Sabtu, 1 Disember 2007

MENEMBUS BATAS MENTALITAS LEMAH DAN BUDAK

Sungguhpun kita bebas, akhirnya juga tetap saja kita terikat dengan ikatan primorfialisme Papua, mungkin termasuk juga dengan perjanjian parah tokoh agamawan yang menyatakan bahwa Tanah Papua sebagai zona damai.

Namun sebagai "orang muda" yang penuh gejolak dan semangat perjuangan untuk pembebasan Tanah Airku Papua Barat, merasa ada yang ingin disampaikan beberapa hal untuk dipertimbangan kembali tapi tidak untuk diikuti, karena ini bukan anjuran, hanya sekedar mengingatkan dampak tidak langsung dari akibat apa yang oleh para tokoh agamawan Perjuangan Damai dalam pembebasan Papua.

Padahal untuk menciptakan Papua sebagai zona damai harus dengan perlawanan. Karena kenyataan sesungguhnya Papua tidak damai adanya selama tidak pernah ada keldaulatan. Herankah pembohongan para tokoh Agama ini? Papua sebagai zona damai, dan ketetapan para tokoh agamawan bahwa perjuangan Papua Merdeka ditempuh dengan perjuangan damai. Oleh sebab itu sekarang dan selanjutnya kita menempuh perjuangan Papua dengan cara-cara damai.

Tapi sadarkah kita bahwa masing-masing keputusan selalu memiliki konsekuensinya sendiri? Konsekuensi yang saya maksudkan disini adalah menciptakan sikap lemah dan kalah. Maksud sebenarnya, karena itu, ini paling berbahaya, apalagi masih hidup, dipelihara, dan masih bernapas pada abad mutakhir diera ilmu pengetahuan dan tekhnologi ini untuk memelihara makluk yang namanya perbudakan, manusia dengan mentalitas budak, takut, rendah diri, dan memelas kasihan.

Demikian penilaian saya sebagai orang awam bahwa, konsekuensi tidak langsung keputusan Papua Tanah Damai oleh para agamawan, sama saja dengan perbudakan manusia Papua dan menjauhkan mereka dari diri mereka, tidak mengembangkan diri,budaya dalam konteks perampasan hak dan kemerdekaan diri mereka sama dengan menjauhkan mereka dari diri mereka.

Nyatanya kita masih saja mau melanggengkan dari penghapusan sistim buruk yang tidak manusiawi antar sesama manusia. Padahal perbudakan sudah dihapus ratusan tahun yang lalu, karena itu tidak boleh ada makhluk yang namanya PERBUDAKAN, apalagi itu di Papua yang dengan latar belakang budaya mereka yang yang tahu harga diri, dan penguasa-penguasa alam yang tangguh.

Perang Dalam Budaya Papua= Agama

Perlawanan dengan cara yang ditetapkan para tokoh agama Papua dapat berdampak menciptakan mentalitas manusia Papua budak dan lemah. Dipandang dari sudut budaya Papua ketetapan dan pesan moral para agamawan sesungguhnya sangat bertentangan. Padahal menurut saya agama adalah gejala baru bagi orang Papua. Orang Papua mayoritas bermukim di Pegunungan Tengah Papua masih menjaga adat mereka.

Orang Pegunungan Tengah masih sangat berat dan erat kuat pengaruhnya dalam adat mereka terus berlangsung kini. Mereka masih menghayati nilai-nilai utama leluhur mereka dengan perang sebagai sendi kehidupan dan kesuburan. Misalnya di Wamena, Suku Dani, perang memegang peran sentral dalam tatanan nilai kehidupan sosial agama, ekonomi dan politik. Agama bagi mereka adalah perang.

Karena itu Walowak, adalah kematian asal yang selalu meminta dan menuntut tumbal. Tuntutan dan permintaan pembalasan sebagai tumbal oleh walowak, menjadi lembaga keagaman adat dan kepercayaan (religi) yang disebut dengan Kaneke. Kaneke yang disimpan Honay adat, tabu, suci, karena itu bagi perempuan, anak-anak tidak dapat masuk Honay sebagai lembaga adat. Ap Warek, adalah jumlah tumbal korban yang selalu tersimpan rapi di honay.

Walowak selalu menuntut pembalasan untuk menjaga relasi dengan arwah leluhur, kesuburan, keberlangsungan exisntence marga, dan hidup. Perang bagi suku Dani erat hubungannya dengan keberadaan diri, eksistensi. Perang bagian dari adat dan nilai adat masih dihayati orang Dani di Lembah Baliem, mereka menghayati nilai budaya mereka dalam masa kini.

