Format atau bentuk pendekatan Pembebasan Tanah Papua Barat, masih menjadi perdebatan para konseptor, diantara dua pendekatan, jalan mana yang lebih tepat dipilih, apakah jalan "perjuangan damai" ataukah jalan "kekerasan". Perdebatan masih berlangsung sampai tulisan ini dibuat, dan antara para elit intelektual Papua belum ada kesepakatan bersama, jalan mana idealnya harus ditempuh untuk membebasakan Tanah Papua Barat yang telah merdeka pada tanggal 1 Desember 1961 itu.
Dari beberapa sumbangan pemikirannya, agaknya Peter Efraim dan Hendrik Ayamiseba menyampaikan pandangannya cukup "netral", dalam artian tidak terjebak dalam melihat soal "Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' dengan tidak memutlakkan salah satu dari dua pilihan pendekatan sebagai satu-satunya solusi pendekatan yang harus ditempuh. Dengan demikian kedua pejuang pemikir Papua ini, seakan memposisikan diri dalam posisi nyaman, tanpa mengambil resiko berpolemik dengan sesama penggiat 'Pembebasan Tanah Papua Merdeka'.
Namun Saudara saya (lebih tepat Tuan) Yosep Rumasep, secara agak "emosional", tapi dengan tegas menolak, jalan "kekerasan". Dengan mengingatkan kita bersama bahwa jalan itu adalah sama saja dengan menjerumuskan rakyat kita, Papua Barat, mati tanpa kita hadir di front depan memimpin mereka dengan sikap berani, tapi hanya berdiri dibelakang layar internet/komputer berteriak dan hanya menganjurkan rakyat Papua untuk mennempuh jalan kekerasan tanpa kita sendiri sebagai penggagas terlibat langsung. Karena itu tidak baik disini kita menganjurkan orang untuk menggunakan kekerasan, dalam 'Pembebasan Tanah Papua'.
Berbeda dengan ketiga pejuang Papua diatas, Tuan David Haluk dan Oktavianus Takiamai secara samar tidak setuju pendekatan "kekerasan" tapi mentoleransi 'Pendekatan pembebasan Tanah Papua' sementara yang ditempuh oleh TPN/OPM saat ini dan akan datang ini sebagai amanat kongres TPN/OPM dirimba raya beberapa waktu lalu. Karena itu kita mengerti dua laki-laki dari "pasukan koteka" Pegunungan Tengah ini, disatu sisi tidak setuju tapi disisi lain orang tua mereka sudah memulai dengan pendekatan cara mereka sendiri. Cara pendekatan yang mereka tempuh itu difahami kaum intelek sebagai pendekatan "violence" yang penuh resiko dengan korban rakyat banyak berjatuhan nanti.
Dari kedua kelompok komentator yang disebut kelompok pertama dan yang paling terakhir dapat disimpulkan memiliki perspektif yang sama, walaupun menggunakan redaksi berbeda, namun membahasakan dengan tingkat penghayatan dan keterlibatan emosi berbeda, namun tujuan mereka sama, 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' tidak dengan cara kekerasan. Tetapi juga tidak secara tegas, mereka, menolak apalagi menyalahkan pendekatan yang dicoba dimulai di Mulia oleh TPN/OPM. Para komentator umumnya dalam komentar mereka, hanya basa-basi tapi tidak secara tegas kalau setuju alasan ini, dan kalau menolak alasannya ini, adalah suatu sikap keragu-raguan yang sesungguhnya tidak memberi manfaat, apalagi, dapat dikatakan menguntungkan bagi Papua Barat kedepan.
Mengomentari dengan bahasa dan cara "penuh kebijakan" sepintas lalu menetramkan, tapi akibatnya membuat kita ragu-ragu, dan ini resikonya cara berkomentar seperti ini. Karena memiliki implikasi kurang baik buat masyarakat awam karena kurang memilki ketegasan, 'Ya, apa,'Tidak. Apalagi buat masyarakat kita biasanya, bikin, ka.. ato, Tidak! Itu masalahnya, jadi, kalo ko mo' Merdeka, Bikin.. bikin to.. Barang apa jadi!
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat umun biasanya menunggu komando. Kalau begitu kesimpulannya kedua kelompok pertama dan terakhir ragu-ragu, bahkan tidak memberikan alternatif lain jikalau mereka tidak menyetujui pendekatan TPN/OPM sebagai mana di Mulia sebagai pendekatan "Perjuangan Babak Baru" Pembebasan Tanah Papua. Disini semakin menambah ketidak jelasan bagi kita, jalan mana yang sebaiknya harus ditempuh menuju 'Pembebasan Tanah Papua itu, memang semakin runyam urasannya.
Tapi ada yang lebih menarik dari mereka adalah bahwa; keduanya sepakat dan menganggapnya bahwa 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' sebagaimana ditempuh TPN/OPM dapat dimaklumi dan menganggap cara ini adalah sebagai jalan lain menjawab sementara jalan kebuntuan PDP/DAP, sehingga TPN/OPM sebagai sayap militer dianggap wajar melakukan pendekatan' Pembebasan Tanah Papua' dengan pendekatan yang telah dimulai di Mulia sebagai pendekatan wajar. Sekalipun semuanya sepakat dengan mengatakan bahwa, menolak pendekatan Pembebasan Tanah Papua dengan Kekerasan.
