Sabtu, 1 Disember 2007

NASIONALISME PAPUA

Tulisan ini secara sederhana ingin membahas tentang sejauh mana batas nasionalisme orang Papua yang sering kali agak kabur, sehingga yang terjadi kasus penolakan terhadap Muhahmmad Musa'ad sebagai calon gubernur di batalkan oleh MRP dan "mengganggap" saudara Muhammad Musa'ad adalah orang non Papua adalah akibat kabur dan tidak jelasnya dimensi (batas) Nasionalisme bagi orang Papua terutama dari sudut pandang orang gunung atau Pegunungan Tengah kepada saudaranya yang di Pesisir Pantai Papua.

Definisi Nasionalisme Papua

Nasionalisme secara etimologi berasal dari bahasa latin yakni Nation yang berarti bangsa, sedangkan Isme berarti paham, maka nasionalisme secara terminologi adalah paham kebangsaan. Berarti Nasionalisme Papua mengandung pengertian suatu paham kebangsaan Papua yang dapat diidentifikasi sebagai orang Papua dan dapat dianggap orang Papua dilihat dari beberapa faktor identitas yang membedakan diri orang luar lain Papua.

Siapakah orang Papua itu? Dan dimanakah batas orang Papua dan non Papua? Untuk menentukan batas dan tolak ukur Nasionalisme Papua sebaiknya kita berangkat dari dua pertanyaan ini agar kita mengerti diri, dan untuk dapatmemahami Papua Asli dan "Amber" atau pendatang. Sehingga pengertian (persepsi) kita tidak salah dan tidak asal bemberi cap atau menjustifikasi orang sebagai Papua Asli atau non Papua. Pertanyaan dua diatas sengaja diajukan agar dalam kesimpulan tulisan ini kita bisa dapatkan satu kesimpulan (konklusi) dari mispersepsion atau misintrepretasion yang berakibat fatal apalagi oleh orang dari lembaga berwibawa bentukan NKRI seperti MRP sebelum ini.

Yang dimaksud dengan orang Papua menurut definisi subyektif penulis adalah orang-orang yang bertempat tinggal di Papua sejak dari batas Barat Pulau Sorong (Raja Ampat) sampai Morotai atau di Ujung Papua Timur (PNG), atau karena faktor lain mereka yang lahir dan tidak bertempat tinggal di Papua tetapi mereka berasal dari salah satu orang tuanya atau kedua orang tuanya berasal dari Papua.

Dan mereka yang bukan keturunan asli secara gen bukan Papua namun secara kultural dan berbagai faktor lokalitas Papua baik secara adat maupun tradisi menjadikan diri mereka identik dengan orang-orang Papua pemukim lama ( penduduk asli tanpa pembauran gen). Sedangkan orang yang dimaksud bukan orang Papua adalah orang-orang yang bukan berasal dari Papua dan etnisnya berbeda dari kebenyakan orang Papua, sekalipun bertempat tinggal di Papua.

Namun para Papua egosentris harus mampu membedakan ciri fisik tidak selamanya mutlak menyatakan identitas Nasionalisme Papua, walaupun faktor ciri fisik ini sangat mudah identifikasi oleh kita sebagi Asli dan Non Asli Papua. Disinilah ketidak "pahaman" MRP dan juga mungkin kebanyakan kita? secara salah kaprah menjustifikasi seseorang Papua Asli atau bukan Papua Asli. Karena itu kemampuan membedakan Nasionalisme Papua secara fisik sangat mudah tapi sangat penting untuk dimengerti untuk dipahami bahwa dimensi fisik dan gen tidak menjamin Nasionalisme Papua dalam konteks kekinian (kontemporer).

Lalu dimana batas nasionalisme itu untuk mengukur siapa-siapa yang dapat berhak dinyatakan sebagai Asli dan Non Asli Papua adalah sama sulitnya berdasarkan ciri fisik mengingat ukuran-ukuran secara fisik formalistik sering kali tidak dapat secara tepat menjamin kebenaran yang bersifat substansial, mengingat dimensi ilmu sosial yang sangat halus (soft sincivice) dan watak ilmu sosial yang tidak benar tepat menjamin kebenaran seperti ilmu Pasti (hard sincivice) semisal ilmu fisika atau matematika yang kebenarannya tak bisa terbantahkan.

