PERJALANAN ISLAM ANAK PAPUA
Nama dan Tempat Lahir
Selama ini saya dikenal sebagai
Ismail Asso. Tapi dalam ijazah saya tercatat dengan nama Isman Asso. Saya lahir
di Kampung Werasikiwa, Dusun
Assolipele Distrik /Assolokobal Walesi Wamena Kabupaten Jayawi Jaya Papua. Dusun
Assolipele Distrik Walesi kira-kira 6 Km dari Selatan Kota Wamena. Kapan
persisnya saya lahir tidak tercatat, karena lingkungan keluarga belum tahu baca
tulis. Tapi peristiwa perang tahun 1977 saya tidak ikut mengalami. Karena itu dapat
diperkiran disini saya lahir pada tahun 1975 atau 1976. Tanggal dan bulan
berapa persisnya saya lahir tidak pernah tahu berlangsung terus-menerus hingga akhir
hayat nanti.
Sebenarnya pemberian namaku oleh orang
tua lain dari nama diijazah. Pemberian nama dalam budaya Suku Dani terkait erat
dengan peristiwa penting untuk dikenang. Nama adalah harapan demikian pemberian
nama oleh orang tua. Demikian dengan pemberian nama saya oleh orangtuaku. Saya
diberi nama Nasike: Na (ku),
Sike (panah;). Jadi Nasike = "Panahku". Jika
diperhatikan dari arti nama ini dari arti kata bahasa Dani Lembah Baliem menunjukkan
ada harapan orang tua, bahwa kelak besar dikemudian hari nanti saya diharapkan menjdi
penjaga dusun atau dapat juga berarti penjaga/pemelihara clan Assolipele dari perebutan musuh atau pemelihara clan dalam tradisi perang suku. Dapat
pula berarti mengganti fungsi orangtua sebagai pendiri Dusun Assolipele. Karena
panah adalah simbol pertahanan/penjaga diri dalam perang Suku di Lembah Balim
Jayawi Jaya yang terkenal sampai di manjaganegara itu.
Kemudian nama Nasike diubah jadi Ponogo. Kini orang mulai memanggilku dengan sebutan nama baru Ponogo,
artinya "Terjatuh". Diberi namaku demikian mungkin karena almarhum
ayahku wafat dalam kecelakaan di Kalelo pada musim kelapa hutan (tuke melapenem). Nama ini sebagai pengingat
peristiwa kecelakaan almarhum orang tua. Tapi kadangkala orang tetap panggil
nama lama, Nasike. Demikian pemberian pergantian nama dalam tradisi Suku Dani
Lembah Balim Wamena Jayawi Jaya Papua.
Pada waktu saya terdaftar sebagai
siswa Madrasah Ibtidaiyyah (MI/SD) Walesi, guruku, mengganti namaku lain lagi.
Dalam raport saya dicatat bernama Isman Asso, tanggal lahir 5 Mei tahun 1975.
Nama ini maknanya saya sendiri tidak tahu, tapi diikuti ijazah SMP, SMA hingga
perguruan tinggi (IAIN/UIN). Pencatatan tanggal dan tahun lahir dan nama oleh
Kepala Sekolah sepenuhnya fiktif. Tidak hanya saya semua teman-temanku siswa sekolah
ini sama. Pencatatan identitas raport inisiatif Kepala Sekolah kami, Pak
Bashori Alwi.
Walaupun demikian apakah penting
arti sebuah nama? Umumnya para ulama sufi memandang symbol tidak penting. Bagi
mereka betapapun kulit pisang indah dipandang mata yang dimakan tetap isinya.
Bukan symbol tapi essensi, bukan formal tapi substansi, bukan kulit tapi isi, bukan
sebutannya tapi orangnya. Singkatnya bukan nama tapi orangnya. Hadis populer
misalnya; Innallahalaa yangdhuru ila shuwarikum walaa ila ajsaamikum walaakin
yangdhuru ilaa quluubikum wa’amalikum. Artinya : “Sesungguhnya Allah
tidak melihat gambarmu dan badanmu tapi Dia melihat hatimu dan amal perbuatanmu”.
(Hadits Nabi ). Namun kadang manusia sering
mementingkan bungkusan daripada isi. Karena memang isi tanpa kulit tidak
mungkin baik, walaupun tetap yang mau dimakan bukan bungkusan. Belakangan
filsafat bahasa, hermeutika, Mickael
Faucol, mengesampingkan aspek ini sebagai hal penting. Demikian sufi abad tengah,
Syaikh Jalaluddin Ar-Rumi dalam kitab Syamsi At-Tabriz menulis :
"Cinta kutuliskan dan kuuraikan panjang lebar
Namun cinta kudatangi aku menjadi malu atas kata-kataku dihadapan cinta
Kata-kata terlalu panjang lebar menguraikannya
Akalpun terbaring tak berdaya dihadapan cinta, bagaikan kedelai didalam
lumpur
Hanya cinta sendirilah yang menerangkan cinta dan percintaan
Jika bukti datang jangan palingkan wajahmu darinya
Matahari membuktikan dengan sinarnya...".
Saya
sendiri tidak tahu arti penting sebuah nama. Tapi kata orang Jawa nama adalah
harapan (do’a). Dalam kliwon (ramal
nasib?) nama Isman Asso, mungkin baik. Tapi apa arti pentingnya bagiku? Saya sendiri
tidak mengerti dan juga tidak persoalkan gunakan nama ini, namun banyak hal
baik-buruk, susah-senang, manis-pahit pernah saya jalani gunakan nama ini.
Dengan menggunakan nama ini saya pernah rangking satu di Madrasah Ibtidaiyah
(MI) Merasugun Asso Welesi Papua walaupun di Ciseeng Bogor Jawa Barat, pertama terdaftar
SMPI Al-Mukhlisin saya siswa paling bodoh karena dicatat guru Wali kelas ranking
45 dari jumlah 45 siswa. Namun dari sekian nama itu kini dalam pergaulan
sehari-hari saya dikenal Ismail Asso. Menjadi masalah tatkala Ismail Asso bukan
sebagai Isman Asso mengurus sesuatu urusan resmi.
Islam Yang Saya Kenal
Namaku Ismail Asso, lebih menunjukkan
nama Islam (tanpa fam) dari bahasa Arab ketimbang dari bahasa Ibrani yang mesti
ditulis Ishmael. Bahasa Ibrani dan Bahasa Arab dari satu rumpun budaya semit
Timur Tengah. Nabi Ibrahim, sebagai Bapak monotheisme, memeperisterikan Siti
Sarah dan Siti Hajar (Hagar). Isteri kedua memperanakkan Nabi Ismail AS yang
kelak menurunkan Nabi Muhammad SAW, pembawa Islam, dan Ishaq AS, menurunkan
Nabi Isa AS atau Yesus Kristus, pembawa agama Kristen.
Demikian kira-kira nama saya terambil
disini jika ditelusiri kesana. Ismail aksen Arab dari bahasa Ibrani dalam kisah
Al-Qur’an, kitab suci Islam tertulis dalam bahasa ini. Ibrani juga bahasa kitab
suci umat Yahudi tertulis. Bahasa Arab dan Ibrani se-rumpun dari budaya semit
Timur Tengah, tempat agama-agama besar samawi berasal (baca Yahudi, Kristen dan
Islam). Budaya bahasa mereka Ismail/Ismael maksudnya sama. Dari bahasa Ibrani :
Isma’, artinya : “mendengar”, El, artinya: “Tuhan/Allah”. Berarti Ismail artinya “Tuhan telah
mendengar”. Nama depan sering berubah tapi fam Asso tetap menempel dibelakang
mengikuti perubahan nama. Ismail adalah nama “baptis” atau nama syahada
Masa Kanak-Kanak
Saya habiskan
masa kanak-kanak di kampung kelahiranku di Distrik Assolipele Walesi, (Distrik
Assolipele semua warga penduduknya beragama Islam). Pada masa saya lahir dan
kanak-kanak tradisi lama sangat dominant. Pengaruh modernisasi dan agama belum
terasa. Tradisi adat budaya di Lembah Balim pada masa itu dan mungkin sampai
dewasa ini masih lebih kuat dari nilai lain dan baru termasuk agama Kristen. Di
Lembah Balim Wamena orang lebih menghayati tradisi lama daripada agama.
Nilai-nilai Adat lebih dihormati mempengaruhi hidup masyarakat hingga dewasa
ini masih terasa berlangsung.
Kedua orang
tuaku meninggal sejak saya masih kecil. Saya menjalani kehidupan yatim piatu
sejak kecil. Karena itu pada masa kanak-kanak saya sering kelaparan karena tidak
makan teratur. Saya dan teman-teman sebaya sering makan buah-buahan dari alam
dan daun mentah seperti lalapan untuk tahan-tahan lapar. Karenanya saya menderita
penyakit busung lapar alias kurang gizi. Jika diingat semua itu cukup sedih memang,
tanpa kasih sayang oleh orang tua.
Karena itu pada masa kanak-kanak saya
dipelihara berpindah-pindah oleh kerabat ayahku dari satu keluarga ke keluarga
lain. Saya mengalami tiga lingkungan Katolik, Islam dan Kingmi, tapi
nilai-nilai adat (Kaneke) lebih dominan. Nama Nasike pernah ditulis absensi SD
YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) Hepuba Distrik Assolokowal. Paman
saya Bapak Amandus Asso berpendidikan Belanda, dia guru agama Katolik disekolah
pemerintah (SD Impres Megapura) dan sekolah umum milik yayasan Katolik.
Datang tinggal di Hepuba
sebenarnya saya tidak betah, tapi Paman di Welesi menginginkan saya tinggal di
Hepuba daripada tempat lahir saya dilahirkan, di Walesi. Karena selain sejarah
garis keturunan nenek moyang keluarga besar Asso di Walesi dari garis keturunan
ayah berasal dari daerah sekitar disini (Wesapot, kini desa Assotipo). Demikian
juga banyak kerabat nenek moyang ayahku ada disini (Distrik Assolokowal dan
Assotipo).
Selama datang tinggal hidup di
Hepuba yang tidak pernah saya lupa karena itu sulit dilupakan adalah, mandi
pagi buta pada hari minggu, karena paman saya Bapak Amandus Asso, khotbah di
Gereja Katolik Hepuba, mengharuskan saya bersamanya pergi ke Gereja. Hanya
beberapa tahun saja di Hepuba, karena tidak betah saya kembali ke Welesi
walaupun paman menginginkan saya harus tetap tinggal disini sampai besar. Jika
saya tidak pulang ke Walesi mungkin jadi lain jalan cerita hidup saya.
Awal Mula Islam di Walesi
Sebelum orang-orang Walesi masuk
agama Islam, sebenarnya yang lebih dulu masuk agama Islaam Suku Dani Lembah
Baliem Wamena adalah orang-orang dari Megapura klan Lani, Lokobal, Matuan dan
Asso dari daerah Megapura dan Hitigima, Lanitapo dan suku Mukoko,Wouma melalui
guru-guru asal Jawa yang dikirim oleh pemerintah di SD Impres Megapura (nama
daerah ini dulu, Sinata). Tapi agama Islam tidak berkembang dikalangan mereka sebagaimana
perkembangan Islam di Walesi yang didukung oleh kepala-kepala suku besar dan
tokoh-tokoh Adat, walaupun kini komunitas muslim di Wamena sudah merata.
Sebelum Madrasah Ibtidaiyah (MI)
Merasugun Asso didirikan pada tahun 1978, di Welesi sebenarnya sudah ada SD
YPPK (Yayasan Pendidikan Kristen Katolik) dari Missi Katolik. Jaraknya tidak
jauh dari Distrik Assolipele, (Assolipele adalah nama confederasi perang tapi
juga nama kampung/distrik). Saya pernah masuk SD YPKK ini tapi hanya sebentar
saja. Saya ditolak oleh guru wali kelas bernama Cosmas Asso. Alasannya saya masih
kecil selain jarak dari rumahku jauh untuk ukuran usiaku pada masa itu. Mungkin
begitu pertimbangan guru wali kelas itu karena memang badanku kecil dari teman
sebaya yang boleh sekolah dan diterima di sekolah itu.
Karena SD YPPK dari Missi Katolik
maka semua anak-anak muslim (kakak-kakak kami) dari clan Assolipele berjumlah
20 orang yang tidak boleh sekolah di SD ini dikirim ke Jayapura untuk sekolah
di SD Muahhamadiyah Abepura dan Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Anwar kota Jayapura.
Dalam waktu sama dikampung kami mulai bangun rumah tempat tinggal guru dan Madrasah
Ibtidaiyyah, sebagai sekolah Islam pertama dan satu-satunya di Wamena dan
Pegunungan Tengah Papua hingga dewasa ini dibangun. Bangunan ini kemudian digunakan
berbagai macam kegiatan keagamaan seperti pengajian semi Pondok Pesantren oleh guru-guru dari Jawa
dan Bintuni-Fak-Fak yang datang pada tahun 1977-1980.
