar. Sekalipun semuanya sepakat dengan mengatakan bahwa, menolak pendekatan Pembebasan Tanah Papua dengan Kekerasan.
Tapi hal ini sangat menarik dan apresiasi saya buat saudaraku, Tuan Yosep Rumasep, walaupun tidak secara langsung, tapi dalam nada lain, tegas menolak, pendekatan perjuangan Pembebasan Papua dengan kekerasan. Demikian dengan tegas Tuan Yosep Rumasep, sebagaimana juga sejak lebih dini ditolak Freedom dalam merespon tulisan atau komentar biasa saya (Ismail Asso), dalam apa yang saya sebut sebagai: "TPN/OPM : Perjuangan Babak Baru".
Hanya sayang, Tuan Freedom, dan Yosep Rumasep tidak memberikan solusi altertif lain dari dua pendekatan yang senantiasa menjadi polemik pejuang pemikir Papua itu. Maka rasa apresiasi kita terasa kurang lengkap jika memang komentar tanpa memberikan solusi alternatif, sebagaimana Oktovianus Takimai dan Hendrik Ayamiseba (jikapun mereka ini lebih Ok lagi kalau mampu lobby Amerika), karena itu simpati saya pada Komentar Tuan Peter Efraim yang nertal walaupun tanpa solusi pemikiran juga.
Demikian dalam pekan ini, "suatu perdebatan hangat", untuk mencari 'Format Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' oleh para intelektual Papua. Menarik sekali untuk diikuti dan saya pribadi sangat interesting dan menganggapnya sebagai salah satu wacana (dialektika) penting, guna mencari format ideal pendekatan Pembebasan Tanah Papua oleh "anak-anak Papua" sendiri dalam mencari titik persamaan untuk menentukan arah dan kebijakan perjuangan dari kenyataan dead loc PDP/DAP, sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan dalam agenda, Pelurusan sejarah Papua, (amanat, Kongres ke II, 2001), yang merdeka dan berdaulat penuh pada tanggal 1 Desember 1961.
Stagnasi keadaan demikian menjadi alasan wajar bahwa TPN/OPM sebagai sayap militer dan sebagai oraganisasi perlawanan utama menarik kembali mandatnya dari PDP/DAP yang dianggap gagal memperjuangkan dan membawa Papua untuk berdaulat penuh. Bahkan Rakyat Papua melalui TPN/OPM menganggap selain Thoha Al-Hamid dan kawan-kawannya yang masih eksis di PDP/DAP, telah mengkhianati aspirasi dan Amanat Rakyat Papua. stagnasi dan keadaan dead loc demikian menjadi alasan masuk akal bagi kita, kenapa, TPN/OPM yang dalam kongresnya mengeluarkan sebuah resolusi yang isi diantaranya itu mencabut kembali mandat yang pernah diberikan kepada PDP/DAP, dalam kongres ke II Papua tahun 2001. (Bersambung)
Akhir Kalam
Perdebatan masih lanjut, tapi paling penting adalah pemikiran secara holistik, agar bagaimana, berarti cara yang harus dilakukan, untuk menempuh, diantara jalan mana, dari kebuntuan dan polemik dari dua jalan, adalah yang terpenting disini, tanpa mengedepankan egoisme dan menyerang sesama yang itu dapat meruntuhkan dan semakin membuat jarak antara sesama Papua untuk mengambil jalan mana sebaiknya untuk disepakati bersama dalam usaha perjuangan' Pembebasan Tanah Air Papua Barat.
Selamat berjuang lewat jalan manapun untuk menuju kedamaian abadi,
Papua Merdeka.