Agama tidak begitu berpengaruh bagi mereka akan kepercayaan dan penghargaan mereka pada adat. Mereka juga sangat menghargai nilai kebaikan agama tapi pengaruh itu baru dalam tahun-tahun belakangan diera pembangunan ini. Hal ini tidak menghalangi mereka menghayati perang adalah bagian dari kepercayaan.

Perang bagi budaya Papua di Jayawijaya oleh Myron Bromly, seorang ahli agama sekaligus ahli linguis Papua dan antropolog asal Amerika dan terakhir tinggal di Tangma, Kurima (kini Kab. Yahukimo) dan sempat menerjemahkan Injil Matius dalam bahasa itu, menyatakan dalam menjelaskan perbedaan religi dan agama. Menurutnya dalam judul karangannya 'Religi Baliem Selatan' itu Perang bagi orang Dani, di Wamena adalah agama.

Perang dalam budaya Papua sama dan identik dengan agama bagi orang lain. Demikian pengamatan para ahli antropologi yang melakukan penelitian terhadap budaya dan kepercayaan (religi) pada masyarakat pasifik utamanya di Papua Barat dan PNG menunjukkan hal ini. Karena itu perang bagi orang Papua bagian dari kesucian untuk memelihara nilai-nilai luhur dan kesuburan.

Perang selalu bersendi polytheisme maka perang agama adalah inti dari agama polytheisme dalam seluruh kebudayaan Papua sebagaimana laporan para ahli seperti Jan Boelaars, dengan sangat baik menggambarkan ini dalam agama tradisi mengayau di Merauke dan Perang suku Dani di Wamena.

Tunduk Ditindas atau Bangkit Melawan!

Perbudakan mentalitas kini terjadi pada diri orang Papua, oleh akibat keputusan agamwan yang menyatakan aman damai dalam perjuangan sangat berdampak sekali terlihat dalam diri orang Papuadi masa ini dan kedepan bagi penciptaan mentalitas manusia Papua yang lemah dan takut. Dan ini sangat berbahaya bagi masa depan dan penghinaan manusia sebagai makluk Tuhan yang mulia antar sesama makhluk manusia.

Kuat dugaan saya ada kekeliruan para agamawan dalam memutuskan keputusannya. Tapi keputusan para agamawan sebagai pesan moral, tentu kita hargai dan junjung tinggi, dan kita semua memakluminya. Hanya secara etika tidak ada paksaan dalam kebaikan untuk dianut semua betapapun kebaikan itu bermanfaat, karena kebaikan manusia selalu kebaikan subyektif yang relatif.

Karena itu diantara kita komunitas papua tidak boleh merasa terikat dengan keputusan para moralis ini. Tapi sebagai tanggungjawab moralitas, pesan mereka tentu baik adanya, tapi tidak memaksakan karena disini berbenturan dengan soal hak asasi manusia. Etika Yunani mengajarkan, Benevolence diktatorhip misalnya atas dasar apa, dan sejauh mana, kebaikan, sekali lagi atas nama kebaikan, kebaikan kita memaksakan kepada orang lain?

Kita sudah terlanjur memutlakkan sesuatu yang sesungguhnya relatif belaka. Relatifitas manusia selalu mengandaikan subyektifitas kebenarannya. Kebenaran sendiri bagi manusia adalah hanyalah kebenaran relatif yang dibatasi oleh tempat dan waktu senantiasa. Yang abadi adalah kebenaran itu sendiri.

Panta rei, selamanya berubah, semua apapun yang duniawi selalu berubah, yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Karena itu Perjuangan damai dalam pembebasan tanah Air Papua Barat, demikian dianjurkan para tokoh agamawan, bagi kita tidak harus mengikat.

Karena bertentangan dengan nilai dasar manusiawi, seperti pertanyaan etika Filsafat Yunani, perjuangan damai itu baik, tapi, betapapun perjuangan damai itu baik, atas dasar apa kita manusia memaksa kebaikan kita kepada orang lain? Apalagi hal itu betul baikkah bagi orang Papua? Atau benarkah perjuangan damai bermanfaat bagi orang Papua?

Tentu otoritas moralitas mereka berhak menyatakan ini, tapi tidak berhak memaksakannya kepada orang lain, apalagi akibatnya belum pasti benar dan bermanfaat baik bagi keberlangsungan mentalitas manusia, tapi hanya menciptakan mentalitas orang Papua budak, lemah dan kalah. Kita terlanjur memasarkannya tapi kita tidak secara bijaksana mempertimbangkan aspek lokalitas budaya yang kompleks dan tidak selalu sejalan dengan nilai kebaikan lain.

Suatu ketika pemerintah Indonesia, melarang perang suku antar sesama suku Dani di Lembah Baliem, Wamena. Orang Wamena, heran dan tidak percaya; Kalau kami dilarang perang kalau begitu, kami ini siapa?.

***