Saya bersama teman-teman sebaya belajar
mengaji disini setiap sore ba’da maghrib (selesai sholat maghrib, jam 18.00
WITA), seperti kaifiyatusholah (tata
cara sholat), thoharah (tata cara
berwudhu), sholat jum’at bersama kaum bapak, sholat taraweh berjama’ah tiap
bulan Ramadhon (bulan puasa), khitanan massal, rapat umum jika ada tamu dari
Jayapura atau Jakarta dll.
Bangunan pertama ini bentuknya segi
empat dan dua tingkat. Ditingkat atas digunakan untuk tempat tinggal guru-guru,
dibawahnya difungsikan tempat mengaji, mushollah, madrasah di pagi hari dan
berbagai fungsi keagamaan Islam lainnya seperti telah disebut diatas. Pembangunan
dan lokasi Islamic centre Walesi pada mulanya diatas tanah milik clan Asso.
Tapi karena lokasinya jauh dan kedalam, maka di pindah temapt sekarang ini
diatas tanah clan Yelipele.
Bangunan pertama ini sudah
direncanakan tahun 1975 tapi mulai dibangun tahun 1978 dan selesai tahun 1979
siap digunakan untuk kami sekolah. Bangunan ini belakangan mulai digunakan
untuk kegiatan belajar mengajar sekolah Islam pertama (Madrasah Ibtidaiyyah)
pada pagi hari sejak guru-guru dari Jawa dan Kokas Bintuni Papua datang tinggal
disini. Sementara itu pembangunan Madrasah Ibtidaiyyah sudah dimulai dibangun.
Tapi sebelum ada bangunan sekolah
dan rumah tempat tinggal didirikan disini guru-guru Agama Islam sudah datang lebih
dulu dari Fak-Fak jauh sebelumnya. Yang pertama datang adalah Pak Guru Aroby
Aituarau (kini MRP Pojka Agama) dari Jayapura kelahiran Kaimana dan kedua Pak
Jamaluddi Iribaram dari Kokas Bintuni (kini kepala Urusan Haji Propinsi Papua).
Sebelum akhirnya bangunan sekolah kami Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso benar-benar
dibangun lengkap 6 ruang kelas belajar yang sangat megah dan modern pada tahun
1980 untuk ukuran daerah pedalaman Pegunungan Tengah Papua waktu itu.
Saya belum pernah mengalami
pendidikan dengan Pak Aroby Aituarau karena waktu itu (tahun 1978) saya sangat
kecil. Konon dia mengajar pelajaran agama Islam di lapangan terbuka beralaskan
rumput. Sebagai tempat tinggal sementara dia dibuatkan gubuk kecil disamping
rumah Kepala Suku Haji Muhammad Aipon Asso. Karena tidak ada bangunan apalagi
sekolah kala itu di Kampung Assolipele. Aroby Aituarau datang mengajar Islam
disini tahun 1977-1978.
Beberapa waktu kemudian
sepeninggal Aroby Aituarau, Jamaluddin Iribaram dari Kokas didatangkan. Rumah
tempat tinggal guru kedua ini sudah selesai dibangun tahun 1978 seperti dijelaskan
diatas tadi, berupa bangunan segi empat dua lantai. Tempat itu kini dikenal
sebagai lokasi Islamic Centre Walesi sekarang. Pak Jamal kelak hidup lama di
Wamena, tidak seperti Arobi Aituarau yang hanya sebentar walaupun keduannya
sama-sama Asli Papua, masih muda dari Uncen Jayapura, aktifis HMI, dan berasal
dari Fak-Fak dan didatangkan oleh Islamic Centre. Organisasi ini didirikan atas
gagasan Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari Angkatan Laut 10 Hamadi Jayapura.
Ketua Islamic Centre kota Wamena
Kabupaten Jayawi Jaya pada waktu itu Pak Hasan Panjaitan, Sekda Kabupaten
Jayawi Jaya. Sponsor utama dukungan organisasi ini datang dari para pejabat di ibukota
Propinsi Papua yang beragama Islam dan utamanya Dr. Kolonel Mulya Tarmidzi dari
AL dan Saddiq Ismail Kadolog. Jamaluddin Iribaram sama dengan Aroby Aituarau, didatangkan
ke Walesi masih berstatus mahasiswa Uncen kala itu. Dia dibujuk agar
meninggalkan kuliah untuk mengajar Islam disini. Jalamaluddin Iribaram muda
ganteng tapi taat agama, saya kira wajar kalau dia sebagai guru agama/ustadz, tidak
pernah terpengaruh oleh banyak perempuan muda Walesi suka padanya.
Saya termasuk siswa ajaran
pertama Pak Guru ini. Mula-mula Pak Jamal tiba disini pengajaran pendidikan
madrasah belum di mulai secara luas –kecuali kami anak-anak kampung sekitar
sudah diajari mengaji duluan- tapi terbatas hanya beberapa anak dan masih
dilakukan himbauan-himbauan agar para orang tua memasukkan anak pada pelajaran
Al-Qur’an sore hari. Disamping belum ada bangunan sekolah untuk sementara
tempat tinggal Pak Jamal (rumah guru) di jadikan sebagai ruang serba guna
misalnya ruang belajar agama Islam anak-anak sekaligus dijadikan tempat
pengislaman seperti sunatan massal, syahadat dan tempat belajar tata cara
sholat kaum tua.
Saat itu saya belum berpakaian (tapi
bulum layak kenakan koteka) demikian semua teman-teman sebayaku disini, sejak
mula saya cerita bahwa saya sudah yatim piatu. Sebagai anak yatim yang
ditinggal pergi kedua orang tua saat masih kecil, sudah tentu pertumbuhan
badanku kurang baik, dengan banyak ingus meleleh dan perut buncit, saya diajak
paman datang bawa makan (petatas/ubi jalar merah kesukaan) menemui Pak
Jamaluddin Iribaram.
Paman saya, Heramon Asso, pelopor
salah satu gigih Islam di Walesi. Ustadz Jamaluddin akrab dengan paman saya
karena alasan perlindungan. Rumah
tempat tinggal Pak Jamal banyak pakaian sumbangan dari Jayapura. Saya pakai
baju duluan dari kawan-kawan sebaya. Hampir seluruh orang Walesi kala itu masuk
Islam masih mengenakan koteka. Jika ada orang datang berpakaian bau sabun atau
wangi tercium jelas oleh warga walaupun jaraknya jauh, mungkin dipengaruhi
udara yang sangat bersih dan asli. Pamanku Heramon Asso menemui Pak Jamal masih
mengenakan koteka.
Tempat
Pak Jamal tinggal setiap malam (ba'da maqhrib) diadakan pengajian al-qur'an.
Saya dan teman-teman sebaya belajar mengaji disini. Kami lebih dulu tahu
menyebut; alif, ba, ta, sta dst. huruf hujaiyyah, (abjad arab) daripada huruf
latin. Kami diajarkan membaca Al-Qur’an dimulai dari Juz ‘amma hingga khatam
masuk Qur’an besar dimulai awal dari surat Alif Lam Mim (Surat Al-Baqorah).
Awalnya dituntun, karena sering ulang-ulang, surat-surat pendek ayat Al-Qur’an sudah
kami hafal. Kami juga diajarkan tajwid
dan makharojul huruf.
Di Walesi selain SD YPPK belum
ada sekolah lain waktu itu. Ada SD Impres di Megapura jauh dari Walesi. Tidak
ada kegiatan lain selain belajar mengaji yang tempatnya digunakan dari bangunan
rumah tempat tinggal guru. Bangunan itu dipakai sebagai tempat sholat, mengaji
dan belajar pendidikan agama islam sekaligus. Bangunan rumah guru itu adalah
bangunan Islam pertama dibangun selesai tahun 1978 di Walesi.
Pada mulanya Pak Jamal sendiri
tidak ada kegiatan belajar hanya mengaji. Tapi pada tahun 1979 dua orang guru
khusus Madrasah Ibtidaiyyah (MI) datang dari Jawa. Mereka didatangkan oleh
Rabithah ‘Alam Islami, organisasi dunia Islam yang kantor pusatnya di Saudi
Arabia itu bekerja sama dengan DDII. Dua orang guru itu bernama Bashori Alwy
dan Walidan Mukhsin, mereka dari Bantul Jogjakarta. Sejak kedatangan dua guru
dari Bantul Jogjakarta itu Pak Jamaluddin Iribaram pindah bantu mengajar mengaji
di Kota Wamena.
Pembangunan sekolah pertama
dimulai tahun 1978, selesai tahun 1980. Bangunan sekolah itu kelak dinamai
menjadi Madrasah Ibtidaiyyah (MI), Merasugun Asso Walesi. Nama Merasugun Asso
dari nama pejuang dan orang paling pertama masuk islam sebagai muallaf asal
Walesi, atas jasa-jasa perjuangan namanya diabadikan menjadi nama Madrasah. Sekolah
ini pertama dan juga satu-satunya di kabupaten Jayawi jaya sampai hari ini.
Bangunan sSekolah itu dibangun
lengkap dengan 6 ruangan kelas. Kegiatan belajar mengajar layaknya Madrasah
Ibtidaiyyah mulai digunakan bangunan baru ini. Sumbangan mengalir dari
mana-mana. Dari Jepang, Malaysia, Jakarta, Jayapura juga dari kota Wamena sendiri. Sumbangan berupa pakaian
dan alat-alat perlengkapan sholat. Dari Jepang alat-alat sekolah seperti buku,
pensil, penghapus dll. Kami siswa paling modern tapi juga paling lengkap untuk
ukuran pedalaman Papua kala itu.
Mulai Sekolah
Tahun ajaran 1982 saya tercatat
sebagai siswa kelas satu di Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi. Kami
dikenalkan dengan pelajaran berhitung dan huruf latin oleh seorang guru putra
daerah bernama Muhammad Ali Asso. Guru ini sebelumnya sudah belajar di Madrasah
Ibtidaiyyah Yapis Jayapura. Pak Guru Madrasah kelas satu ini sekaligus wali
kelas kami. Dia keras, kalau kami nakal, tapi cara mengajarnya mudah dicerna untuk
dipahami. Muhammad Ali Asso, mengajar kami dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa
daerah dengan contoh-contoh alam sekitar memudahkan kami mencerna
pengajarannya. Dalam pembagian raport kenaikan kelas saya dicatat sebagai juara
satu kelas. Demikian setiap kenaikan kelas selanjutnya.
Tidak lama Pak Bashori dan Pak
Walidan dari Jawa datang tahun 1980 di Walesi, beberapa guru bantuan datang
lagi dari Jawa. Pak Guru Nur Hadi Waluyo adalah sarjana muda pertama guru kami
datang tidak lama setelah Pak Walidan Muhsin dan Pak Bashori Alwi. Praktis
sekolah Islam dan Madrasah Ibtidaiyyah pertama dan satu-satunya di Wamena ini
hampir semua gurunya adalah pendatang tidak ada lagi guru orang Papua asli
selain Muhammad Ali Asso yang belakangan di pecat karena minum beer yang
diharamkan dalam agama islam itu. Silih berganti guru-guru kami datang dan
pergi hampir semuanya amber (pendatang) dan tentu wajib beragama islam.
Sistem pendidikan di Madrasah
Merasugun diterapkan dua system pagi dan sore.. Kami belajar dalam system yang
diberlakukan system semi pesantren. Pada pagi hari kami sekolah biasa. Pada
sore hari kami belajar pelajaran agama Islam terutama belajar Al-Qur’an. Pada
pagi hari kami sekolah sebagaimana biasa dengan kurikulum diatur Madrasah
Ibtidaiyyah tingkat nasional oleh pemerintah. Tapi pada sore hari kami
diwajibkan belajar mengaji Al-Qur’an. Kami belajar sistem pendidikan semi
Pondok Pesantren sebagaimana dikenal kebanyakan di Jawa.
Setiap sore dibantu tenaga
guru-guru dari negeri yang datang tinggal disini seperti Pak Qomari guru SD
Negeri Kurima dan Pak Mahmud Yahya yang pada mulanya guru SD Negeri di Walaik, bantu
mengajari kami belajar ngaji (belajar Al-Qur’an) di Madrasah Walesi. Mereka
membantu tugas Pak Bashori Alwi dan Walidan Mukhsin mengajar kami yang
jumlahnya banyak silih berganti secara bergilir. Pak Qomari adalah seorang guru
negeri yang dikirim pemerintah yang ditugaskan di SDN Kecamatan Kurima tapi
belakangan membina muslim Megapura selain mengajar kami. Dia berasal dari
Madura dan dari kampungnya memang santri. Beliau membantu tugas Pak Bashori dan
Walidan Mukhsin mengajar kami mengaji.