Sulit terasa bagi kita atau siapapun secara jujur sanggup menyatakan pertanyaan sederhana ini dijawab dengan tuntas dan memuaskan, karena menyangkut sesuatu yang secara tanggungjawab tidak dipikul oleh siapa, tapi menyangkut keseluruhan. Jadi Jawaban pertanyaan seperti itu adalah persoalan semua individu manusia, soalnya adalah apakah setiap individu orang Papua siap? Maka jawabannya siap, tapi masalah pelik selama ini adalah memobilisasi seluruh rakyat adalah kemampuan mengorganisasi, oleh sebab itu disini saya hanya memberikan alternatif lain dari jawaban yang seharusnya dijawab dari pertanyaan demikian diatas.
Disini saya hanya melengkapi dan mempertajam pertanyaan mereka dengan mencoba memberi jawaban bukan dengan jawaban pada suatu solusi, malah menambah masalah atas pertanyaan mereka. Kecuali itu, saya hanya memberi masukan pemikiran untuk menambah rasa penasaran mereka bukan sebagai jawaban lansung atas pertanyaan tapi malah menambah masalah kecuali menyadari ada jalan yang harus kita tempuh secara bersama-sma. Jalan yang dapat ditempuh, tanpa berfikir untuk membebankan pertanyaan demikian pada salah satu organ apalagi individu.
Dari sekian banyak pertanyaan seputar waktu dan siapa, atau lembaga mana yang sekiranya dapat menggantungkan harapan masyarakat, menunjukkan suatu ke sia-siaan mengharapkan jawaban apalagi solusi langsung, mengingat kondisi kenyataan kita seperti adanya seperti ini. Namun penting saya ingatkan disini bahwa sebagai rasa prustasi jangan sampai ada anggapan Tuhan akan membebaskan kita, adalah suatu harapan yang sia-sia belaka dan karena mesianisme seperti itu adalah sangat berbahaya.
Karena itu harapan selama ini dengan mengharapkan bahwa Papua Merdeka akan dimerdekakan atau dibebaskan oleh Tuhan harus dibuang jauh-jauh dengan mencoba mebebaskan oleh diri sendiri, oleh orang Papua sendiri. Pemikiran atau harapan bersifat utopia seperti ini harus dibuang jauh-jauh atau segera ditinggalkan dengan motifasi baru bahwa 'Kalau Papua Merdeka Bukan oleh saya siapa lagi, dan Kalau Papua Merdeka Bukan sekarang Kapan lagi' menurut saya ini sangat penting.
Sebelum kita memasuki pada pertanyaan lain misalnya, 'Mengapa Papua Belum Merdeka'? atau Kapan Papua Merdeka? Atau Pertanyaan Kapan saya bisa Merdeka? Hal-hal sebagaimana diterangkan secara jelas dan terang benderang diatas selalu harus menjadi pedoman hidup dalam kita melangkah untuk menjawab sejumlah atau seputar pertanyaan berikutnya.
A. PENDEKATAN PERJUANGAN
1. Memahami makna "damai" dan "kekerasan".
Adapun pendekatan perjuangan Papua, penting diingat, sekali lagi, penting bahwa; Pendekatan perjuangan Papua Merdeka, bukan satu-satunya dengan cara damai atau kekerasan. Ingat sekali lagi, 'Pendekatan Perjuangan Papua Merdeka' baik dengan damai atau dengan kekerasan adalah bukan satu-satunya cara. 'Jalan menuju Roma itu banyak', demikian peribahasa orang Melayu, artinya menuju Papua Merdeka itu banyak jalan, termasuk jalan perjuangan "damai" atau dengan perjuangan "kekerasan". Saya tulis kekerasan dalam tanda petik, agar kita harus mengerti, karena selama ini seakan- akan orang membela diri dari serangan orang lain dianggap sebagai kekerasan.
a. Apa kekerasan itu?
Kekerasan tidak sama dengan membela mempertahankan diri, kekerasan tidak sama dengan membela mempertahankan hak hidup, berexistensi diri diatas tanah air sendiri, bumi Papua, dari kekerasan perampasan penjajah. Kalau begitu kekerasan itu apa? Kekerasan adalah mendiamkan penjajahan (Indonesia) yang merongrong hak hidup Orang Papua dalam kedaulatan yang berdaulat dengan menyatakan "damai".
