Sungguh, saya selaku Orang Papua, tetap terikat
ikatan primorfialisme Papua saya, mungkin termasuk
juga dengan perjanjian parah tokoh agamawan yang
menyatakan bahwa Tanah Papua sebagai zona damai.
Namun saya sebagai "orang muda" yang penuh gejolak
dan semangat perjuangan untuk pembebasan Tanah Airku
Papua Barat, merasa ada yang ingin disampaikan
beberapa hal untuk dipertimbangan kembali tapi tidak
untuk diikuti, karena ini bukan anjuran, hanya
sekedar mengingatkan dampak tidak langsung dari
akibat apa yang oleh para tokoh agamawan Perjuangan
Damai dalam pembebasan Papua.
Padahal untuk menciptakan Papua sebagai zona
damai harus dengan perlawanan. Karena kenyataan
sesungguhnya Papua tidak damai adanya selama tidak
pernah ada keldaulatan. Herankah pembohongan para
tokoh Agama ini? Papua sebagai zona damai, dan
ketetapan para tokoh agamawan bahwa perjuangan Papua
Merdeka ditempuh dengan perjuangan damai. Oleh sebab
itu sekarang dan selanjutnya kita menempuh
perjuangan Papua dengan cara-cara damai.
Tapi sadarkah kita bahwa masing-masing keputusan
selalu memiliki konsekuensinya sendiri? Konsekonsi
yang saya maksudkan disini adalah menciptakan sikap
lemah dan kalah. Maksud sebenarnya, karena itu, ini
paling berbahaya, apalagi masih hidup, dipelihara,
dan masih bernapas pada abad mutakhir diera ilmu
pengetahuan dan tekhnologi ini untuk memelihara
makluk yang namanya perbudakan, manusia dengan
mentalitas budak, takut, rendah diri, dan memelas
kasihan.
Demikian penilaian saya sebagai orang awam bahwa,
konsekuensi tidak langsung keputusan Papua Tanah
Damai oleh para agamawan, sama saja dengan
perbudakan manusia Papua dan menjauhkan mereka dari
diri mereka, tidak mengembangkan diri,budaya dalam
konteks perampasan hak dan kemerdekaan diri mereka
sama dengan menjauhkan mereka dari diri mereka.
Nyatnya kita masih saja mau melangengkan dari
penghapusan sistim buruk yang tidak manusiawi antar
sesama manusia. Padahal perbudakan sudah dihapus
ratusan tahun yang lalu, karena itu tidak boleh ada
makhluk yang namanya PERBUDAKAN, apalagi itu di
Papua yang dengan latar belakang budaya mereka yang
yang tahu harga diri, dan penguasa-penguasa alam
yang tangguh.
Perang Dalam Budaya Papua= Agama
Perlawanan dengan cara yang ditetapkan para
tokoh agama Papua dapat berdampak menciptakan
mentalitas manusia Papua budak dan lemah. Dipandang
dari sudut budaya Papua ketetapan dan pesan moral
para agamawan sesungguhnya sangat bertentangan.
Padahal menurut saya agama adalah gejala baru bagi
orang Papua. Orang Papua mayoritas bermukim di
Pegunungan Tengah Papua masih menjaga adat mereka.
Orang Pegunungan Tengah masih sangat berat dan erat
kuat pengaruhnya dalam adat mereka terus berlangsung
kini. Mereka masih menghayati nilai-nilai utama
leluhur mereka dengan perang sebagai sendi kehidupan
dan kesuburan. Misalnya di Wamena, Suku Dani, perang
memegang peran sentral dalam tatanan nilai kehidupan
sosial agama, ekonomi dan politik. Agama bagi mereka
adalah perang.
Karena itu Walowak, adalah kematian asal yang selalu
meminta dan menuntut tumbal. Tuntutan dan permintaan
pembalasan sebagai tumbal oleh walowak, menjadi
lembaga keagaman adat dan kepercayaan (religi) yang
disebut dengan Kaneke. Kaneke yang disimpan Honay
adat, tabu, suci, karena itu bagi perempuan,
anak-anak tidak dapat masuk Honay sebagai lembaga
adat. Ap Warek, adalah jumlah tumbal korban yang
lalu tersimpan rapi di honay.
ikatan primorfialisme Papua saya, mungkin termasuk
juga dengan perjanjian parah tokoh agamawan yang
menyatakan bahwa Tanah Papua sebagai zona damai.