Banyak guru silih berganti datang
dan pergi di sekolah kami pada umumnya guru-guru orang pendatang (luar Papua)
dan muslim tentunya karena sekolah kami Madrasah Ibtidaiyyah. Banyak guru sekolah
lain pindah mengajar disekolah kami, termasuk guru negeri yang ditugaskan
pemerintah di sekolah Negeri dan Impres. Guru-guru Negeri dari Jawa dan
Sulawesi, NTB yang beragama Islam lebih suka pindah datang tinggal mengajar di
sekolah kami, Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun Asso Walesi daripada temapt mereka
ditugaskan. Guru-guru dari negeri yang dikirim pemerintah sebagai bantuan
IMPRES banyak lari dan lebih merasa nyaman mengajar sekolah kami disini
daripada sekolah pemerintah di pelosok jauh tempat lain Kabupaten Jayawi Jaya
Wamena yang asing dan sulit buat mereka.
***
***
Suatu waktu, saya ingat disini,
kalau tidak salah pada saat saya duduk kelas III, selama enam bulan saya
minggat masuk dikelas, karena ikut teman berburu ke hutan, tapi oleh kepala sekolah
saya tetap dinaikkan ke kelas IV. Padahal saya tidak ikut ulangan dan tidak
masuk kelas selama setengah tahun (6 bulan). Kesadaran betapa penting arti
pendidikan bagi kami dan oleh lingkungan sangat rendah disini. Kadang-kadang
selama satu bulan pada musin-musim tertentu kawan-kawan yang lain sama seperti
saya, jarang datang ke kelas untuk belajar. Selama beberapa bulan bersama
teman-teman sebaya saya suka keluyuran dihutan sekedar berburu kus-kus dan
burung.
Ikut MTQ Nasional
Untuk pertamakalinya waktu kelas
III Madrasah saya diutus jadi peserta lomba MTQ di kota Wamena tingkat
kanak-kanak mewakili Walesi. Saya ingat waktu itu saya Al-Qur’an Surat
Al-‘Aadiyat ayat 1-11. Tapi tidak dilagam (irama), dewan juri hanya
diperhatikan tartil, makhroj bacaan kami dan saya dinyatakan juara dua. Puncaknya
adalah pada saat saya baru naik kelas lima ke kelas enam di kota Wamena
diadakan lomba Misabaqoh Tilawatil Qur'an (MTQ) tingkat Kabupaten. Pak Ustadz
Bashori Alwi titip berita agar saya segera datang.
Karena waktu itu sebagaimana
biasa disini pada musim-musim tertentu, saya minggat sekolah dan mengaji selama
beberapa bulan lamanya. Dia titip pesan khusus segera agar saya kembali masuk
sekolah. Maksudnya agar saya mau dibina khusus pelajaran Al-Qur'an setiap ba'da
sholat maqhrib selama beberapa minggu untuk mengikuti MTQ di Kota Wamena.
Selama beberapa minggu saya dilihat bagaimana kemajuan bacaan Qur’an-nya, mulai
dari tajwid-nya dan makhrajul-huruf.
Kami anak-anak dari Walesi
sebenarnya dua orang peserta diutus untuk mengikuti lomba ini. Selain saya ada
yang lebih tua dari saya. Dia sudah kelas 6, untuk tingkat remaja. Tapi kandas
sampai dikota Wamena. Hanya saya yang lolos sampai ke tingkat Nasional mewakili
Propinsi Papua nanti. Saya dan anak-anak usia sebaya mengikuti lomba MTQ, dan
saya dinyatakan oleh dewan juri keluar sebagai jura satu. Saya senang karena
banyak dapat hadiah termasuk tabungan uang BRI yang saya sendiri tidak tahu
mengurusnya hingga bagaimana nasib hadiah uang itu hingga sekarang saya tidak
pernah tahu.
Dulu Pak Jamaluddin Iribaram
sendirian mengajar kami pelajaran agama Islam. Tapi pada tahun 1980 dua orang
guru/ustadz dari Jawa, datang membantu mengajar kami mengaji Al-Qur’an dan
sekolah di Madrasah Ibtidaiyyah Walesi. Kedatangan dua orang guru/ustadz khusus
dari Jogjakarta
ini bantuan Rabithah 'Alam Islami yang berkedudukan kantornya di Suadi Arabia
itu, menerapkan pola pendidikan semi pesantren.
Pada pagi hari kami sekolah
madrasah biasa, dan sore harinya ba'da maqhrib biasanya belajar mengaji
Al-Qur'an. Demikian setiap sore di sini, menerapkan sistem pendidikan pagi
sekolah Madrasah biasa dan sore di lanjutkan dengan mengaji Al-Qur'an. Karena
itu alumni madrasah ibtidaiyyah Walesi tidak kalah sedikitpun dengan alumni
Pesantren dalam hal mengaji Al-Qur'an terutama makhrojul huruf dan tajwidnya.
Madrasah Ibtidaiyyah Merasugun
Asso Desa Walesi, melahirkan alumni pertama tahun 1987, saya termasuk alumni
ke-2 dari sekolah ini tamat tahun 1988. Bersama saya ada 6 orang siswa ikut
ujian nasional. Banyak murid teman-teman kami yang tidak serius sekolah.
Kesadaran pendidikan waktu itu sangat rendah, sehingga banyak siswa-siswi,
teman-teman kami yang berhenti sekolah dan keluar-masuk secara tidak serius di
sekolah Islam pertama di Wamena ini. Demikian ini sesungguhnya tidak hanya
mereka yang lain tapi termasuk kami yang 6 orang ikut ujian lulus itu. Tapi
hanya factor X kami masih sempat sampai ikut ujian nasional dan dinyatakan
lulus.
Teman kelas kami yang perempuan
semuanya di kawinkan oleh orang tua mereka. Demikian adalah suatu kebiasaan
buruk yang saya kira masih berlaku sampai sekarang ini. Karena itu tidak heran
jika sekarang ini, dari Walesi tidak ada mahasiswi atau lulusan SMA, adalah
kenyataan pahit pola kebiasaan lama orang tua di kampung kami di Walesi yang
masih berlaku. Sebab ada tradisi (kepercayaan) orang tua menganggap bahwa
perempuan adalah lambang kesuburan, sehingga dipertahankan untuk tidak pergi
merantau jauh.
Pada saat naik ke kelas 6 saya
masih belum serius sekolah. Pada suatu hari, karena saya tidak sekolah beberapa
hari sebelumnya saya dicari oleh guru kepala sekolah yang merangkap guru
mengaji. Tujuan Kepala Sekolah yang bernama Pak Bashori Alwy itu agar saya
dilatih qiro’ah pada seorang Qori asal Ternate di kota Wamena.
Saya diantar Pak Bashori setiap
sore datang turun-naik ke Wamena kota dari Walesi sekitar 6 kilo arah selatan
dari Wamena. Saya masih ingat seumur-umur naik motor pertama bersama Pak Guru
ini duduk miring-miring. Padahal jalan Walesi-Wamena saat itu belum diaspal dan
berkelok-kelok. Demikian juga pengalaman paling pertama saya dibelikan sikat
gigi dan odol untuk gosok gigi yang hasilnya gigi saya berdarah-darah. Saya
juga dibelikan sandal swallow dan saya kira pengalaman paling pertama saya
mengenakan alas kaki. Kejadian itu semua terjadi pada tahun 1986 kala itu.
Selama beberapa bulan dari
minggu-keminggu menampakkan hasil dan kemajuan mengaji saya. Soal suara saya
sudah ok, tajwid, maqhroj juga ok, tartil qur’an juga ok, tajwid juga sudah ok,
tapi yang dilatih agar saya benar-benar bisa kuasai adalah irama lagu-lagu
bacaan Al-Qu’an. Selama beberapa minggu saya dikarantina untuk dilatih
terus-menerus dirumah Kasubdolog Jayawi Jaya. Dan hasilnya alhamdulillah saya
sudah menguasai bacaan qiro'ah mulai bayati : qoror, nawa, jawab, jawabul
jawab, nahawand, sika, jiharka dalam berbagai versi bacaan seperti misri, turky
dll dalam bebera surat Ayat Al-qur’an. Beberapa surat saya menghafal mati diluar kepala
karena sering diulang-ulang.
Saya kemudian diberangkatkan ke
Jayapura diantar oleh seseorang yang saya belum kenal, tapi dia ditugaskan agar
mengurus segala tetek bengek keperluan saya.. Selama di Jayapura saya
dipertemukan dengan para qori senior yang pernah mewakili Papua ditingkat
nasional. Mereka menjadi pelatih ditingkat propinsi, difasilitasi oleh Pemda
agar mendidik qori’-qori’ah yunoir seperti saya.
Mereka oleh Pemda diberi tinggal
berupa rumah tepatnya di LPTQ Kota Raja sekarang ini. Disana saya ketemu dengan
Ustadz Hasan Basri asal Serang Banten dan Wahidin Purada dari Kaimana, Fak-Fak
(kini Bupati Fak-Fak). Mereka dua adalah pelatih saya pertama dari propinsi.
Karena pindah pelatih hafalan saya lagu-lagu dari Wamena agak menjadi kacau.
Saya di latih dan tinggal di
rumah pak Wahidin Puarada. Saya diperlakukan dengan istimewa sama Qori Nasional
asal Kaimana Papua itu. Selama beberapa minggu saja saya di Jayapura, beberapa
hari lagi saya harus berangkat ke Kabupaten Nabire untuk mengikuti MTQ tingkat
Propinsi Papua (waktu itu Irian Jaya). Saya mewakili Kabpupaten Jayawi Jaya di
even tingkat propinsi di Nabire ini. Tapi karena saya satu-satunya putra daerah
dan memang dipersiapkan sejak awal, maka untuk mengikuti tingkat Propinsi itu
saya sudah duluan di latih pelatih tingkat Propinsi..
Hasilnya saya menang dan keluar
juara satu untuk tingkat anak-anak..Banyak orang memberi semangat dan gembira
saya menang. Banyak petinggi propinsi yang beragama Islam senang pada saya,
karena saya muallaf juga masih anak-anak tapi juga orang asli Papua adalah
sejumlah pertimbangan mengapa saya banyak di gembirai umat islam Papua kala itu
termasuk juga oleh para pejabatnya di tingkat propinsi.Setelah selesai even di
Nabire saya di bawa pulang membawa kemenangan dengan berbagai hadiah, tapi
tidak ke Wamena, kampung saya tapi saya di bawa ke Jayapura. Ternyata saya
sudah ditangani dan dipersiapkan untuk mengikuti MTQ tingkat Nasional di Bandar
Lampung.
Sejak pulang dari Nabire saya
dilatih oleh para pelatih tingkat Propinsi, tapi tidak segiat dan seserius di
Wamena dulu. Disini saya dianggap sudfah bisa atau kalau dilatihpun iramanya
beda dari pelatih saya pertama di Wamena sehingga hafalan saya menjadi kacau
balau. Tidak berapa lama kami peserta rombongan (kafilah) Irian Jaya (IRJA),
yang terdiri dari para pejabat Pemda Propinsi dan rombongan Qori-Qoriah
berbagai tingkatan itu tiba di Jakarta pada malam hari, dari berangkat jam lima
pagi Bandara Sentani Jayapura menggunakan pesawat Garuda Airways. Dari Bandara
Cengkareng kami menuju kota Jakarta untuk transit beberapa lama di Royal
Hotel di Jalan Gajah Mada. Beberapa hari saja di Royal Hotel besoknya kami
lewat darat menuju Merak Banten untuk diteruskan ke Bakahuni Lampung.
Di lampung kami diberi tempat
oleh panitia tuan rumah di APDN, kota metro Bandar Lampung. Disni kafilah Papua
tinggal sederetan dengan kafilah dari Kalimantan Selatan. Terus terang saya
tidak di dampingi oleh orang-orang dari Kabupaten Jayawi Jaya tapi dengan
orang-orang baru saya kenal dari Propinsi. Tapi hanya beberapa hari saja
bersama rombongan orang-orang yang mendampingi saya dari berbagai kota
Kabupaten Papua, kami sudah saling akrab satu sama lain.
Saya orang Papua Asli menjadi
perhatian utama peserta MTQ dari berbagai Propinsi Indonesia. Di Lampung saya
hanya juara harapan dua untuk tingkat anak-anak. Selesai itu saya bersama
rombongan pulang ke Papua dan sebagai duta yang membawa nama baik daerah. Untuk
itu kami di pertemukan dengan Gubernur Isak Hindom.
Selanjutnya diantar Ustadz
Wahidin Puarada saya pulang ke Walesi. Di sana
sudah banyak orang kumpul menanti kami (saya dan Pak Wahidin Puarada). Rupanya
mereka menunggu kedatangan kami sejak dari tadi. Mereka adalah orang-orang yang
sudah saya kenal, ya keluarga besar muslim kampung Walesi, diantaranya orang
tua asuh yang membesarkan saya dulu (keluarga dekat almarhum ayah saya). Mereka
berkumpul persis dihalaman depan sekolah (MI) Merasugun Asso Walesi.