Kita mengatakan "damai" padahal mereka membunuh. Kita mendiamkan dengan mengatakan perjuangan dengan damai, dari dan oleh, kekerasan penjajahan pihak musuh. Kita puaskan diri dengan menyatakan perjuangan damai, padahal penggunaan kekerasan oleh penjajah nyata dengan akibat korban pada diri kita karena penjajah menggunkan salah satu pendekatannya adalah dengan kekerasan.
Penjajah datang ke Tanah Air kita, Papua, dengan berbagai cara pendekatan. Penjajah (Indonesia dan sekutunya ekonominya) dewasa ini sedang menggunakan berbagai cara atau mengunakan seribu wajah pendekatan untuk menjajah Papua. Berbagai pendekatan yang ditempuh penjajah itu diantaranya, penyebaran penyakit HIV/AIDS, penembakan mematikan, pemerkosaan hak-hak asasi dengan pemekaran wilayah Papua, membawa masuk investor asing termasuk kasih uang dalam Otsus Papua dewasa ini.
Penjajah juga menggunakan kekerasan pada orang Papua lewat gereja dengan wajah pura-pura muka manis dengan kata damai, ataupun dengan menggunakan senjata oleh aparat TNI/POLRI, lewat lembaga sosial dengan menggratiskan pendidikan bagi yang muslim di YAPIS. Padahal mereka mereka mau terus menjajah Papua karena itu mereka sebagai penjajah menggunakan berbagai cara termasuk mengefektifkan institusi/lembaga sosial dan agama sebagai sarana untuk melakukan kolonisasi Papua Barat secara efektif dan berhasil dalam jangka waktu lama.
Tapi sesungguhnya semua saluran dengan berkedok apapun, itu semua adalah sumber segala sumber kejahatan. Kejahatan yang dibungkus dengan kemasan bantuan sosial, dengan pura-pura muka manis tapi itulah kejahatan atau kekerasan sesungguhnya bila kita menyadarinya. Mengapa, karena yang kita anggap sesuatu yang dipermukaannya damai dan baik, sesungguhnya mengandung virus yang akibatnya sangat fatal, mematikan.
Kekerasan bermula disini dan akibatnya adalah kelanggengan dan terpeliharanya kekerasan itu menjadi terus menerus. Kasih damai, mereka menyuguhkan kita dengan agama, itu semua mereka gunakan untuk menjajah dan mencuri harta kekayaan kita. Penjajah penempuh bukan dengan satu cara pendekatan kekerasan ataupun dengan bungkusan dengan berkedok damai.
b. Apa yang damai?
Dalam penjajahan tidak ada kata kedamaian, yang ada damai bila akibat sementara tapi sesungguhnya mengandung kekerasan berjangka panjang karena hal ini menyangkut mentalitas dan masa depan suatu bangsa, karenaya kekerasan yang dibungkus dengan kemasan "damai" adalah kekerasan yang berakibat fatal, karena resikonya mentalitas dan berjangka panjang.
Penjajahan dengan kata "damai" dapat berlangsung lama dan akibatnya permanent, karena itu kita banyak tidak menyadarinya, padahal akibat dengan bungkusan damai, sesungguhnya itu hakekat dari kekerasan yang paling gawat dan sangat mematikan dalam jangka waktu antar generasi. Kedok damai adalah bentuk kekerasan sesungguhnya, sebab dapat berakibat menjadi tidak menyisakan ruang dan tempat sedikitpun bagi masa depan bangsa terjajah (dalam hal ini kita Papua Barat), untuk punya hak menentukan masa depan sendiri.
