Sabtu, 9 April 2011

PAGUYUBAN ETNIS PERSPEKTIF ISLAM




Ismail Asso*

Muqaddimah



Tulisan ini secara spesifik mau soroti aspek positif-negatif fenomena pelembagaan (institusionalisasi) etnis, paguyuban, serta sejauh mana peran dan fungsi ormas islam Papua diharapkan harusnya. Mengingat umat islam Papua yang populasinya kian hari kian bertambah seiring arus urbanisasi, tiap minggu mengangangkut orang baru (kebanyakan muslim) masuk melalui kapal putih, dan itu terjadi sesuai perkembangan waktu dan kebijakan politik pusat, diprediksi terus bertambah masa mendatang.



Hal itu membawa implikasi destructive dan contructive sekaligus. Destructive karena nilai positif genuine local musnah oleh unsure asing baru. Unsur baru itu agama dan nilai dominasi hegemoni budaya Melayu-Asia. Kasus seperti ini pernah dikeluhkan Partai Hijau dan warga Australia. Laporan penelitian para ahli menunjukkan populasi penduduk asli Papua menurun diketahui melalui jurnal ilmiah. Maka ada kekhawatiran orang Papua ter-ekspresi dalam buku judul “Tenggelamnya Ras Melanesia” (Sendius Wonda, 2008). Pendeta Sofyan Yoman dan Benny Giay mungungkap fakta partial soal ini. Namun fakta lain agama berperan aktif hancurkan budaya Papua.



Selain hegemoni nilai Asia, melalui Missionaris Barat agama telah lama berperan membasmi budaya Papua. Atas nama kebenaran, Missionaris sangat bertanggungjawab musnahnya Adat-Budaya Papua. Agama sumber utama kehancuran budaya local karena meng-cliem dirinya berhak mengajar kebaikan dan memonopoli kebenaran. Karena itu penyebaran agama harus mampu menjaga diri agar tidak merusak adat-budaya local sehingga terpelihara sebagai khasanah kekayaan budaya local.



Selain bernilai negative, transformasi nilai-nilai baru, banyak terdapat segi nilai positifnya. Maka kedepan transformasi nilai baru dan asing harus dicontrucsi sesuai kearifan nilai lokal. Maka penegakan HAM dan demokrasi Papua menjadi penting disini. Demikian bagaimana survival masa depan umat islam dan keislaman Papua. Maka konsep baru paradigma ormas islam harus dirancang sedemikian rupa sesuai nilai-nilai local. Karena kalau kita diamati nilai-nilai budaya asli Papua dan Islam lebih banyak persamaan daripada perbedaannya.



Demikian ini penting diperhatikan agar kedepan jangan terjadi gesekan tatkala bersentuhan dengan yang lain dan baru. Filsafat Yunani mengajarkan bahwa segala sesuatu dalam keadaan terus berubah (pante rei), tidak ada yang abadi, yang abadi adalah perubahan itu sendiri, semua nisbi. Ini mengandaikan pada kita bahwa pendekatan baru ormas islam Papua sesuai perkembangan waktu dan tempat yang senantiasa berproses terus berubah. Bagaimana seharusnya pendekatan baru (paradigm) Ormas Islam Papua kedepan agar tetap survive?



Disini tantangan baru intelektual muslim Papua. Sumbangan pikiran segar dan baru meretas jalan menuju Papua bersama diharapkan. Menjawab tantangan dan harapan dalam proses transisi Papua tak menentu atau menentu terus tak menentu. Mengingat itu dan kenyataan ini, kita sudah disini dan terus disini, agar itu begitu, kalau begitu bagaimana menatanya? Tanggungjawab intelektual Muslim Papua me-rekontruksi paradigm baru dalam pluralitas Papua hukumnya fardhu kifayah.



Selain intelectual exsercise terpenting disini adalah menggali wawasan perspektif khasanah intelektual Islam par exelance. Untuk memperbaharui diri dalam pluralism Papua lebih substansial. Rekontruksi paradigm baru Ormas Islam sesuai nilai-nilai utama bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan me-rekontekstualisasi nilai-nilai itu dalam alam nyata pluralitas Papua.