Dihadapan mereka saya diberi
waktu untuk ceritera tentang perjalanan saya selama 6 bulan ikut Musabaqoh
Tilawatil Qur'an (MTQ), dari tingkat Kabupaten-Propinsi sampai Nasional di
Bandar Lampung. Saat itu saya belum biasa bicara dihadapan banyak orang, saya
kaku, tidak bisa, malu. Tapi mereka sangat senang saya membawa pulang prestasi
atas nama kampung Islam baru ini. Terutama Ustadz Bashori ALwy, beliau sangat
senang muridnya bisa sampai mewakili Papua sampai ke tingkat Nasional.
Orang tua, terutama Paman saya
bangga dengan kepulangan saya dengan beragam hadiah. Dia sangat puas dengan
hasil perjalanan saya. Saya tahu itu tapi saya bersikap biasa pada saat pertama
tiba disini, karena banyak orang, malu.. Banyak saudara-saudara dan para
orangtuaku di kampung ini menanti dengan gembira akan prestasi saya mewakili
mereka di tingkat nasional berjumpa kembali disini setelah perjalanan saya
selama 6 bulan meninggalkan mereka di Kampung Walesi.
Saya sudah banyak ketinggalan
pelajaran. Esok harinya saya sudah harus ikut persiapan Ebta dan Ebtanas. Terus
terang untuk itu saya tidak siap. Saya banyak sekali ketinggalan pelajaran
selama setengah tahun lamanya. Saya pergi selama 6 bulan, bukan waktu yang
sedikit tapi itu berarti selama setengah tahun. Saya sudah banyak tidak
mengikuti mata pelajaran yang akan di ujikan ditingkat nasional. Karena itu
beratnya bagi saya bahwa tidak lama pulang ke Welesi, kampung halaman dari
perjalanan panjang, sudah harus ikut ujian nasional. Tapi alhamdulillah saya
akhirnya juga tetap lulus ujian lokal, Madrasah, maupun ujian nasional
sekaligus.
Beberapa minggu saya tiba Walesi
tidak begitu lama pecah perang suku antara Walesi dan Woma di satu pihak dan
Kurima dan Assolokowal pihak lain. Pada waktu itu kami di jemput dengan kawalan
seorang polisi dengan senjata lengkap dari Walesi turun ke kota Wamena sekitar 6 km jaraknya. Dari 6
orang anak siswa yang lulus angkatan ke- II lulusan Madarasah Ibtidaiyyah
Merasugun Asso Walesi, hanya 4 orang saja, dua orang dilarang oleh orang tua
mereka.
Berangkat ke Pulau Jawa
Kami dari Wamena diantar oleh
Abdurrahim Jumati. Dia orang Ternate , tinggal
lama dan berda’wah di Wamena sebagai pegawai pemda. Kini beliau sebagai ketua
Islamic Centre kabupaten Jayawi Jaya Wamena. Dalam kapasitasnya itu beliau dari
Wamena bawa datang kami dan mengantarnya sampai di Pondok Pesantren
Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Dari Wamena untuk keluar satu-satunya alat
transportasi hanya udara. Mula-mula tiga orang teman saya baru merasakan naik
pesawat, sampai ada yang teriak ketakutan karena pesawat oleng sedikit
menghindari gunung emas Watikam sambungan dari Cartens yang kini diambil oleh
Freeport itu.
Kami tidak langsung berangkat ke
Jawa tapi tinggal di APO kali depan Polda,
Jayapura. Tempat kami ditumpangi pemilik rumahnya orang Ternate
, mungkin masih kelurga Paitua disini. Kaka-kaka kami yang dulu tahun 1978
didatangkan ke jayapura untuk sekolah di Panti Asuhan Muhammadiyah Abepura dan
Madrasah Ibtidaiyyah Yapis Jayapura kota datang melihat kami, hanya untuk
sekedar menanyakan keadaan orang di kampung, ada juga titipan surat buat mereka
dari orangtuanya, tapi juga diantara kami salah satunya adalah adiknya..
Mereka dikirim ke Jayapura begitu
Islam pertama masuk di kampung kami Assolipele Walesi. Jumlah mereka semuanya
20 orang anak. Untuk pertama kalinya sejak kami masih kecil dikirim ke Jayapura
dari Walesi baru datang melihat kami disini sudah besar. Diantara mereka sudah
banyak yang tidak melanjutkan pendidikan sebagaimana harapan orang tua
dikampung dulu. Ada
yang masih sekolah tapi kendala utama mereka sekolah di sini kelihatannya usia
dan bahasa. Soal bahasa kelak sebagaimana akan kami alami nanti di Jawa sama. Kami
disini tidak lama, hanya beberapa minggu saja di Jayapura. Dalam pada itu
pengantar kami sudah membooking ticket sambil komunikasi dengan pihak Pesantren
di Bogor kapan kami sudah mulai naik KM Umsini dan akan tiba di Tanjung Priuk.
Minggu selanjutnya pada malam
hari kira-kira jam 22.00 WIT, dibawa antrian banyak orang kami datang ke
pelabuhan untuk mengantri naik kapal. Ternyata kami baru pertama tahu,
dipelabuhan malam itu manusia berjubel berebut naik kapal untuk mendapatkan
tempat tidur di class ekonomi, adalah pemandangan biasa kala itu di kota Jayapura. Malam itu
banyak manusia antri naik kapal dibawah penjagaan ketat tentara. Kapal putih
besar ini semua kami juga pengalaman pertama kalinya. Walaupun sebelumnya dari
Merak ke Bakahuni saya sudah pernah naik kapal laut tapi ukuran kapal penumpang
ini sangat besar dan hanya menumpang manusia.
Kami mulai meniggalkan daratan
Papua lewat laut menuju Pulau Jawa. Itulah pada mulanya kami diberangkatkan di
Pondok Pesantren Al-Mukhlisin Ciseeng Papung Bogor. Rupanya pilihan dan
undangan sekolah disini dipesan oleh Wapres
RI pada waktu itu, Sudharmono.
Rupanya pada waktu saya datang ikut MTQ di Bandar Lampung dulu (dua bulan
sebelumnya), acara penutupannya di lakukan oleh Wapres RI ,
Sudharmono. Kemudian banyak peliputan dan tersiar berita di berbagai media massa pada waktu itu
tentang berbagai hal tentang kami, Kafilah asal Irian jaya. Termasuk berita itu
mungkin juga keikutsertaan saya lebih banyak tentang darimana lingkungan
kehidupan masyarakat saya berangkat..
Karena itu masuk akal. Mungkin
ada yang kastau dan sampai ke telinga Wapres
RI , bahwa saya satu-satunya
peserta dari Papua Asli, juga dari komunitas muallaf (daerah baru Islam
berkembang). Beliau selaku pemimpin nasional, wajar karena itu tergerak hatinya,
agar saya dan kawan-kawan berkesempatan belajar disini (pondok Pesantren
Al-Mukhlisin) . Ini terbukti kami ketahui belakangan bahwa beliau sponsor utama
Pondok Pesantren Al-Mukhlisin yang pemiliknya adalah staf pribadinya sendiri
Bapak Haji Zainal Abidin. Karena itu ketika kami tiba pertama di Pondok
Pesantren yang letaknya arah barat diluar kota Bogor ini, kami di pungut langsung sebagai anak angkat
oleh sejumlah pejabat dari Sekretariat Negara
RI .
Tiba di Tanjung Periuk
Kami menginjakkan kaki pertama di
Tanah Jawa pada bulan Agustus tahun 1988 di Tanjung Priuk. Itu berarti untuk
tiga orang kawan saya paling pertamakali menginjakkan kaki di sini (Jakarta).
Kami berangkat dari Jayapura menggunakan kapal laut dengan KM Umsini.
Perjalanan cukup lama dengan memakan waktu satu minggu. Lama-lama diatas kapal
laut membosankan, apalagi makanannya tidak enak. Walaupun di atas kapal ada
hiburan, kami orang baru, disamping itu ada pengantar yang terus mengawasi,
agar kami tidak hilang, terus membatasi.
Begitu tiba di pelabuhan Tanjung
Priok sudah ada jemputan. Kami tiba pada sore hari disini. Ternyata kami
termasuk santri teristimewa, karena langsung di jemput oleh Kiay, pimpinan
Pondok Pesantren, tempat dimana kami akan belajar didalam pola pendidikan system
asrama yang semi militer peraturannya. Hal demikian tidak sama sekali dialami
pelajar lain yang berasal dari berbagai daerah Indonesia itu. Disni misalnya ada
santri asal Timor, Maluku, Sulawesi, Kalimantan Sumatra, Jawa, Madura dan Aceh
Darusslam.
Dari Tanjung Priuk kami dibawa
langsung ke Pondok Pesantren Ciseeng Parung Bogor, Jawa Barat pada waktu sholat
maqrib tiba. Sehabis sholat maqhrib berjama’ah bertempat di Mesjid kami
diperkenalkan kepada seluruh santri dan santriwati yang jumlah ribuan anak. Kami
disuruh maju satu-satu dari empat orang untuk memperkenalkan nama oleh Pimpinan
Pondok kepada kawan-kawan baru kami dan seluruh staf pengajar Pondok.
Pengantar kami sudah bicara
duluan kepada pimpinan Pondok bahwa makanan pokok kami di Wamena Papua bukan
nasi. Karena itu masa-masa awal kami di Pondok tidak makan bersama di dapur
umum tapi dikhususkan makan dirumah Kyai. Untuk kami makan disediakan makanan
ubi. Ibu dapur Pondok selalu sudah harus belanja bersama makanan yang
diperuntukkan buat kami siswa/santri dari Papua. Demikian tugas itu sebagaimana
yang diamanahkan Pimpinan Pondok. Ibu dapur selalu membeli makanan khusus buat
kami dari Papua yaitu ubi jalar yang juga banyak terdapat di kota
Bogor .
Tapi ubi jalar sebagaimana
makanan pokok kami di Wamena lain rasanya dengan yang tumbuh di Bogor yang terkenal subur
itu. Ubi di Jawa rasanya manis tapi tidak mengenyangkan. Tapi ubinya juga
kecil-kecil tidak seperti di Wamena. Ubi Wamena Papua makan pagi bisa bertahan
sampai malam hari. Tapi ubi disini buat kami banyak kentut, juga bau, karena
serbelumnya di Jayapura dan dalam perjalan diatas kapal kami sudah makan nasi.
Pertama di Pesantren
Penerimaan siswa-siswi baru,
sesuai jadwal Depdiknas RI sudah lewat beberapa minggu lalu. Kami
terlambat tiba disini. Kami dari Papua boleh langsung sekolah bersama
kawan-kawan dari Pondok yang sudah lebih awal masuk sekolah. Soal pendaftaran
dan lain-lain sudah diatur oleh pihak Pondok. Saya ingat persis pertama masuk
sekolah, sebagaimana biasa, sebagai siswa baru kami memperkenalkan diri kepada
teman-teman didepan kelas. esok hari kami masuk sekolah formal bersama
kawan-kawan yang sudah lama disini.
Disini menerapkan system
pendidikan Islam dan umum sekaligus. Pada pagi hari kami sekolah formal, SMP
Islam Al-Mukhlisin. Pada sore hari kami belajar khusus program pesantren,
Madrasah Diniyah (Sekolah Agama) terdiri dari : Diniyah Ula (setingkat SD),
Diniyah Wustho (setingkat SMP), Diniyah ‘Ulya (seingkat SMA). Demikian
nama-nama sekolah di Pondok kami menyebutnya. Tapi di Pondok lain penyebutan
sekolah program khusus Pondok tidak selalu sama. Misalnya ada yang menyebutnya
dengan Ribathiyyah. Malah ada digabung secara integral sehingga yang ada hanya
satu yakni Madrasah diniyah.
Kami pertama masuk diniyah
Wustho. Pagi SMP dan sore Wustho. Madrasah Diniyah Wustho lebih banyak hafalan.
Terutama Al-Qu’an, Hadits, Mahfudhot. Demikian juga bahasa Arab, Shorof dan
Nahwu. Kurikulum sekolah sore sepenuhnya adalah sekolah Islam sebagaimana
berlaku umum diberbagai Pondok Pesantren umumnya di Indonesia .
Sistem belajar disini sebenarnya
tidak terlalu beda dengan system di kampung dulu Walesi. Tapi bedanya disini
lebih kompleks fasilitasnya, juga termasuk tenaga pengajar. Kecuali itu, di
Pesantren ini menerapkan jadwal kegiatan santri sejak dari bangun pagi sampai
kembali wajib tidur jam 10 malam adalah sesuatu yang tidak kami dapati di
Walesi.
Siswa sekolah disini ada yang
mukim di Pondok dan yang lain pulang-pergi dari rumah orang tua. Yang bermukim
di Pondok Pesantren utamanya siswa dari luar kampung disini. Hanya orang-orang
jauh seperti halnya kami. Tapi ada juga tidak terlalu jauh rumahnya yang mukim
di Pondok khusus Panti. Kami dari Papua dimasukkan dalam kategori santri Panti.