Singkatnya, penjajah tidak semata-mata dengan satu cara, tapi coba Anda perhatikan! Penjajah menggunakan teori machiavelly, (menghalalkan segala cara dan berbagai cara), bahkan ribuan cara sudah ditempuh oleh penjajah (Indonesia) agar mempertahankan Papua sebagai koloninya, dan kekerasan bermula disini. Dan cara-cara itu yang dimaksudkan sebagai cara pendekatan kekerasan sesungguhnya, termasuk penggunaan institusi agama sebagai kedok kejahatan yang sesungguhnya dapat berakibat kekerasan karena akibat meninabobokan perhatian kita melawan penindasan dan wajah kita dipalingkan dengan alasan kita harus damai.
Kalau begitu apanya yang damai? Bahasa "perjuangan Damai" adalah salah satu cara yang mereka susun sebagai alat untuk memalingkan perhatian kita. Dan "perjuangan damai" alat mereka untuk terus menjajah dan menghabiskan kita. Karena itu mendiamkan penjajah dengan alasan damai adalah kekerasan. Pertanyaan berikutnya adalah: Kalau begitu siapa yang membiarkan kekerasan menjadi kekerasan baru lainnya dengan mengatakan yang lainnya adalah suatu kekerasan padahal bukan lain mempertahankan diri? Kita terlanjur disuguhi oleh budaya damai yang lain, bukan budaya damai sendiri, aman damai adalah jika sudah berdaulat, ada kebutuhan akan itu apabila kita sudah merdeka berdaulat, itulah aman damai. Tapi kekerasan diawali dengan kedok damai, dan itulah situasinya kini. Kalau begitu dimana damainya? Tidak ada, karena itu kita sulit menjawab.
PENDEKATAN PERJUANGAN
Oleh sebab itu perjuangan dengan pendekatan apapun oleh kita Rakyat Papua Barat, tidak bisa tidak, harus ditempuh untuk mengimbangi hegemoni kekerasan berkedok damai. Maka catatan penting saya disini adalah kita harus menempuh perjuangan dengan berbagai cara termasuk dengan cara pendekatan yang sudah ditempuh saat ini, entah itu apapun namanya seperti damai, kekerasan, diplomasi, demontrasi, dll semua harus ditempuh menuju kedamaian abadi Papua yang akan kita songsong yakni Papua Merdeka.
Tujuan Papua Merdeka adalah menciptakan kehidupan damai, tanpa ada pencurian, pembunuhan oleh penjajah dan perampokan kekayaan Papua oleh orang asing. Karena itu hakekat dari damai adalah kemerdekaan, kita belum merdeka berdaulat, dimana damainya? Tidak ada. Jisteru yang ada adalah kekerasan dan kekerasan yang kita tidak menyadarinya karena mereka membungkus kekerasan dengan bungkusan atau kemasan "damai".
Fatalisme adalah menerima apa adanya dengan diam, tanpa mau usaha mempertanyakan untuk dipertimbangan aspek kebenarannya. Umumnya kita menerima itu sebagai keputusan yang dari "sana"nya sudah ditentukan demikian adanya karena itu kita menerima begitu saja. Dalam paham agama (islam), misalnya sabar, tawakkal, dengan campur aduk, tidak begitu jelas, kita menerima nasehat untuk sabar dan menerima suatu musibah toh, itu semua sudah rencana Tuhan! Umumnya kita tidak mau mampu memahami atau membedakannya, karena itu kita terima omongan orang yang sering mengatakan kepada orang yang kena musibah dengan kata-kata ini, ini semua kehendak Tuhan kita harus tabah, sabar, akrena ada saatnya nanti kita akan misalnya Papua dimerdekakan oleh Tuhan.
Tapi menurut saya faham ini sebaiknya tidak tepat disuapkan untuk diterapkan pada konteks sosial politik Papua dewasa ini. Karena hal seperti ini tidak ada usaha, tapi diam dan menerima semua keputusan sebagai suatu keadilan Tuhan. Kalau begitu logikanya jika kita menerima Otsus (PDP/DAP, sudah kembalikan), adalah keadilan dan "kebaikan" yang patut kita terima tanpa mau mengoreksi itu sebagai baik.