Namun standarisasi berdasarkan formalistik fisik adalah sangat subyektif dan bias kepentingan politik yang juga berarti standarisasi subyektif belaka. Akibatnya secara etis filosofis menjadi tidak sopan karena thrush claim seperti ini jaminan kebenaran ukuran (dimensinya) yang tidak tepat, karena dapat diajukan keberatan argumentasi bahwa postulat atau asumsi orang berbeda atas satu masalah yang sama.

Karena itu atas dasar apa, dan sejauh mana kebenaran ukuran Majlis Rakyat Papua (MRP), sekali lagi atas nama kebenaran, MRP memaksakan kebenaran ukur orang lain Papua asli non asli terhadap Muhammad musa'ad? Hal ini menjadi tidak etis mengingat yang berhak menentukan siapa yang asli atau bukan asli tidak terdapat pada lembaga semisal MRP tetapi ia memiliki dimensi trasendental yang jauh dibawah kesadaran diri indivudual Orang Papua.

Penilaian sekalipun dibuat standar oleh institusi semisal MRP tetap juga subyektif dan bias politik kepentingan akhirnya jawab dua pertanyaan diatas adalah tergantung. Kecuali diskriminasi dan bisa fatal implikasi menilai manusia atas manusia lain demikian. Inilah yang penulis anggap salah total seperti yang dialami kasus muhammmad musa'ad dalam PILKADA Prop. Papua. berdasarkan ukuran relatif subyektif belaka mengingat demensi ilmu sosial yang sangat longgar.

Akulturasi dan Inkulturasi

Sebelum orang-orang Pegunungan Tengah keluar dan berinteraksi dengan orang-orang Papua dari Pesisir terutama dari Pulau Biak dan Serui, belum mengerti atau mungkin tidak mengerti kalau saudaranya yang memang orang Papua asli ini sebagai orang Papua juga, sebagaimana dirinya yang ia berasal dari orang Pegunungan Tengah itu, sehingga menganggap orang-orang dari dua Pulau yang indah dan dan kaum hawanya manis-manis ini, didalam persepsi orang gunung keabsahan Papuanya juga dari Papua asli tidak genuin Papua.

Hal ini mungkin berbeda sekali persepsi orang-orang pesisir yang sebelum ini, menganggap orang gunung sebagai bodoh, terbelakang dan tidak tahu "makan sekolah" sehingga segala apa-apa urusan papua di wakilkan dan diurus orang Pantai karena akibat orang gunung yang kurang terpelajar ini tidak tahu bahasa Indonesia Melayu, akibatnya urus-mengurus soal Papua sekalipun itu menyangkut menentukan nasib Papua merdeka atau tidak, diwakilkan atau disuarakan lebih dahulu oleh orang Papua Pesisir. Implikasi dari ini nasib orang dan tanah Papua sampai hari ini tetap dari "pangkuan kepangkuan" pinjam istilah Agus Alue Alu.

Persepsi dickotomis demikian terjadi pada masa lalu sebagai akibat logis dari kurang lancarnya sarana transportasi di gunung guna didatangi dan bersilaturrahmi oleh saudaranya yang Papua asli juga tapi berasal dari Pesisir atau Pulau. Sebaliknya Orang gunung tidak dapat keluar jauh dari lokasinya yang terisolir untuk dapat berkunjung silaturrahmi ke daerah Pantai Papua.

Di sejumlah besar daerah Pantai telah lama mendapatkan pengaruh dari luar terutama sekali interaksi mereka sejak lama dengan daerah barat seperti Maluku dan Sulawesi. Bahkan orang-orang luar akibat sarana transportasi laut yang begitu lancar menyebabkan orang-orang dari Cina dan Arab sudah lama berkunjung di daerah pesisir Papua. Sebagai akibatnya transformasi nilai-nilai baru dan lain terjadi pada orang Papua asli dari Pesisir.