Soal tengek-bengek bayaran
sekolah diurus oleh ketua Panti Pondok. Ketua Panti adalah pemilik Pesantren
sendiri, Haji Zaenal Abidin, staf pribadi Wapres
RI , Sudarmono. Hal ini
menyangkut biaya pendidikan dan biaya hidup di Pondok yang lumayan mahal.
Mula-mula kami 4 orang siswa asal Papua ini diambil anak angkat oleh sejumlah
pejabat dari Setneg (Sekretariat Negara RI). Tapi bersamaan dengan mereka
pensiun perhatian menjadi mengurang.
Belajar sekolah diniyah kami dari
Papua tidak terlalu ketinggalan, sebagaimana di sekolah umum pada pagi hari.
Sekolah diniyah pada dasarnya sama atau kelanjutan dari Madrasah Ibtidaiyyah
dulu. Bedanya hanya banyak hafalan misalnya: Al-Qur’an, Hadits dan Mahfudhot
(kata mutiara Arab) malah lebih utama hafal, kalau dapat beberapa surat dari ayat
Al-Qur’an. Disini lebih padat muatan agama.
Kurukulum diniyah meliputi
pelajaran: Hukum Islam (ibadah Syari’ah), Aqidah, Akhlaq, Nahwu, Shorof (tata
bahasa Arab), Tafsir, Hadit, dan Bahasa Arab adalah beberapa contoh saja mata
pelajaran di sekolah diniyah di Pondok ini. Tenaga pengajar lebih banyak dan
kadang menggunakan bahasa Arab dalam pengajarannya. Karena itu belajar dan
sekolah sore adalah biasa bagi kami dari Walesi, ketimbang betapa berat
menyesuaikan diri disekolah formal pada pagi hari. Sebab kelanjutan dari system
sekolah kami di Walesi dulu lebih banyak persamaan dengan sekolah diniyah
wustho di Pondok Pesantren ini daripada sekolah formal pada pagi hari di SMPI
Al-Mukhlisin.
Pondok Pesantren Al-Mukhlisin
saat kami tiba pertama belum punya Tsanawiyyah dan Aliyah. Hanya ada SD, SMP
dan SMA dengan ditempeli nama Islam dibelakangnya. Setelah beberapa tahun kami
disini program Madrasah Aliyah diadakan. Tapi Tsanawiyyah tetap belum ada saat
kami lulus tinggalkan Pondok ini pada tahun 1994. Kami otomatis sekolah SMP,
adalah halangan tersendiri, atau agak berat buat kami menyesuaikan dengan bobot
pendidikan umum yang kami belum terlalu biasa. Nilai pelajaran matematika,
Kimia, Fisika saat ulangan, saya di ponten bukan lima tapi 4 oleh guru SMP. Saya dan menyadari
betapa kami siswa paling bodoh dikelas saat pertama sekolah disini.
Masa-Masa Sulit di Pesantren
Mereka di sini (Jawa Barat),
sekolah dengan fasilitas dan kurikulum modern sesuai aturan pendidikan
nasional. Sementara kami, dari pedalaman Papua, sudah pasti berat sekali menyesuaikan
diri dengan system pendidikan di Jawa yang sudah standar nasional sebagaimana
juga berlaku di kota-kota besar Papua, Jayapura misalnya. Tapi Kami dari
Walesi, dari pelosok pedalaman, sekolah saja kami kadang minggat beberapa bulan
baru datang masuk kembali, adalah pengalaman belajar di pedalaman Papua dulu.
Tapi disini, system pendidikan standar nasional dengan tingkat disiplin cukup
tinggi.
Kami siswa 4 orang asal Papua
ditempatkan lain-lain kelas agar cepat berbaur dengan kawan-kawan dari daerah
lain. Pertama masuk kelas banyak teman menawarkan duduk sebangku. Tapi dari
beberapa teman, saya memilih duduk satu bangku dengan teman Pondok yang bergaul
paling akrab dengan saya namanya, Yayat Suyatna (kini Wakil Direktur STIE Ahmad
Dahlan Muahmmadiyah Jakarta). Teman ini belakangan saya ketahui salah satu
siswa terpandai di kelas kami. Dia selalu juara kelas kalau tidak ke-1 urutan
ke-2. Hampir semua siswa dari Pondok menjuarai ranking kelas pada saat kenaikan
kelas di seklah formal SMP.
Pada awal masuk kelas saya
satu-satunya teman mereka paling unik. Sebahagian datang pegang-pegang rambut
saya, ada yang takut-takut, ada yang tanya ini itu biasa pada susuatu hal asing
dan baru bagi mereka. Saya senang pada mereka. Malah ada yang nonton saya,
macam TV, maklum teman baru mereka paling asing dikelas. Selain masuk akal
karena saya teman mereka satu-satunya yang lain rambut dan kulit. Saya
diperlakukan oleh guru dan juga teman-teman agak istimewa. Mereka ingin
berteman dan bergaul dengan saya secara akrab. Hal itu juga mungkin teman lain
siswinya, tapi saya tidak boleh terlalu berlebihan, sebagaimana aturan
pembatasan Pesantren.
Kami di kelas dari Papua menjadi
sorotan banyak teman termasuk guru-guru tapi sangat menyayangkan kami dari
Papua tidak terlalu pandai sebagaimana yang mereka harapkan. Saya merasa siswa
paling bodoh dikelas waktu itu. Saya dan juga teman lain disini, kami ada
beberapa, termasuk siswa paling bodoh. Sebagaimana dapat diduga dari awal bahwa
nilai kami siswa asal Papua jeblok semua.
Saat pembagian raport saya
ranking 47 dari siswa 47 jumlah semua siswa kelas. Nilai saya hampir semua
angka merah, bukan diponten 5 tapi juga ada yang 4. Nilai saya paling tinggi
diponten 6, semuanya merah alias diponten 5 dan Fisika di ponten 4 dalam
raport. Tapi saya dan satu teman Papua lagi masih beruntung karena pihak dewan
sekolah rapat dan memutuskan kami naik kelas dua, tapi dua teman kami dari
Papua yang lain dinyatakan tidak naik kelas alias tahan kelas.
Demikian awal-awal kami sekolah
di Pesantren Pulau Jawa. Pada saat masih duduk dikelas dua SMP pun kami masih
yang paling terbelakang, goblok! Padahal hal demikian bodoh ini tidak kami
alami di sekolah sore (diniyah). Dapat dibayang disamping cultur, sistem
pendidikan di Jawa lebih maju ketimbang kami di Papua. Proses adaptasi
berlangsung selama satu tahun. Pada saat naik kelas tiga SMP, kami sudah dapat
menyesuaikan diri sedikit. Terbukti tugas karangan pelajaran Bahasa Indonesia
sanggup kami kerjakan.
Kami lulus SMP tahun 1991, dan
melanjutkan di Madrasah Aliyah yang baru dibuka.. Di Aliyah setingkat SMA itu
kami sudah biasa dalam artian dapat menyesuaikan diri dengan teman-teman lain
disini, malah ada beberapa pelajaran misalnya bahasa Arab, teman-teman,
terutama dari kampung sekitar yang tidak mukim di Pondok, datang duduk dekat
kami agar dapat menyontek.
Sejak pertama kami datang dan
masuk di Pesantren kami menjalani hidup sebagaimana peraturan sudah ada sebelumnya,
sama dengan kawan-kawan lain yang sudah lebih dulu ada disini. Kegiatan
pesantren sangat padat dengan dengan jadwal yang ditata secara rapih. Kami
semua harus mentaatinya, tidak boleh ada yang melanggarnya. Jika melanggar
sanksi mulai dari hafalan, botak, kerja bakti, sampai yang paling berat kalau
pelanggarannya maka sanksinya siswa bersangkutan diserahkan ke orangtuanya
alias dikeluarkan dari Pesantren.
1). Dunia Pondok Pesantren
Pag-pagi sekali semua santri baik
pria maupun perempuan, istilah dunia pesantrennya Santriwan dan Santriwati,
harus bangun jam 05.30 WIB untuk sholat subuh berjamaah. (Jika tidak bangun
sholat subuh bersama hukumannya agak lebih berat, tapi kalau susah bangun
kadang disiram oleh petugas yang membangunkan pagi yang dituskan secara
bergiliran dari santri sendiri). Ba’ada sholat subuh kegiatan di lanjutkan
dengan Program Bahasa Arab dan Inggris selama beberapa jam. 07.00 di kelas.
Sesudah itu pagi membersihkan kamar masing-masing, bagi yang diserahi tugas
sesuai jadwal nama harus menyapu dan mengepel kamar.
Kemudian dilanjutkan dengan
mandi, makan dan mempersiapkan diri dengan segaram masuk sekolah formal. Dari
jam 08.00 wib, kami masuk sekolah formal, belajar sampai jam 12 siang, semua
santri wajib ikut sholat dhuhur berjama’ah di Masjid. Setelah itu makan siang
jam 13.30 wib. Kembali masuk sekolah sore (Madrasah Diniyah) sampai selesai
keluar jam 14. 30 wib sholat Ashar berjama’ah di Masjid..
Ba’da Ashar pada sore hari wajib
olahraga. Meliputi sepak bola, Folly Ball, Tennis Meja, Pimpong dll. Tapi jam
17. 30 santri wajib harus sudah ada di dalam mesjid membaca Al-Qur’an sampai
waktu sholat maqhrib tiba. Ba’da maqrib semua santri wajib belajar program
Takhassus Qur’an yakni program Pondok Pesantren misalnya kitab kuning, qiro’ah,
takhassus Qur’an, singkatnya belajar mengaji tapi berbagai tingkat mulai dari
yang dasar sampai yang tertinggi belajar kitab kuning bagi yang menguasai tata
bahasa Arab dasar (shorf, nahwu, atau kitab jurumiyah).
Belajar malam sampai waktu sholat
isya dating shilat berjama’ah, tapi ada sebahagian terutama kelas tinggi sampai
kelewatan belajar jam sholat isya lewat. Kemudian waktu makan malam dari jam
22.00 wib sampai jam 22. 30 wib belajar di masing-masing ruang belajar yang
disediakan. Belajar ini namanya muthola’ah (mengulang kembali pelajaran di
sekolah maupun pelajarn diniyah yang banyak hafalan. Jam 10 malam semua santri
sudah haruis tidur untuk kembali bangun pagi-pagi lagi.
Tapi pada hari malam jum’at
santri semua santri di wajibkan secara bersama membaca surat Yasiin, tahlil, dilanjutkan membaca
barzanzi (sholawat pada Nabi) di masjid. Tidak ada kegiatan lain pada malam itu
(pada malam ini makannya selalu pake daging ayam, ada teman yang ingin
cepat-cepat selesai agar berebutan lebih dulu dapat jatah makan dengan paha
ayam atau sayap adalah suatu kelucuan tersendiri hari-hari kehidupan di
Pondok).
Kemudia pada pagi harinya senam
pagi, dilanjutkan dengan bersih-bersih lingkungan secara bersama sampai jam
09..30 wib. Usai itu santri punya waktu memcuci pakaian sendiri dan kegiatan
lain-lain sampai waktu sholat Jum’at tiba. Hari Jum’at adalah hari libur
Pesantren. Santri-Santriwati lebih banyak menggunakannya untuk mencuci pakaian
sendiri yang sudah ditampung dua-tiga hari sebelumnya.
Setiap sabtu dan minggu ba’da
subuh semua santri wajib ikut mengaji kitab kuning bersama di masjid. Kitab
yang digunakan namanya “Al-Ushfuriyyah”,
“Nashoihul Ibad”, yang isinya lebih
banyak tentang nasehat dan keutamaan akhlaq mulia seorang santri hidup ditengah
masyarakat dan untuk dipraktekkannya. Biasanya kitab di baca Kyai atau Ustadz,
santri memberi harokat, lalu mencatat tafsirannya di pinggiran kitabnya.
Kitab kuning tertulis huruf Arab
dan bahasa Jawa. Hurufnya tertulis dalam bahasa Arab huruf gundul (tanpa tanda
baca, harokat). Namanya hurufnya disebut pegon atau jawi. Mungkin demikian
diajarkan diseluruh Pondok Pesantren di seluruh Jawa. Kitab kuning merupakan
program andalan di Pondok Pesantren. Bisa membacanya merupakan suatu
keistimewaan. Tapi sekolah modern seperti kami dengan padat kegiatan lain, maka
dengan sendirinya program pondok menyebabkan tersingkirnya belajar menguasai
kitab khusus di Pondok ini.
Kembali pada jadwal pondok, bahwa
pada malam hari ba’da isya tatakala kami belajar latihan pidato (muhadhoroh) di mesjid diadakan pengajian
bersama kaum bapak dari sekitar lingkungan Pondok. Kemudian pagi harinya sampai
jam 11.30 wib mesjid diisi pengajian umum kaum ibu (majlis ta’alim). Kami semua
santri libur pada hari itu, tapi pada malamnya ada latihan muhadhoroh (latihan
pidato) dan acara hiburan lainnya, karena itu hari minggu hari penting bagi
kegiatan pondok untuk masa depan kami berdiri dihadapan masyarakat umum.