Padahal semua keputusan menurut saya ada ditangan manusia, dan kita berhak mengatakan itu untuk membangun masa depan suku dan bangsa yang adalah diri dan keluarga kita sendiri. Filsafat Yunani mengatakan Panta rei, semua berubah, karena itu kita jangan ada sikap memutlakkan sesutau apalagi itu pendekatan Perjuaqngan Papua seperti satu kali untuk selamnya, sesutu yang akibatnya naif dan fatal. Padahal zaman dari detik ke detik terus berubah.
Karena itu berbahaya bagi masa depan Papua yang mengatakan damai atau kekerasan, sebagai sesuatu yang dianggap inti padahal itu hanya sarana. Perjuangan adalah kata kunci, tapi damai ataupun kekerasan adalah proses pelaksanaan kerja, kerja perjuangan. Pendekatan perjuangan damai atau kekerasan bukan tujuan tapi hanya jalan menuju kedamaian abadi yakni Papua merdeka. Karena itu damai dan kekeran adalah bukan tujuan diri sendiri, maka jalan manapun, dan kita terus membuat jalan baru untuk bisa lebih cepat sampai, agar kita cepat tiba pada tujuan menuju kedamaian abadi, Papua Merdeka. Namun kenapa dengan biasa misalnya seperti satu kali jadi untuk selamanya, adalah suatu ideologi tertutup, oleh karena itu biasanya ketinggalan zaman, terbelakang, contohnya negara komunis unisoviet, akibatnya karena usang runtuh atau membubarkan diri.
Kembali menyangkut pendekatan Papua Merdeka dalam hal ini saya berpendapat bahwa 'Papua Merdeka' selain dengan jalan perjuangan damai dalam pengertian PDP dan DAP, perjuangan secara sporadis sebagaimana TPN/OPM yang mau menunjukkan exsistensinya juga penting tetap diberi tempat, kalau boleh malah didukung penuh.
Namun ini tidak melupakan bahwa perjuangan dengan pendekatan lain misalnya, aksi demo mahasiswa, minta suaka para incaran aparat penjajah kenegara lain, lobby di negara lain oleh para wakil-wakil papua diluar yang berasal dari mahasiswa atau utusan khusus untuk itu, dialog, mogok kerja, singkatnya bahwa pendekatan Papua Merdeka bukan satu-atau hanya ada dua cara (kekerasa atau damai), tapi banyak cara, termasuk pendekatan lewat tulisan seperti ini, adalah pendekatan perjuangan yang dimaksudkan itu.
Kita jangan ketinggalan zaman, tertutup, ekslusif, sekali untuk selamanya dengan pola pikir fatalistis, menjadi, akhirnya tidak ada perubahan, padahal zaman selalu terus berubah. Dan ada saatnya nanti revolusi dengan memobilisasi umum rakyat Papua atau dengan aksi mogok kerja adalah diantara dari sekian cara pendekatan Papua menuju pintu gerbang kedamaian abadi, Papua Merdeka.
Format atau bentuk pendekatan Pembebasan Tanah Papua Barat, masih menjadi perdebatan para konseptor, diantara dua pendekatan, jalan mana yang lebih tepat dipilih, apakah jalan "perjuangan damai" ataukah jalan "kekerasan". Perdebatan masih berlangsung sampai tulisan ini dibuat, dan antara para elit intelektual Papua belum ada kesepakatan bersama, jalan mana idealnya harus ditempuh untuk membebasakan Tanah Papua Barat yang telah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961 itu.
Dari beberapa sumbangan pemikirannya, agaknya Peter Efraim dan Hendrik Ayamiseba menyampaikan pandangannya cukup "netral", dalam artian tidak terjebak dalam melihat soal "Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' dengan tidak memutlakkan salah satu dari dua pilihan pendekatan sebagai satu-satunya solusi pendekatan yang harus ditempuh. Dengan demikian kedua pejuang pemikir Papua ini, seakan memposisikan diri dalam posisi nyaman, tanpa mengambil resiko berpolemik dengan sesama penggiat 'Pembebasan Tanah Papua Merdeka'.