Kita mungkin belum tahu kalau kemudian penemu benua Amerika awalnya adalah nyasar, yang semula bertujuan datang mengunjungi daerah Maluku dan sangat mungkin juga pesisir barat Papua (kepala burung, Fak-Fak), untuk mendapatkan buah Pala yang sangat terkenal pada awal abad ke VIII, konon mendapatkan peta bumi dari hasil penemuan para ilmuwan bumi (geografi) sebelumnya yang meraka dapatkan dari masa kejayaan Andalusia Muslim. Orang yang nyasar dan terdampar di benua Amerika yang tujuan awalnya cari buah Pala di Maluku itu adalah bernama Colombus yang telah kita kenal sekarang ini.

Sementara Orang dari Hadramaut (terutama Yaman), telah lama mengenal dan bahkan bermukim di daerah Fak-Fak dalam abad ke 16 yang juga bertujuan datang ke Papua dan daerah Maluku dalam rangka mencari buah Pala. Ketika orang Arab dari Yaman (hadral Maut ini), mendapati orang Papua telanjang mereka menamakan orang Papua dengan sebutan Uryanun, "Urian" atau "Irian", yang kita ketahui sebagai nama Pulau ini yang berasal dari bahasa Arab yang berarti orang telanjang. Dari sini kita dapat mengerti bahwa mngapa di selatan Papua terutama sampai hari ini masih bangak terdapat orang-orang dari keturunan Arab yang bermarga Alhamid, Musa'ad, Alkatiri dll.

Keturunan Arab sama halnya juga dari Cina (nenek moyang Yoris Raweyai dan Robert Cardinal), sudah ada dan datang ke Papua sebelum negara indonesia merdeka, dan mereka adalah keturunan yang kesekian yang tidak lagi ada tali persambungan dengan negeri asal nenek moyang mereka, bahkan mereka menganggap diri menjadi orang Papua ter-"asli"-kan.Bahkan mereka telah banyak yang kawin dengan penduduk asli Papua dan menjadi bercampur-baur secara genitas, tetapi secara cultural mereka adalah Papua asli. Hal ini di sebabkan lancarnya transportasi laut sehingga di daerah pesisir mudah terjangkau dari mana saja dan suku bangsa apa saja.

Dari dan pergi kaluar datang ke Papua didaerah Pesisir akibat mudahnya transportasi laut ini menyebabkan terjadinya kawin-mawin antara penduduk lokal dengan pendatang dari luar telah lama terjadi sekian generasi. Maka didapati pada ciri fisik dalam diri orang pesisir ada yang berambut lurus tapi berkulit coklat atau sawo matang seperti umumnya orang Asia dan Melayu. Ciri fisik ini kita dapati di daerah Fak-Fak dan Kepulauan di Kepala Burung Papua.

Namun kita juga temukan di daerah Pesisir umumnya dan lebih dominan di Pulau Serui dan Biak ada juga secara fisik bersih tetapi berambut keriting. Demikian ini yang dimaksud dengan akulturasi dan inkulturasi budaya, yang berlangsung terus menerus sekian tahun sehingga melahirkan suatu budaya baru yang lain, sebagai akibat perpaduan gen lokal dan pendatang atau dari perpaduan anti thesa dari thesa menjadi sinthesa baru memimjam teori filsafat Weber.

Kalau demikian apakah mereka yang telah menerima transformasi akibat akulrurasi dan inkulturasi ini sebagai tidak genuin? benar namun dalam perspektif Nasionalisme Papua adalah dalam tahap formatur, sehingga idealnya dan ini akibat wajar, secara natur akan terbentuk sebuah identitas yang namnya nasionalisme itu. Contoh baik dan lain dari akulturasi dan inkulturasi ini adalah di negara Amerika Latin atau Amerika Serikat. Dimana semua Orang Amerika adalah Pendatang dari Eropa dan Africa yang penduduk Aslinya adalah Suku Inca, Indian yang berkulit Merah.

Hal demikian juga yang di negara Brazil atau umumnya negara Amerika Tengah, yang telah lama terjadi pembauran dengan pendatang yang awalnya sebagai budak yang didatangkan dari Africa terjadi proses adaptasi lama akibat akulturasi dan inkulturasi budaya Afrika dan Amerika Latin menjadi nasionalisme budaya baru di negara-negara tersebut sebagai contoh terbaik buat kita Papua.