Pagi diadakan olahraga lari pagi
keluar Pondok sampai jam 09.00 wib, kembali kepondok untuk istirahat makan dan
lain-lain. Habis makan latihan Dram Band dan Mercy Band. Kami dari Papua satu
anakpun tidak ada yang ikut kegiatan ini. Kami memanfaatkan waktu libur ini
kelur Pondok untuk mengenal lingkungan sekitar. Pada hari minggu, waktu libur
Pondok santri boleh keluar tapi harus izin dan ketat. Kami santri Papua kadang
jalan sampai ke Kali Cisadane untuk mandi-mandi, kadang ke Gunung Menara di
Putat Nutug (gunung tertinggi daerah itu).
Kadang juga kami jalan sampai ke
kampung-kampung yang jauh di daerah Rumpin, Ciampea, Cibogo, Cibentang, Putat
Nutug, dan Cibentang Bogor (semua nama daerah sekitar tidak jauh dari Pondok)
dan pulang dengan membawa pepaya, singkong, kelapa dll pemberian orang kampung.
Tapi semua santri wajib ada di Pondok dan 15 menit sebelum adzan dikumandangkan
sudah harus membaca al-qur’an di Masjid. Demikian rutintitas kehidupan di
Pondok Pesantren Al-Mukhlisin terus menerus kami jalani selama tiga tahun awal
di Pesantren kelas satu sampai tamat SMP.
2). Rindu Kampung Halaman
Selama beberapa waktu lama kami
ikuti semua kegiatan Pondok ini, lama kelamaan menjalani rutinitas demikian
padat sangat membosankan dan membuat kami tidak betah tinggal di Pondok ini.
Kejenuhan terjadi kira-kira 6 bulan pertama kami tinggal di Pondok ini.
Menjalani rutinitas Pondok lama kelaman adalah membosankan dan membuat kami
sudah tidak betah tinggal di Pondok ini. Hal itu semakin diperparah lagi oleh
kerinduan pada orang tua dan kampung halaman untuk berjumpa kembali dengan
sanak family. Kami rasanya sudah lagi tidak betah disini, tempat sangat jauh
dari nanak kelurga, saudara-saudara kami di Walesi Wamena Papua.
Awalnya biasa tapi teman dua
orang tidak naik kelas sekolah formal tahun pertama kami sekolah disini semakin
kami sudah tidak betah. Dua kawan prustasi akhirnya, ada yang mogok kembali ke
sekolah formal. Pada awalnya kami menjalani hidup dengan biasa tanpa ingat
siapa-siapa. Tapi setelah 6 bulan sampai menjelang mau satu tahun, jujur saya
merasakan kerinduan yang sangat amat dengan kampung halaman dan sanak family.
Waktu itu komunikasi dengan
keluraga/orang tua dikampung Walesi Wamena nun jauh sana
hanya lewat surat kantor pos. Itupun surat kami atau mereka
sampainya dengan jarak waktu berbulan-bulan. Berita yang kami terima suatu kejadian
di Kampung berita basi, sudah beberapa bulan lewat baru kami tahu kejadian itu.
Misalnya temana saya ada keluarganya meninggal, kami tahu setelah kejadian itu
beberapa bulan kemudian.
Karena semua itu, hanya, kami
sangat rindu dan malas, sangat malas, hidup terus begini. Lamunan kerinduan
untuk berkumpul kembali dengan handai taulan di kampung benar-benar membuat
kami tidak betah tinggal di sini, di Pondok ini. Tapi bagaimana kami bisa
kembali pulang untuk berkumpul lagi dengan orang tua dan handai tauland di
kampung? Tidak ada jalan! Satu-satunya jalan datang pergi di belakang Pondok,
di bawah pohon kelapa, melamun sambil memandangi arah matahari terbenam sampai
waktu sholat maqrib tiba oleh suara pengajian dengan pengeras suara keras
terdengar yang mengagetkan lamunan, menandakan santri harus sudah ada di mesjid
sebelum 15 menit adzan di kumandangkan.
3). Pacaran dengan Orang Kampung
Hari demi hari betapapun kami
bosan akan rutinitas Pondok dan kerinduan mendalam akan perjumpaan dengan
keluarga sekaligus orang tua dikampung halaman.. Tidak ada yang lain, selain
hasrat pulang kampong tidak tercapai. Dari hari-kehari terus berlalu disini
tanpa tercapai kerinduan dan hasrat perjumpaan dengan orang tua yang mengasihi
kami di kampung halaman. Kami tertawan disini, juga tidak ada jalan lain,
selain hanya rasa kerinduan belaka tanpa pernah terwujud rasa rindu pada yang
dirindui.
Waktu begitu terus berlalu, usia
semakin bertambah membuat kami menjadi remaja-remaja yang menginjak usia
pubertas. Dunia penuh keingintahuan seorang remaja dimana-mana, sebagai manusia
beringstual lazimnya. Ada
hasrat, biasa ingin bergaul dengan lawan jenis adalah suatu hal pantangan di
Pondok. Terus terang di Pondok ini dan mungkin semua Pondok umumnya
dimana-mana, pacaran adalah hal tabu, selain dilarang dalam agama Islam, jika
ketahuan urusannya gawat, dikeluarkan dari Pesantren.
Kami dari 4 orang anak Papua,
mungkin saya paling kecil tiba pertama di Pondok ini. Artinya kala itu saya
belum baliqh (mimpi basah). Semua proses itu terjadi disini sejak beberapa saat
tidak lama kami tiba di Pesantren Al-Mukhlisin. Dalam pesantren (lingkungan
Pondok) pergaulan bebas apalagi lawan jenis sangat pantangan. Jangankan bicara
lama-lama, untuk memadang lain jenis saja, sudah tidak boleh kalau bukan
muhrim. Tapi kalau disekolah umum agak renggang aturannya. Hal itu dimungkinkan
terjadi di bangku sekolah formal bagi anak santri Pondok.
Terus terang saya punya dua orang
teman yang tidak pernah bisa lupa sampai sekarang ini. Yang satu teman mengaji
pada sore hari, kami sama-sama anak Pondok. Dia teman saya pertama yanag saya
naksir. Dia anak Betawi Pondok Pinang, Jakarta Selatan, namanya Neneng. Kami
belajar mengaji sama-sama satu kelas ba’da maqhrib pada program takhassus
Al-Qur’an. Mungkin dia akrab dengan saya karena kami sama-sama menyukai
qiro’ah. Saya lebih biasa melagukan Al-Qur’an karena pernah jadi Qori nasional
Papua. Dia menyukai suara saya melantunkan ayat-yat Allah dengan indah. Dalam
makhrojul huruf, tajwid, murottal adalah sudah biasa bagi kami dari kampung
halaman Papua. Dia selalu duduk dekat, setiap kesempatan memanggil, hanya
sekedar untuk melagukan al-qur’an.
Yang kedua, namanya O’om, biasa
nama panggilan orang Sunda. Dia orang Kampung dari Putat Nutug, Rumpin Utara, Bogor . Dia tidak mukim di
Pondok sebagaimana Nenenga tadi. Orangnya tidak terlalu cantik, tapi hitam
manis. Dia kadang duduk satu bangku dengan saya di Aliyah kelas satu. Apalagi
kalau ulangan pelajaran bahasa Arab. Saya sebenarnya tidak tahu bahasa Arab,
tapi dia menganggapnya bisa menjawab soal. Jika saya ada bicara dengan teman
dia yang lain dia cemburu. Saya cepat ditariknya untuk jangan saya bicara
dengan temannya.
Sungguh mengingat semua itu
rasanya indah, sungguh begitu indah. Kata orang masa-masa sekolah adalah masa
yang paling indah. Tapi itu hanya perasaan saya, padahal mungkin karena dia mau
bisa mengaji. Saya merasakan tapi dia tidak merasakan atau …entahlah, tapi
adalah sesuatu hal masa lalu yang tidak cocok diceriterakan disini.
Tapi ada satu hal seperti
dijelaskan diatas tadi bahwa diluar sekolah formal (SMP, itupun tahun-tahun
awal kami sekolah disini), memang kami sangat ketinggalan, ya, kami sangat
bodoh dikelas, nilai rapurt angka merah semua. Dari 10 mata pelaran wajib
nasional, 6 angka merah, hanya empat angkat ditulis dengan warna hitam.
Rangking paling terakhir dari jumlah siswa kelas. Sampai dua orang teman Papua
finyatakan tidak naik kelas. Hal demikian tidak sama dengan sekolah program
Pondok. Kami anak.anak Papua, tidaklah terlalu ketinggalan. Apalagi sesudah
kami memasuki tahun kedua dan ketiga, sebenarnya kami sudah dapat menyesuaikan
dan dapat menerima pengajaran sekolah biasa sebagaimana kawa-kawan kami yang
lain selain Papua.
Selama beberapa tahun di Pondok
rasa rindu kampung halaman Papua nun jauh sudah tidak lagi ada, sahabat dekat
lain belum lagi ada, di Pondokpun aturannya ketat untuk bisa membagi rasa rindu
dan susah. Maka kami sering kaluar jalan-jalan di kampung sekitar. Disitulah
saya dan teman juga dari Papua berkenalan dengan gadis-gadis Bogor . Mereka tinggal di kampung sebelah.
Rumah mereka agak jauh tapi masih bersebelahan dengan Pesantren kami. Tiap hari
minggu pagi hingga sore bahkan sampai malam kami sering datang pergi kesana.
Hal demikian tidak diketahui pihak Pondok, kalau tahu urusannya gawat. Ya, kami
berpacaran. Sayang belakangan mereka sudah dipinang pemuda tetangga.
4). Juara Umum Takhasus Qur’an
Pada waktu diadakan class
meeting, setelah kenaikan kelas, di Pondok diadakan lomba berbagai cabang,
mulai dari pertandingan bola kaki, fola foly, dan lain-lain cabang olahraga
antar kamar, juga di adakan MTQ, lomba azdan, Qiro’ah, murottal, dll.
Pertandingan jenis pertama diadakan tentu saja secara beregu, kamar asrama
dimana anak-anak Papua menghuni memborong semua hadiah dan piala perlombaan.
Adapun jenis perlombaan kedua, saya dinyatakan keluar sebagai juara umum se
Pondok Pesantren Al-Mukhlisin.
Demikian juga dalam pembagian
raport baik di sekolah umum maupun Diniyah Pondok, nilai kami tidak seburuk
masa awal kami datang kesini. Bahkan ranking sekolah diniyah prestasi anak-anak
Papua lebih baik dan meraih prestasi secara kompetitif dengan kawan-kawan
santri dari Jakarta .
Saya sempat dicatat juara dua sekolah Diniyah Wustho (setingkat SMP, sekolah
khusu Pondok). Demikian juga ada teman Papua yang otaknya boleh diandalkan, dia
pintar, namanya Muslimin Yelipele. Dia anak yang pintar, salah satu anak Papua,
tapi orangnya pendiam, kurang euphoria sebagaimana kepribadian saya, terkesan
riya’ dan takabbur, seperti saya lakukan disini, menceriterakannya.
Semua ini saya ceriterakan
terjadi pada saat kenaikan kelas, berarti bagi saya dan beberapa teman Papua,
saat ujian SMP, Diniyah Wustho, yang kami ikuti, terjadi pada tahun 1990-1991.
Dalam tahun-tahun ini kami sudah menyesuaikan diri dan dapat berkonpetisi sama
dengan rekan-rekan kami daerah lain di kelas maupun dalam pergaulan
sehari-hari. Kami sudah biasa dengan kehidupan di Pondok, bahkan rasa
solidaritas kami, anak-anak santri dari berbagai daerah lebih kuat dan lebih
tinggi daripada rasa nasionalisme orang Papua pada NKRI hari ini.
Bahkan menjelang tahun 1990 dari
tahun 1989 malam pergantian tahun, saya dan kawan-kawan pergi ke Bandung. Ada teman anak Betawi
Tanah Abang (Pejompongan, Play kami memanggilnya, tapi nama sesungguhnya
Firman), punya teman bernama Kriston Situmorang, orang Batak.. Dia ini
belakangan menjadi teman paling akrab dengan saya, walau kami terpaut jauh,
baik, adat budaya, agama maupun pendidikan.
Kami bersama mengadakan jalan
liburan panjang ke Bandung .
Saya masih ingat pada malam tahun 1990 itu saya datang antar dia ke Gereja
Khusus Batak (HKBP) di kota Bandung . Kalau suara adzan terdengar biasa
dia antar saya ke Masjid, pokoknya asal ada suara orang adzan kata dia Ismail,
Muhammad ada panggil kamu ke Mesjid, dan dia mengantar saya kesana.