Namun Saudara saya (lebih tepat Tuan) Yosep Rumasep, secara agak "emosional", tapi dengan tegas menolak, jalan "kekerasan". Dengan mengingatkan kita bersama bahwa jalan itu adalah sama saja dengan menjerumuskan rakyat kita, Papua Barat, mati tanpa kita hadir di front depan memimpin mereka dengan sikap berani, tapi hanya berdiri dibelakang layar internet/komputer berteriak dan hanya menganjurkan rakyat Papua untuk mennempuh jalan kekerasan tanpa kita sendiri sebagai penggagas terlibat langsung. Karena itu tidak baik disini kita menganjurkan orang untuk menggunakan kekerasan, dalam 'Pembebasan Tanah Papua'.
Berbeda dengan ketiga pejuang Papua diatas, Tuan David Haluk dan Oktavianus Takiamai secara samar tidak setuju pendekatan "kekerasan" tapi mentoleransi 'Pendekatan pembebasan Tanah Papua' sementara yang ditempuh oleh TPN/OPM saat ini dan akan datang ini sebagai amanat kongres TPN/OPM dirimba raya beberapa waktu lalu. Karena itu kita mengerti dua laki-laki dari "pasukan koteka" Pegunungan Tengah ini, disatu sisi tidak setuju tapi disisi lain orang tua mereka sudah memulai dengan pendekatan cara mereka sendiri. Cara pendekatan yang mereka tempuh itu difahami kaum intelek sebagai pendekatan "violence" yang penuh resiko dengan korban rakyat banyak berjatuhan nanti.
Dari kedua kelompok komentator yang disebut kelompok pertama dan yang paling terakhir dapat disimpulkan memiliki perspektif yang sama, walaupun menggunakan redaksi berbeda, namun membahasakan dengan tingkat penghayatan dan keterlibatan emosi berbeda, namun tujuan mereka sama, 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' tidak dengan cara kekerasan. Tetapi juga tidak secara tegas, mereka, menolak apalagi menyalahkan pendekatan yang dicoba dimulai di Mulia oleh TPN/OPM. Para komentator umumnya dalam komentar mereka, hanya basa-basi tapi tidak secara tegas kalau setuju alasan ini, dan kalau menolak alasannya ini, adalah suatu sikap keragu-raguan yang sesungguhnya tidak memberi manfaat, apalagi, dapat dikatakan menguntungkan bagi Papua Barat kedepan.
Mengomentari dengan bahasa dan cara "penuh kebijakan" sepintas lalu menetramkan, tapi akibatnya membuat kita ragu-ragu, dan ini resikonya cara berkomentar seperti ini. Karena memiliki implikasi kurang baik buat masyarakat awam karena kurang memilki ketegasan, 'Ya, apa,'Tidak. Apalagi buat masyarakat kita biasanya, bikin, ka.. ato, Tidak! Itu masalahnya, jadi, kalo ko mo' Merdeka, Bikin.. bikin to.. Barang apa jadi!
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat umun biasanya menunggu komando. Kalau begitu kesimpulannya kedua kelompok pertama dan terakhir ragu-ragu, bahkan tidak memberikan alternatif lain jikalau mereka tidak menyetujui pendekatan TPN/OPM sebagai mana di Mulia sebagai pendekatan "Perjuangan Babak Baru" Pembebasan Tanah Papua. Disini semakin menambah ketidak jelasan bagi kita, jalan mana yang sebaiknya harus ditempuh menuju 'Pembebasan Tanah Papua itu, memang semakin runyam urasannya.