Jahiliyah Modern



Diketahui dewasa ini jumlah populasi umat Islam Papua secara keseluruhan cukup besar. Muslim urban mendominasi sector perekonomian dan jasa, tersebar diperkotaan. seluruh Papua-Papua Barat. Jika potensi mereka disatukan, maka kedepan sangat besar pula pengaruhnya, sehingga sangat potensial menjadi penentu kecenderungan kepemimpinan Papua kedepan. Potensi kaum muslimin urban (muhajirin, pendatang atau amber) itu yang umumnya tersebar diperkotaan dikedua Wilayah Papua-Papua Barat, jika dikelola dengan baik maka sangat menetukan pembentukan etika islam.



Untuk itu disini penulis mencoba memberikan sumbangan pikiran bagaimana kiat-kiat konsolidasi paling mungkin untuk menjaga soliditas umat. Penulis hanya mau membagi pengalaman-bukan berarti mau menggurui tapi sekedar memberi inspirasi sambil menyadarkan umat Islam Papua agar dapat terhindar dari anasir sektarianisme negative, bukan saja sebagai sumber pemicu terpecahnya potensi Umat Islam Papua tetapi lebih dari itu bahaya konflik horizontal antar etnis hingga biasanya menjalar sebagaimana pengalaman Ambon,Maluku sebelum ini, konflik etnis selalu meningkat dari etnis menjadi konflik agama. Demikian bisa dipastikan, dan itu paling mungkin, jerat-jerat itu tumbuh, dimiliki Papua penting diwaspadai bersama.



Dalam perspektif Islam mungkin gejala tumbuhnya paguyuban etnis kedaerahan boleh jadi negative, karena gejala demikian itu bisa disebut sebagai gejala jahiliyyah modern. Terlepas maksud baik dan tujuan positif menghidupkan gejala jahiliyyah moder ini (paguyuban etnis). Pengalaman menunjukkan mudharatnya lebih banyak dari manfaat. Berangkat dari beberapa kasus pengalaman mendahului kita, misalnya dalam pemilihan Wali Kota Jayapura sebelum ini Parpol Islam seringkali tidak sanggup menghindarkan diri dari kecenderungan intervensi dominasi hegemoni etnis.



Maka yang terpenting saat ini disini untuk kedepan adalah Islam dan umat Islam Papua harus menjauhkan diri dari sentiment primordialisme sempit seperti itu. Karena hal seperti itu sesungguhnya telah dihapus dengan datangnya Islam. Islam hadir meleburkan semua aspek tatanan nilai sektarianisme primordial itu sebagai ciri masyarakat jahiliyyah pra Islam. Karena itu umat islam kedepan harus kembali pada nilai-nilai utama islam. Kehadiran Islam telah mereformasi semua aspek primordialisme jahiliyyah pra Islam seperti itu.



Fenomena menjamurnya pembentukan ikatan paguyuban primordial etnis kedaerahan oleh sebahagian masyarakat urban Papua sebagai gejala bahaya baru karena dalam dirinya menyimpan potensi konflik. Paguyuban bisa ada manfaatnya apabila tujuan bersama anggota yang ingin dicapai misalnya arisan bulanan, koperasi simpan pinjam sesama anggota etnik, permodalan usaha uang dari iuran wajib bulanan anggota dan sejenisnya.



Tujuan baik lain agama dalam paguyuban adalah pengurusan mayit, pengajian bulanan dsb. Tapi tetap ada unsure subhatnya, karena secara aqidah islamiyyah madharatnya (berbahayanya) lebih besar daripada manfaatnya, bahkan aqidah murni islam gejala seperti itu sesungguhnya dikhawatirkan didalamnya ada benih-benih -ini penilaian subyektif penulis - kemusyrikan modern. Naudhubillahi mindzalik!



Namun kenyataan kita lihat sebaliknya, mulai membudayanya umat Islam Papua gemar buat paguyuban, sebagai ciri masyarakat jahiliyyah modern, yang itu sesungguhnya telah dihapus Nabi 15 abad lalu sebagai sebuah kenyataan ciri masyarakat pra modern, terlepas dari alasan baik-buruk atau ada tujuan positif diharapkan terbentuknya paguyuban itu dibentuk disana. Jika itu ditunggangi tujuan politik pragmatis maka itu sesungguhnya melemahkan dan merugikan umat Islam Papua itu sendiri dikala kebutuhan kekompakan menghadapi momentum pemilukada dan lebih khusus da’wah islamiyah.