Namun saya sebagai "orang muda" yang penuh gejolak
dan semangat perjuangan untuk pembebasan Tanah Airku
Papua Barat, merasa ada yang ingin disampaikan
beberapa hal untuk dipertimbangan kembali tapi tidak
untuk diikuti, karena ini bukan anjuran, hanya
sekedar mengingatkan dampak tidak langsung dari
akibat apa yang oleh para tokoh agamawan Perjuangan
Damai dalam pembebasan Papua.
Padahal untuk menciptakan Papua sebagai zona
damai harus dengan perlawanan. Karena kenyataan
sesungguhnya Papua tidak damai adanya selama tidak
pernah ada keldaulatan. Herankah pembohongan para
tokoh Agama ini? Papua sebagai zona damai, dan
ketetapan para tokoh agamawan bahwa perjuangan Papua
Merdeka ditempuh dengan perjuangan damai. Oleh sebab
itu sekarang dan selanjutnya kita menempuh
perjuangan Papua dengan cara-cara damai.
Tapi sadarkah kita bahwa masing-masing keputusan
selalu memiliki konsekuensinya sendiri? Konsekonsi
yang saya maksudkan disini adalah menciptakan sikap
lemah dan kalah. Maksud sebenarnya, karena itu, ini
paling berbahaya, apalagi masih hidup, dipelihara,
dan masih bernapas pada abad mutakhir diera ilmu
pengetahuan dan tekhnologi ini untuk memelihara
makluk yang namanya perbudakan, manusia dengan
mentalitas budak, takut, rendah diri, dan memelas
kasihan.
Demikian penilaian saya sebagai orang awam bahwa,
konsekuensi tidak langsung keputusan Papua Tanah
Damai oleh para agamawan, sama saja dengan
perbudakan manusia Papua dan menjauhkan mereka dari
diri mereka, tidak mengembangkan diri,budaya dalam
konteks perampasan hak dan kemerdekaan diri mereka
sama dengan menjauhkan mereka dari diri mereka.
Nyatnya kita masih saja mau melangengkan dari
penghapusan sistim buruk yang tidak manusiawi antar
sesama manusia. Padahal perbudakan sudah dihapus
ratusan tahun yang lalu, karena itu tidak boleh ada
makhluk yang namanya PERBUDAKAN, apalagi itu di
Papua yang dengan latar belakang budaya mereka yang
yang tahu harga diri, dan penguasa-penguasa alam
yang tangguh.
Perang Dalam Budaya Papua= Agama
Perlawanan dengan cara yang ditetapkan para
tokoh agama Papua dapat berdampak menciptakan
mentalitas manusia Papua budak dan lemah. Dipandang
dari sudut budaya Papua ketetapan dan pesan moral
para agamawan sesungguhnya sangat bertentangan.
Padahal menurut saya agama adalah gejala baru bagi
orang Papua. Orang Papua mayoritas bermukim di
Pegunungan Tengah Papua masih menjaga adat mereka.
Orang Pegunungan Tengah masih sangat berat dan erat
kuat pengaruhnya dalam adat mereka terus berlangsung
kini. Mereka masih menghayati nilai-nilai utama
leluhur mereka dengan perang sebagai sendi kehidupan
dan kesuburan. Misalnya di Wamena, Suku Dani, perang
memegang peran sentral dalam tatanan nilai kehidupan
sosial agama, ekonomi dan politik. Agama bagi mereka
adalah perang.
Karena itu Walowak, adalah kematian asal yang selalu
meminta dan menuntut tumbal. Tuntutan dan permintaan
pembalasan sebagai tumbal oleh walowak, menjadi
lembaga keagaman adat dan kepercayaan (religi) yang
disebut dengan Kaneke. Kaneke yang disimpan Honay
adat, tabu, suci, karena itu bagi perempuan,
anak-anak tidak dapat masuk Honay sebagai lembaga
adat. Ap Warek, adalah jumlah tumbal korban yang
lalu tersimpan rapi di honay.