5). Jadi Guru Ngaji
Di Pondok sejak saya menjadi juar
umum, banyak orang tua yang anaknya belum bisa mengaji datang menitipkan pada
saya, agar diajari, mengaji. Terus terang saya secara keuangan tidak memungut
bayaran, tapi dikasih suka rela oleh orang tua mereka. Waktu saya mengajar
mereka mengaji pada sore hari menjelang sholat maqrib berjama’ah. Dari sini
saya bisa bantu teman Papua untuk bisa beli sabun mandi, cuci, sikat gigi, odol
dan lain keperluan, terutama jajanan lain di sekitar Pondok.
Anak yang saya ajari mengaji ada
tiga orang, yang masing-masing orangtuanya termasuk orang mampu. Mereka jadinya
mengaji duakali, dengan saya lebih dulu sebelum ke guru ngaji tetap Pondok.
Terus terang pada awalnya mereka ini sama sekali huta aksara arab. Saya
kenalkan huruf sampai belajar metode iqro. Pada akhirnya mereka menjadi bias
dan cepat menguasai selama tiga bulan.. Ada
yang sudah bisa tapi dia diminta oleh orangtuanya agar saya ajari qiro’ah.
Yang satu lagi minta diajari
tajwid dan membaca al-qur’an secara baik dan benar. Saya ajari dia lagam
qiro’ah murottal. Ketiganya saya ajari setiap ada kesempatan tapi tidak sampai
tuntas dan saya lebih sering diajak pergi ikut Pak Mulia untuk mengaji di
berbagai kalangan pengajian baik pejabat pemerintah maupun masyarakat umum di
berbagai kota di Jakarta dan Jawa Barat.
6). Ikut Pak Mulya Tarmidzi
Pada satu kesempatan acara di
Pondok ini yang umunya dikunjungi para pejabat pemerintah, utamanya para
Menteri Kabinet Soeharto-Sudarmono. Sebagai penceramah diundang Dr. Nurcholis
Majid (Cak-Nur, Cendikiawan Muslim Indonesia terkenal itu), untuk berbicara
dihadapan santri disini, tapi berhalangan datang. Maka da'i ketiban, Dr.
Muhammad Mulya Tarmidzi mendadak di undang datang ke Pondok ini. Kebetulan kami
sendiri belum kenal dia. Tapi ternyata dia adalah Kolonel AL, yang pernah
bertugas di Angkatan Laut 10 di Hamadi Jayapura Papua.
Dan dalam tahun 1978 Letnan
Kolonel Angkatan Laut yang juga Dokter sekaligus Ulama ini pernah datang berkunjung
ke Wamena. Islamic Centre Wamena adalah oraganisasi yang disponsori olehnya.
Dia dikabari bahwa disini, santri berasal dari berbagai daerah Indonesia .
Pondok ini ada anak-anak Papua asal Walesi Wamena. Paitua kaget minta ampun.
Besoknya dia mengutus anak angkatnya, orang Papua juga, bernama Ilham Walelo,
untuk datang jemput kami bawa pergi kerumahnya di Cinere, dekat Pondok Labu
kompleks AL .
Berikutnya dia menyuruh Ilham
Walelo (saat itu kuliah di IAIN, kini UIN Jakarta) untuk menjemput saya, agar
diajaknya pergi mengaji dalam berbagai kesempatan ceramahnya. Selama duduk
kelas tiga di bangku SMP, saya lebih banyak pergi mengikuti Pak Mulya Tarmidzi
keliling kota Jakarta dan Jawa Barat. Sebelum beliau
ceramah dihadapan jama'ah pengajian saya lebih dulu mengaji, setelah itu
sebelum masuk thema ceramahnya yang kadang isinya lucu-lucu membuat jama'ah
terbahak-bahak tertawa itu, dia menceriterakan dulu kondisi Islam di Walesi,
bagaimana perjuangannya dulu, siap tokoh pejuangnya dan dikatakannya saya salah
satu anak Kepala Suku dari daerah yang masih muallaf yang diislamkannya itu.
Setelah itu beliau mulai ceramah sesuai thema yang diminta para jama'ah.
Demikian itu berlangsung sampai saya sudah di SMA/Aliyah dikemudian hari.
Kenal Dunia Luar Pesantren
Pada waktu saya lulus ujian SMP,
walaupun nilai tidak memuaskan, tapi tidak seburuk nilai pertama sekolah
disini. Saya lulus ujian bersama teman, dua orang dari Papua tahun 1991, dan
langsung mendaftarkan diri di Madrasah Aliyah. Aliyah ini baru buka kami siswa
angkatan kedua dari siswa sekolah baru ini. Saat-sat itu juga sebenarnya di
Pondok saya sudah punya prestasi. Saya mewakili Pondok ini mengikuti MTQ
tingkat Kecamatan Parung di Masjid As-Sholihin yang diadakan kerja sama dengan
Majalah Panjimas (Panji Masyarakat Islam, pendirinya Buya HAMKA, Pendiri MUI,
Ulama Indonesia terkenal lewat tulisan dan ceramah-ceramahnya). Bahkan saya
menjadi guru mengaji Frivat beberapa orang anak yang dititipkan oleh orang
tuanya untuk saya mengajari mereka mengaji.
Namun sayang, akibat
pergaulanbebas, ditambah lagi aturan Pondok yang mulai tidak ketat, apalagi
anak-anak baru yang masuk belajar di Pondok ini orangtuanya beragam latar
belakang, dari yang orang kaya, pejabat pemerintah, pengusaha sampai anak orang
biasa layaknya saya, juga ada anak pengusaha, anak Kiay dan lain-lain latar
belakang semua ada disini, di Pondok ini. Hal itu membuat kehidupan di Pondok
menjadi labil. Penegakan aturan tidak sekrtat, dan se taat masa dulu saat
pertama kami tiba disini.
Kami anak-anak Santri banyak
melanggar aturan Pondok, kami menjadi anak Bandel. Dari Papua saya termasuk
anak lumayan berprestasi yang paling bandel. Teman-teman segan dan takut saya,
termasuk kismul amninya (petugas keamanannya) , karena badan saya kuat dan besar.
Mereka takut! Saya sesungguhnya anak baik sekaligus anak nakal dan berani
melawan ustadz di Pondok ini. Padahal menyesal seumur hidup, apalagi dalam
kitab, Nashoihul ‘Ibad; kami diajarkan bagaimana menghormati guru, ya, para
ustadz kami di Pondok, tapi saya malah sebaliknya melawannya adalah murka
sekaligus ilmu saya tidak bermanfaat kelak dikemudian hari ilmu darinya.
1). Pergaulan Bebas
Dalam pada itu ada teman-teman se
kamar bekas pengguna narkoba, pil anjing, koplo, jarum suntik dan lain-lain
juga diantar orang tuanya agar memperbaiki moralnya di antar masuk di Pondok
ini menjadi teman-teman kami. Dalam satu kamar yang disediakan pihak Pondok
kami tinggal jumlah belasan orang anak santri. Saya sering olahraga, angkat
barbell, besi, dan memperbesar badan dengan sering pus up setiap pagi dan sore
hari. Banyak kawan mencari perlindungan dengan menjadi teman akrab saya.
Saya masih ingat kawan-kawan dari
Lahat, Sumatera Selatan, orangnya nekat-nekat, punya badik. Tapi saya lebih
dekat dengan kawan-kawan dari Dumai, Riau. Kami dalam Pondok ini aturannya
tidak ditegakkan secara disiplin ketat, aturan Pondok sering tidak stabil,
membuat kami santrinya menjadi labil. Saya juga punya teman anak Surabaya , kami biasa
memanggilnya Are, Mas Are. Dia juga punya clurit yang dibawanya dari rumah dan
simpan rapih di Pondok untuk jaga-jaga diri. Itu keadaan didalam Pondok tahun
1990-an.
Diluar Pondok kita tahu ada
istilah Petrus (penembak Misterius?) pada zaman Panglima LB Murdani yang
menakutkan itu. Saya dan beberapa teman pada zaman itu sering keluar Pondok.
Beberapa teman saya yang sering panggil saya dengan “Boss”, selalu kemana-mana
ikut saya, sering datang main bukan lebih dekat di Pasar Parung, dimana disana
ada Marsel Iyai (anak Paniai, preman terkenal tukang mabuk di Pasar ini), tapi
kami sudah mulai berani main agak jauh ke Ciputat.
Kami sering datang main ke
Ciputat pada jam-jam sekolah, kami membolos. Terminal Ciputat banyak orang
Papua, ada yang Kopassus, Brimob, dan lain-lain kesatuan sering kumpul disini.
Preman yang paling ditakuti disini dan punya nama besar adalah Bung Ramar,
demikian orang menyebutnya. Dia adalah Andreas Ramar dari Manukwari. Dia baru
pulang dari Vietnam, banyak didatangi anak-anak Papua lebih muda dari Brimob
Kedung Halang Bogor, Kedaung, AL Pondok Labu, Kostrad Cibinong Bogor, Kostrad
Kebayoran Lama Jakarta. Kami sering datang kesini bagi saya awalnya rindu lihat
sesama orang Papua.
Disamping itu kami bisa cari uang
di terminal, “palak”, sopir angkot jurusan Kebayoran Lama-Ciputat, Pondok
Labu-Ciputat, Bus jurusan Tanah Abang-Ciputat, Kampung Rambutan-Ciputat,
Ciputat -Sukabumi. Banyak bioskop di Pasar ini gratis bisa kami nonton. Semua
berkat orang kuat, “Kaka Black” satu ini, Bung Ramar. Tapi kebiasaan mereka
disini kalau berkumpul selalu minum, minuman keras. Kami masih anak-anak lugu,
apalagi anak-anak Pondok. Tapi masa kami adalah masa-masa pubertas, sebagaimana
biasa dunia remaja penuh dengan mencari jati diri. Kami berkumpul dengan
orang-orang Papua yang lebih dewasa, berbaur, terjerumus lebih jauh didalam
pergaulan bebas mereka disini.
2). Dikeluarkan dari Pesantren
Terus bterang walaupun kami
sering keluar bergaul bebas dengan orang di luar Pondok, Kaka-Kaka Papua saya
selalu tidak pernah meninggalkan sholat lima
waktu. Mengingat Pondok kami lebih banyak mengarahkan keutamaan ibadah daripada
pondok lain yang lebih mengutamakan pendidikan modern dengan keutamaan menguasai
bahasa asing (Arab-Ingris). Kami di Pondok Pesantren kewajiban dan aturan wajib
berbahasa asing ada tapi dalam prakteknya sering tidak jalan.
Malahan aktivitas ibadah mahdoh
lebih di utamakan dalam praktek sehari-hari di Pondok. Maka kami sudah terbiasa
terdidik kearah pembinaan tasawuf dalam praktek. Hal ini terbawa dalam
kepribadian kami para santrinya sampai diluar Pondok. Sholat lima waktu, walau dalam kondisi sakar, tetap
saya tegakkan setiap waktu tiba.
Sejak sering keluyuran keluar
Pondok menjadi keterusan. Sudah tentu banyak teman, tapi pengaruh pergaulan
bebas, pengaruh bukan orang Pondok yang senantiasa mencari rihdo Allah SWT,
serta memperbanyak ibadah. Pengaruh dunia sorga, minuman keras, hidup bebas,
ingin mencoba hal baru, apalagi menginagt usia kala itu usia remaja yang ingin
mencari jati dirinya membuat saya semakin berani melanggar bukan saja aturan
Pondok, melainkan juga aturan Tuhan dalam syari'at Islam.
Terus terang saya tidak kenal
perempuan, dan tidak mau melakukan hal itu. Keculi minum tapi melalui
ikut-ikutan dan itupun awalnya dipaksa orang. Akhirnya sudah berani mengenal
minuman, walaupun awalnya hanya coba-coba. Apalagi lingkungan dimana saya
datang gauli di Ciputat adalah orang yang memang biasa minum dari sananya.
Kebiasaan minum tidak ada dalam
budaya Papua, hanya di kota oleh pengaruh
Belanda sedikit orang Papua minum beer, tapi saya bukanlah orang kota . Bagaimanapun juga
saya adalah orang Muslim dari Walesi yang sejak kecil sudah dikenalkan dengan
aturan hukum-hukum Islam bahwa minuman khamar itu haram, walaupun makan daging
babi yang dimaklumi masih dilanggar di kampung saya yang masih kuat budaya itu.
Apalagi dalam Pondok di sekolah Diniyah saya sudah diajarkan hadits Nabi bahwa:
Kullu muskiirin haramun; Artinya : “Semua yang memabukkan adalah haram”.
(Al-Hadits).
Sudah ada laporan ke Pimpinan
Pondok dia juga pembina Panti Pondok yang menangani soal tetek-bengek biaya
pendidikan selama berlangsung di Pondok sejak pertama kami datang. Saya akhirnya
memang dilaporkan bahwa minum di dalam asrama Pesantren. Ya sudah tentu
akibatnya saya harus di keluarkan dari Pondok Pesantren. Demikian kebijakan
Pimpinan Pondok Pesantren memutuskan. Kami masih beruntung karena aturan
sebagaimana dalam agama Islam harusnya kami didera agar jera. Tapi aturan itu
tidak ditegkkan karena Indonesia
bukan Negara Islam. Karena itu kami tidak didera sebagaimana syari’ah Islam.