Selain alasan ini ada alasan lain lebih essensial disini patut diwaspadai bersama yakni sarana potensial ditunggangi penguasa untuk membuat konflik, yakni kerusuhan memperhadap-hadapkan secara horizontal sesama warga sipil. Karena itu semua paguyuban etnik harus mewaspadai diri agar keinginan bersama menjadikan wilayah Papua sebagaimana diinginkan para tokoh agama menjadi “Zona Damai” tetap terpelihara.



Mengingat pengalaman daerah lain tidak sedikit, bentrok antar etnik dan suku, sekedar menyebut contoh Kasus Ambon antara pemuda setempat dengan warga urban BBM, akhirnya meluas menjadi issu sara berdimensi agama. Lalu kerusuhan antara pendatang Madura dan Betawi di Kebayoran Lama Jakarta, demikian kerusuhan antara kaum urban umumnya beragama islam dari Madura dan Dayak yang umumnya beragama Kristen didaerah pedalaman Sambas Kalimantan Tengah.



Harus diingat bahwa pada umumnya kerusuhan di Indonesia dipicu bermula dari etnik meluas menjadi konflik agama. Juga dalam skala kecil premanisme berbungkus etnik disejumlah kota besar Indonesia ditenggarai sebagai biang keladi dan pemicu kekacauan selalu meresahkan warga dikhawatirkan terjadi di Papua. Maka kita harus mewaspadai bersama akan hal itu. Apalagi dalam situasi politik transisi Papua dewasa ini gejala jahiliyah modern seperti itu senantiasa menyimpan potensi konflik kapan saja diinginkan atau bisa dimanfaatkan untuk dijadikan sebagai milisi oleh penguasa dimungkinkan menunggangi kelompok etnik primordial seperti itu.



Dari sudut pandang ilmu social (sociology) paguyuban etnik adalah gejala wajar dalam masyarakat majemuk yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan HAM. Paguyuban etnis sebagai akibat wajar adanya kemajemukan (pluralitas) itu yang secara alami sebagai sunatullah (dalam arti bahwa adanya beraneka ragam suku, etnik, suku, marga dan juga agama adalah rencana Tuhan), primordialisme adalah natural law.



Institusionalisasi organisasi kelompok masyarakat etnis biasanya untuk menunjukkan eksistensi kewargaan atau keikutsertaan kelompok masyarakat itu kepada kelompok etnis lain dalam kebersamaan warga kota (masyarakat madani, civil society) dalam kehidupan bersama disuatu kawasan yang disebut masyarakat kota. Karena itu paguyuban etnis kesukuan dibentuk didasari oleh kebutuhan seperti itu. Paguyuban kesukuan di Papua menunjukkan gejala adanya demokrasi dan kebutuhan pengakuan Hak Asasi Manusia (HAM) aneka etnis masyarakat kota, ada harapan, agar saling mengakui eksistensi diri masing-masing kelompok sehingga dalam menata kehidupan bersama itu ada pengakuan orang lain untuk bisa hidup berdampingan.



Konsolidasi Umat



Diakui atau tidak, umat Islam Papua, terlepas dari tujuan positif pendirian paguyuban kedaerahan atau etnis itu, jika kita kembali pada nilai-nilai hakiki yang diajarkan oleh agama Islama. Terutama hal itu teladan Islam zaman Nabi Muhammad dalam membangun masyarakat Madinah. Maka sesugguhnya gejala pembentukan paguyuban etnik seperti nampak terlihat menggejala umum masyarakat urban muslim di Papua belakangan ini, maka itu pada hakekatnya gejala jahiliyah modern.



Kalau kita harus konsisten dengan nilai-nilai islam paripurna secara puritan maka dengan sendirinya gejala jahiliyyah modern seperti itu sesugguhnya bertentangan dengan nilai Islam par exelance sebagai pengikat anasir primordial. Bagi agama Islam turunnya ayat terakhir pada Haji Wada’ (QS. Al-Maidah : 3) telah sempurna sebagai sarana pemersatu kemajemukan dan Al-Qur’an serta Al-Sunnah jaminan kebenaran.



Karenanya menghadapi momentum Pemilukada Papua seperti sekarang ini konsolidasi internal umat Islam tidak ada jalan lain, selain solusinya, musyarakat muslim Papua harus kembali kepada Islam. Sarana perekat kemajemukan dari aneka primordialisme etnik masyarakat muslim Papua tidak lain tidak bukan, satu-satunya solusi sarana perekat itu adalah Islam. Bagi umat islam, agama islam sebagai sarana pengikat semua aspek primordial ashobiyah (kebangsaan).