Tapi ada yang lebih menarik dari mereka adalah bahwa; keduanya sepakat dan menganggapnya bahwa 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' sebagaimana ditempuh TPN/OPM dapat dimaklumi dan menganggap cara ini adalah sebagai jalan lain menjawab sementara jalan kebuntuan PDP/DAP, sehingga TPN/OPM sebagai sayap militer dianggap wajar melakukan pendekatan' Pembebasan Tanah Papua' dengan pendekatan yang telah dimulai di Mulia sebagai pendekatan wajar. Sekalipun semuanya sepakat dengan mengatakan bahwa, menolak pendekatan Pembebasan Tanah Papua dengan Kekerasan.
Tapi hal ini sangat menarik dan apresiasi saya buat saudaraku, Tuan Yosep Rumasep, walaupun tidak secara langsung, tapi dalam nada lain, tegas menolak, pendekatan perjuangan Pembebasan Papua dengan kekerasan. Demikian dengan tegas Tuan Yosep Rumasep, sebagaimana juga sejak lebih dini ditolak Freedom dalam merespon tulisan atau komentar biasa saya (Ismail Asso), dalam apa yang saya sebut sebagai: "TPN/OPM : Perjuangan Babak Baru".
Hanya sayang, Tuan Freedom, dan Yosep Rumasep tidak memberikan solusi altertif lain dari dua pendekatan yang senantiasa menjadi polemik pejuang pemikir Papua itu. Maka rasa apresiasi kita terasa kurang lengkap jika memang komentar tanpa memberikan solusi alternatif, sebagaimana Oktovianus Takimai dan Hendrik Ayamiseba (jikapun mereka ini lebih Ok lagi kalau mampu lobby Amerika), karena itu simpati saya pada Komentar Tuan Peter Efraim yang nertal walaupun tanpa solusi pemikiran juga.
Demikian dalam pekan ini, "suatu perdebatan hangat", untuk mencari 'Format Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' oleh para intelektual Papua. Menarik sekali untuk diikuti dan saya pribadi sangat interesting dan menganggapnya sebagai salah satu wacana (dialektika) penting, guna mencari format ideal pendekatan Pembebasan Tanah Papua oleh "anak-anak Papua" sendiri dalam mencari titik persamaan untuk menentukan arah dan kebijakan perjuangan dari kenyataan dead loc PDP/DAP, sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan dalam agenda, Pelurusan sejarah Papua, (amanat, Kongres ke II, 2001), yang merdeka dan berdaulat penuh pada tanggal 1 Desember 1961.
Stagnasi keadaan demikian menjadi alasan wajar bahwa TPN/OPM sebagai sayap militer dan sebagai oraganisasi perlawanan utama menarik kembali mandatnya dari PDP/DAP yang dianggap gagal memperjuangkan dan membawa Papua untuk berdaulat penuh. Bahkan Rakyat Papua melalui TPN/OPM menganggap selain Thoha Al-Hamid dan kawan-kawannya yang masih eksis di PDP/DAP, telah mengkhianati aspirasi dan Amanat Rakyat Papua. stagnasi dan keadaan dead loc demikian menjadi alasan masuk akal bagi kita, kenapa, TPN/OPM yang dalam kongresnya mengeluarkan sebuah resolusi yang isi diantaranya itu mencabut kembali mandat yang pernah diberikan kepada PDP/DAP, dalam kongres ke II Papua tahun 2001. (Bersambung)
Akhir Kalam
Perdebatan masih lanjut, tapi paling penting adalah pemikiran secara holistik, agar bagaimana, berarti cara yang harus dilakukan, untuk menempuh, diantara jalan mana, dari kebuntuan dan polemik dari dua jalan, adalah yang terpenting disini, tanpa mengedepankan egoisme dan menyerang sesama yang itu dapat meruntuhkan dan semakin membuat jarak antara sesama Papua untuk mengambil jalan mana sebaiknya untuk disepakati bersama dalam usaha perjuangan' Pembebasan Tanah Air Papua Barat.
Selamat berjuang lewat jalan manapun untuk menuju kedamaian abadi,
Papua Merdeka.