Bersama saya ada satu teman Papua
lagi yang ikut-ikutan dikeluarkan. Kami dikeluarkan pada saat mau kenaikan
kelas, saat itu kami baru duduk kelas dua Aliyah (SMA). Pimpinan Pondok tetap
memutuskan saya dan teman satu lagi dari Papua harus dikelurkan agar yang lain
mau coba-coba menjadi pelajaran. Demikian kira-kira Pimpinan Pondok
berkesimpulan dari hasil renungannya atas pelanggaran hukuman bagi kami yang
berani melanggarnya apalagi ini kasus minuman keras yang paling diharamkan
dalam agama Islam itu saya layak dikelurkan karena saya memang melanggarnya. .
Jadi kami dikeluarkan hanya dua
orang sementara beberapa teman Papua yang lain, mereka yang datang belakangan
disini, di Pondok ini, dari Walesi tetap dipertahankan. Karena memang yang
bandel hanya saya bukan termasuk teman saya seperti dugaaan Pimpinan, tapi
hanya saja dia hari itu tidak masuk sekolah diniyah pada sore hari. Saya tidak
bisa membela diri apapun alasannya, apalagi teman saya yang tidak tahu banyak
bicara, yang walaupun sebenarnya dia tidak ikutan meminum minuman memabukkan
pada hari itu. Tapi hanya saya, anak Papua, selain beberapa teman lain dari Sumatra . Akhirnya tetap diputuskan kami dikeluarkan dari
Pesantren tanpa pernah mau mengerti kemana kami pergi dari sini, Pondok ini.
Disini kami tidak ada saudara. Ada Pak Mulya tapi kami melanggar aturan yang
diketahuinya sangat tidak boleh dilanggar dalam Agama Islam yang selama ini di
ceramahinya setiap hari kepada para semua jama’ah umat Islam.
3). Hidup di Terminal Ciputat
Akhirnya kami datang ke terminal
Ciputat, tempat dimana pertama kami belajar dunia luar. Kami beberapa lama hidup
dan tidur diterminal. Belajar sekaligus menjadi preman. Kala itu memang di jakarta orang-orang Papua
sering dikerahkan pihak keluarga penguasa dalam urusan gusur-menggusur orang
Betawi. Kala itu orang Papua yang perawakannya memang seram dan menakutkan bagi
warga kecil di Ibukota menjadi laku keras penguasa Indonesia ,
menggunakan tenaganya untuk menggusur warga Jakarta untuk di paksa pindah lokasi. Sudah
menjadi biasa diketahui orang-orang disiktar terminal ini. Kami leluasa mencari
makan dengan palak para sopir angkot.
Dalam keadaan begitu saya secara
kebetulan ketemu Ester, gadis hitam manis keturanan Ambon-Belanda. Dia cerita
pada saya bahwa kakeknya masih orang Papua dari Serui. Kakeknya beristerikan
perempuan Belanda. Dia baru tinggal di Indonesia . Kakaknya di Bandung
termasuk orang kaya. Sayang dia pemakai (istilah anak jakarta , pengguna narkoba). Sebagai anggota
Alamo (Ambon lapar makan orang?) dia cukup matang dalam pergaulan bebas kota Metropolitan Jakarta .
Ketemu Ester saya menceriterakan
dari mana dan asal usul, hingga bagaimana saya ada disini, diterminal Ciputat.
Saya diajak ke kontrakannya, diberi tempat, di ruang tamu saya boleh tidur,
selebihnya saya tahu diri, ditolong dia. Tapi saya tidak mau macam-macam,
apalagi dia memperlakukan saya tidak level, dia lebih dewasa dan berpengalaman,
sedangkan saya seorang ABG (anak Baru Gede) yang masih amatir dimatanya. Hanya
satu baginya bahwa dia sayang pada saya, apalagi kakeknya masih orang Papua.
Beberapa waktu tinggal
bersamanya, saya agak tidak betah. Kami kadang ketemu hanya sore hari, pada
malam hari saya keluyuran dan pulang ditempatnya saya dalam kondisi teler. Tapi
keinginan sekolah tetap tinggi dalam diri saya. Dia menawarkan saya ke Bandung tinggal dirumah
keluarganya yang orang kaya. Tapi bagaimanapun cita-cita saya apalgi saya
adalah utusan dari Walesi, keinginan kembali ke Pesantren membuat saya pergi
meninggalkannya.
4). Pergi ke Sukabumi
Diterminal Ciputat ada bus
jurusan Sukabumi. Saya ketemu kembali dengan teman yang dikeluarkan bersama
itu. Dia punya kaka tinggal di Pasar Minggu Gang Arab Pejaten Timur bersama Pak
Saddiq Ismail. Beliau ini dulu bersama pak Mulya Tarmizi membangun dan merintis
Islam pertama di Walesi. Pada waktu pindah tugas ke jakarta dia membawa salah satu anak Walesi,
kakaknya teman saya itu. Tapi rupanya teman saya dimarahi, dan kakanya tidak
mau mengurusnya.
Dia datang menemui saya ke
terminal Ciputat. Saya usul padanya agar berdua kita pergi ke Sukabumi untuk
cari sekolah di sana .
Apalagi disana (Sukabumi) banyak terdapat Pondok Pesantren, memungkikan kita
melanjutkan pendidikan agama disana. Disamping itu disana juga sudah ada orang
Walesi pertama dikirim sekolah ke Jayapura dari 20 orang anak yang belakangan
dibawa Pak Mulya Tarmidzi ke Jakarta bersama Ilham Walelo, tapi dia kabur dan
pergi menjadi Polisi tinggal di asrama Secapa POLRI Sukabumi. Kami berangkat
kesana kepadanya.
Selama satu minggu tinggal
dirumahnya isterinya menunjukkan sikap tidak suka pada kami berdua. Kebetulan
disana sudah ada orang Papua lain, Pak Mahuse dan Aloysius Kowenip. Saya
tinggal sama Pak Aloy dan teman saya dirumah Pak Mahuse. Pak Aloysius lama di
Wamena dan isterinya orang Kurulu. Saya dianggap keluarga dari isterinya dan
saya lumayan betah tinggal dirumahnya. Saya diberi satu kamar. Disana saya
boleh melakukan apa saja, termasuk sholat lima
waktu.
5). Dicari Orang
Tidak lama kami di Sukabumi ada
yang mencari sampai keberbagai terminal. Mereka memasuki semua terminal di
seluruh sudut kota jakarta . Konon kabarnya saya dan teman yang
dukeluarkan Pondok itu menjadi preman berkeliaran di terminal sekitar Jakarta . Terminal Ciputat
didatangi tapi kami sudah berlalu dari sini. Pesan titip kepada semua petugas
terminal agar jika ada anak-anak dengan ciri-ciri seperti kami segera menghubnginya.
Ternyata orang datang mencari
kami selama berminggu-minggu diberbagai terminal itu adalah Pak Sudirman
Dampang yang kelak menjadi orang tua asuh yang sebenarnya. Dia orang Slayar
Sulawesi selatan. Pada masa mudanya beliau sudah malang
melintang bertugas di berbagai kota
di Papua. Mulai dari Jayapura, Merauke, Biak
dan Manukwari. Bahkan isterinya kelahiran Papua dari Jawa yang ayahnya seorang
Militer. Kami di Sukabumi ada teman Papua dari Pesantren datang bawa berita
bahwa kami harus segera kembali ke Jakarta .
Rupanya baru kami ketahui bahwa dari Papua oleh tuntutan orang tua kami dari
Walesi kepada Ketua Islamic Centre agar kami segera di cari dan disekolahkan
kembali.
Ketua Islamic Centre adalah orang
yang pertama datang antar kami di Jawa. Dia sudah telepon kenalan di Jakarta agar kami segera
ditemukan. Demikian amanat itu sampai ditelingga kita di Sukabumi. Tapi terus
terang saya betah tinggal sama Pak Aloy, apalagi disana ada isterinya yang
sama-sma saya kami orang Wamena suku Dani. Pak Aloy sebelumnya menawarkan saya
dan membelikan motor agar saya sekolah SMA di kota Sukabumi saja. Tapi sesungguhnya dalam
hati saya harus kembali ke Pondok Pesantren. Saya tidak menolak tawarannya tapi
saya memang beberapa lama tinggal bersamanya.
Akhirnya pada suatu hari saya
bersama teman kembali ke Ciputat. Saya datang lagi ke kosan Ester, dia tetap
menerima saya dan saya beberapa hari sering datang tidur ditempatnya. Pada
waktu lain kali saya ajak Yudas Kotauky, dia buat skandal yang membuat saya
tidak enak hati pada Nona Ambon Manise yang baik, yang padanya saya hormati dan
menganggapnya sebagai kaka. Kala itu setiap pagi dan sore saya menjadi
pengangguran (lebih tepat gelandangan) di terminal Pasar Ciputat.
6). Ketemu Yudas Kotouky dari Paniai
Begitu tiba-tiba dihadapan saya
ditengah keramaian terminal Ciputat yang panas pada hari itu ada seseorang
berkulit hitam melintas dihadapan saya. Dia laki-laki masih muda usianya, tapi
kelihatannya jarang mandi. Sepatunya kotor karena becek terminal Ciputat waktu itu.
Saya datang menghentikan langkahnya yang kelihatan berjalan buru-buru itu untuk
menyapa menegurnya hanya menanyakan darimana dan hendak mau kemana. Dia adalah
Yudas Kotouky dari Paniai.
Dia membalas sapaan saya dengan
kata nayak (salam khas laki-laki Lembah Balim Wamena), karena baginya saya
jelas terlihat anak Suku Dani Wamena. Disamping itu karena dia juga pernah
sekolah SMP sampai tamat di kota
Wamena. Jadi dia tahu dan mengenal dari suku dan kampung mana asal saya dari
Papua dikenalinya cepat. Kami berkenalan menyebut nama kampung masing-masing
memperkenalkan diri. Dari gaya
bahasanya logat campur Jawa- Paniai, membuat saya agak lucu dan geli
mendengarnya.
Rupanya dia droup out Fakultas
Hukum UNDIP (Universitas Diponegoro Semarang) Jawa Tengah. Sebelumnya katanya
dia kuliah program beasiswa di Universitas Satya Wacana Salatiga. Dia kuliah
atas beasiswa IGGI dari pemerintah Belanda. Memang beberapa mahasiswa Katolik
dari Papua dibeasiswakan belajar di Jawa Tengah kala tahun itu. Tapi alasan
lain pemerintaha Indonesia
memutuskan bantuan beasiswa yang umumnya diterima anak-anak mahasiswa Papua.
Yudas Kotouky adalah korban dari
keputusan pemerintah RI itu, dan dia datang ke Jakarta dalam rangka menjual
ekor bulu burung Cenderawasih yang indah terkenal dari papua itu, kepada
orang-orang di Jakarta siapa saja yang mau membeli agar membiayai kuliah. Saya
menganggapnya kasihan tapi dia seorang mahasiswa menganggap saya lebih kasihan,
karena ada disini hanya seorang diri tempatnya di terminal dan masih anak-anak
lagi. Saya sama seperti juga kepada yang lain menceriterakan padanya bahwa
beberapa waktu lalu dikeluakan dari Pesantren pada saat mau kenaikan kelas.
Dia seorang mahasiswa kritis,
tentu saja dia cepat merespons dengan perasaan prihatin atas peristiwa saya
dikelurkan dari Pondok. Dia merasa iba pada saya dan akhirnya daya
intelekltualitasnya muncul agar bagaimana dapat dengan cepat membantu
menyelsaikan. Dia meresa masalah saya harus dibantunya untuk kembali belajar.
Saya menceriterakan semua kronologis mengapa dan alasan saya dan teman satu
lagi dikeluarkan dari Pesantren tanpa surat
pindah begitu saja ditengah-tengah waktu mau semester kenaikan kelas. Dia mau
mendengarkan semua cerita saya dan alasan saya tidak diterimanya tapi dia
akhirnya bertekad ingin mengurus dan mendirikan yayasan.
Tapi sayang hari itu dia sedang
buru-buru. Dia pergi lebih cepat dari yang saya harapkan. Karena katanya dia
sebelumnya sudah janjian ketemu dengan seseorang yang mau membeli bulu burung
cenderawasih yang sedang dibawanya. Katanya dia akan datang ketemu lagi
diterminal, ditempat itu, pada jam 10.00 wib yang ditentukannya, agar saya
sudah harus ada disana. Sesuai ketentuan waktu saya menunggu dia datang agak
terlambat. Rupanya seperti kemarin kelihatan dia belum mandi, dia agak kotor
berkeringat.
Kembali Masuk Pondok
bersambung
Tiada ulasan:
Catat Ulasan