Solusi masyakat muslim Papua adalah mereka harus kembali pada sarana perekat itu dan untuk tujuan itu jembatannya melalui Ormas Islam. Walau harus diakui jujur disini bahwa Ormas seperti NU, Muhammadiyah, ICMI, MUI, FKMPT atau MMP sarat rekayasa kepentingan politik pragmatism. Namun sisi positifnya semua etnis dari aspek primordialisme suku harus terintegrasi (lebur) dalam satu bendera Islam dan itu terbukti ampuh dan berhasil menang dimana-mana sebagai alat pemersatu.



Maka wajar kalau kemudian saat ini menjadi kebutuhan semua paguyuban suku-etnis patut meleburkan aspirasi politiknya melalui satu pintu, melalui pintu bendera Islam. Penting dihindari adalah kepentingan kelompok etnis atau suku diatas kepentingan umat. Konsolidasi Muslim Papua melalui Ormas karenanya urgen. Tujuannya meleburkan semua suara paguyuban etnis-suku itu dengan kembali kepada Islam dalam satu ikatan ukhuwah Islamiyah. Pragmatisme gagasan tulisan ini tertuju khusus kepada Umat Islam Papua-Papua Barat dalam menghadapi Pemilukada 2011-2016.



Namun inspirasi demikian tidak hanya urgen bagi masyarakt tertentu tapi semua penentu kecenderungan berbagai Ormas dan Partai politik. Kenyataan memang dalam banyak fakta lapangan sulit terwujud mengingat dimensi keberagamaan dan watak politik sangat duniawi. Namun optimism bahwa suara Umat Islam Papua sangat besar menjadi domain PILGUB dikedua wilayah. Karena itu semua tergantung para pemimpin Ormas Islam Papua, sejauh mana proses kaderisasi mereka selama ini. Adakah kader Muslim Papua sudah dipersiapkan sejauh ini? Ataukah Ormas Islam hanya dijadikan atau diperebutkan pribadi bagi tujuan kepentingan lain lebih sempit?



Untuk mengetahui itu konsolidasi internal Ormas Islam urgens perlu saat ini. Tujuannya penyamaan konsepsi dan persepsi semua kader Ormas maupun Parpol berbasis massa Islam. Sinergitas konsepsi dan persepsi Ormas dan Parpol basis massa Islam dapat membentuk tim gabungan Ormas. Dalam pada itu persiapkan kader untuk didorong dalam kepemimpinan Papua kedepan. Konsolidasi internal umat Islam Papua, tidak hanya bermaksud untuk tujuan sesaat, namun proses kaderisasi Muslim papua jauh kedepan lebih penting diperhatikan disini.



Tulisan ini dimaksudkan untuk tujuan itu. Siapapun dan kelompok Ormas manapun kepentingan kemaslahatan Papua bersama tujuan utama. Karena itu harus diingatkan disini bahwa keunggulan kuantitas jika tidak ditunjang kualitas konsolidasi menyeluruh senantiasa lemah. Maka proses kaderisasi Ormas Islam secara sistematis penting dan perlu menjadi perhatian bersama tokoh-tokoh muslim Papua.



Tujuan tulisan ditujukan kepada Umat Islam Papua, agar jangan sampai terjebak pada wadah-wadah sektarian seperti paguyuban etnis, jahiliyyah modern. Harus disadari kepentingan bersama dalam jangka waktu jauh kedepan lebih utama, (Walal akhiratu khoirul laka minal ula.(QS. Al-Dhuha:4). Kita semua dituntut tanggungjawab men-setting itu sejak dini. Jika tidak apalagi tanpa disadari maka umat islam Papua bisa jadi bagaikan air busa (persis Hadits Nabi).



Hal ini bermula dari keprihatinan penulis mengamati adanya gejala umat Islam Papua gemar membentuk paguyuban etnis. Seharusnya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sebagai guardiance cukup bagi umat Islam. Gejala menjamurnya paguyuban etnis-suku bagi masyarakat muslim urban Papua sebagai akibat menggejalanya penyakit ananiyyah (egoism) kesukuan (qobilah) dan ashobiyyah, menandakan kekeroposan aqidah Islamiyyah pada stadium tinggi cukup mengkhawatirkan kita semua. Padahal Islam sebagai sarana perekat ampuh semua aspek primordialisme dalam konteks pluralitas masyarakat Papua.



Keprihatinan penulis tatkala memperhatikan menggejalanya dikalangan Umat Islam Papua bahwa akhir-akhir ini gemar menghidupkan aspek primordialisme dan yang itu tidak lain dimaksudkan gejala tumbuhnya paguyuban etnis di Papua sebagai jahiliyyah modern. Karena gejala pengorganisasian itu ditumbuhkan sengaja atau tidak sengaja dikalangan urban umumnya berlatarbelakang islam. Umat Islam bukannya bersatu, jadi seharusnya kembali pada tatanan nilai-nilai Islam classic paripurna dalam semangat ukhuwah islamiyyah, lalu ukhuwah basyariyah dan akhirnya ukhuwah wathoniyah sebagaimana perangkat sosial itu ada dalam kenyataan Papua praxis hari ini, yaitu ciri masyarakat yang kita hidupi bersama ada atau hayati bersama dialam ini, dialam nyata Papua.



Jika kita hayati secara sadar, ciri masyarakat majemuk Papua persis sama dengan masyarakat Madinah zaman Nabi. Masyarakat urban kota Papua adalah sesungguhnya sebagai ciri masyarakat kosmopolit, masyarakat madani (civil sosiety) seperti persis konteks masyarakat Madinah setelah Nabi Hijrah dari Makkah. Sebab ciri utama masyarakat kota (masyarakat madani, sivil society) yang dibentuk Nabi Muhammad kala itu hingga lahirnya Konstitusi Madinah (Piagam Madinah) karena disana terdapat beragam suku dan agama yakni Yahudi, Nasrani dan juga orang yang belum beragama (Cak-Nur, 1999).



Kaum muslimin yang hijrah (urban, jama’ muhajirin) harusnya menghayati nilai ini secara lebih baik sebagaimana nilai-nilai itu diajarkan Islam melalui Nabi Muhammad SAW dengan memberi contoh membentuk (membangun) masyarakat kota di Madinah. Sebab alasan lahirnya Konstitusi Madinah dalam konteks masyarakat Yatsrib (nama kota itu sebelum diganti Madinah) kala itu persis sama dengan konteks masyarakat Papua yang nyata kita hidupi bersama ada hari ini. Piagam Madinah kontekstualisasinya itu adanya di Papua. Walau tanpa harus membahasakan itu disini karena orang allergy dengan konsep Piagama Madinah, tapi kita tidak bisa pungkiri dalam kenyataannya contoh persis karakteristik Masyarakat Madinah -terlepas konteks ruang dan waktu -adanya di Papua dewasa ini.



Kecuali itu tulisan ini selain membuka wacana baru yang terpenting adalah kesadaran konsolidasi internal Ormas dan Parpol Islam dalam menghadapi momentum Pemilukada. Mengingat Umat Islam Papua dalam pengamatan penulis terakhir gemar menghidupkan symbol-symbol jahiliyah (pra Islam zaman Nabi) yakni munculnya firqoh-firqoh (kelompok) sektarianisme primordial. Fenomena paguyuban bernuansa ashobiyyah (kebangsaan) seperti itu pada akhirnya nufarriqu bainana wabauinahum, jadi maksud saya disini gejala seperti itu lebih menunjukkan kita retak, kita tidak bersatu dalam kesatua-paduan Papua. yang sesungguhnya itu semua jerat-jerat konflik horizontal sesama warga kota (sipil). (Bersambung).

____***____

*Ismail Asso, Ketua Umum Forum Komunikasi Muslim Pegunungan Tengah (FKMPT) Papua. Email : ismail.asso@yahoo.com, http://suaramuslimpapua.blogspot.com. HP : 081383418655.



***



Disini mencoba menampilan experimentasi pemikiran sederhana guna memberi kontribusi atas berbagai masalah keislaman dan kepapuaan guna mencapai kemaslahan bersama atas berbagai masalah sosial politik. Penawaran pemikiran lebih pada perspektif islam, yakni; berdasarkan nilai-nilai utama yang terkandung dalam dan dari sumber Al-Qur'an dan Al-Hadis, dengan intrepretasi lebih bebas sesuai konteks sosial budaya Papua.