Tapi hal ini sangat menarik dan apresiasi saya buat saudaraku, Tuan Yosep Rumasep, walaupun tidak secara langsung, tapi dalam nada lain, tegas menolak, pendekatan perjuangan Pembebasan Papua dengan kekerasan. Demikian dengan tegas Tuan Yosep Rumasep, sebagaimana juga sejak lebih dini ditolak Freedom dalam merespon tulisan atau komentar biasa saya (Ismail Asso), dalam apa yang saya sebut sebagai "TPN/OPM : PERJUANGAN BABAK BARU".
Hanya sayang, Tuan Freedom, dan Yosep Rumasep tidak memberikan solusi altertif lain dari dua pendekatan yang senantiasa menjadi polemik pejuang pemikir Papua itu. Maka rasa apresiasi kita terasa kurang lengkap jika memang komentar tanpa memberikan solusi alternatif, sebagaimana Oktovianus Takimai dan Hendrik Ayamiseba (jikapun mereka ini lebih Ok lagi kalau mampu lobby Amerika), karena itu simpati saya pada Komentar Tuan Peter Efraim yang nertal walaupun tanpa solusi pemikiran juga.
Demikian dalam pekan ini, "suatu perdebatan hangat", untuk mencari 'Format Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' oleh para intelektual Papua. Menarik sekali untuk diikuti dan saya pribadi sangat interesting dan menganggapnya sebagai salah satu wacana (dialektika) penting, guna mencari format ideal pendekatan Pembebasan Tanah Papua oleh "anak-anak Papua" sendiri dalam mencari titik persamaan untuk menentukan arah dan kebijakan perjuangan dari kenyataan dead loc PDP/DAP, sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan dalam agenda, Pelurusan sejarah Papua, (amanat, Kongres ke II, 2001), yang merdeka dan berdaulat penuh pada tanggal 1 Desember 1961.
Stagnasi keadaan demikian menjadi alasan wajar bahwa TPN/OPM sebagai sayap militer dan sebagai oraganisasi perlawanan utama menarik kembali mandatnya dari PDP/DAP yang dianggap gagal memperjuangkan dan membawa Papua untuk berdaulat penuh. Bahkan Rakyat Papua melalui TPN/OPM menganggap selain Thoha Al-Hamid dan kawan-kawannya yang masih eksis di PDP/DAP, telah mengkhianati aspirasi dan Amanat Rakyat Papua. stagnasi dan keadaan dead loc demikian menjadi alasan masuk akal bagi kita, kenapa, TPN/OPM yang dalam kongresnya mengeluarkan sebuah resolusi yang isi diantaranya itu mencabut kembali mandat yang pernah diberikan kepada PDP/DAP, dalam kongres ke II Papua tahun 2001. (Bersambung)
Akhir Kalam
Perdebatan masih lanjut....! Tapi paling penting adalah pemikiran secara holistik, agar bagaimana, yang berarti cara yang harus dilakukan, untuk menempuh, diantara jalan mana, dari kebuntuan dan polemik dari dua jalan, adalah yang terpenting disini menurut saya, tanpa mengedepankan egoisme primordialistik dan menyerang sesama saudara Papua yang itu dapat meruntuhkan dan semakin membuat jarak antara sesama Papua untuk mengambil jalan mana sebaiknya untuk disepakati bersama dalam usaha perjuangan' Pembebasan Tanah Air Papua Barat.
Dari beberapa sumbangan pemikirannya, agaknya Peter Efraim dan Hendrik Ayamiseba menyampaikan pandangannya cukup "netral", dalam artian tidak terjebak dalam melihat soal "Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' dengan tidak memutlakkan salah satu dari dua pilihan pendekatan sebagai satu-satunya solusi pendekatan yang harus ditempuh. Dengan demikian kedua pejuang pemikir Papua ini, seakan memposisikan diri dalam posisi nyaman, tanpa mengambil resiko berpolemik dengan sesama penggiat 'Pembebasan Tanah Papua Merdeka'.
Namun Saudara saya (lebih tepat Tuan) Yosep Rumasep, secara agak "emosional", tapi dengan tegas menolak, jalan "kekerasan". Dengan mengingatkan kita bersama bahwa jalan itu adalah sama saja dengan menjerumuskan rakyat kita, Papua Barat, mati tanpa kita hadir di front depan memimpin mereka dengan sikap berani, tapi hanya berdiri dibelakang layar internet/komputer berteriak dan hanya menganjurkan rakyat Papua untuk mennempuh jalan kekerasan tanpa kita sendiri sebagai penggagas terlibat langsung. Karena itu tidak baik disini kita menganjurkan orang untuk menggunakan kekerasan, dalam 'Pembebasan Tanah Papua'.
Berbeda dengan ketiga pejuang Papua diatas, Tuan David Haluk dan Oktavianus Takiamai secara samar tidak setuju pendekatan "kekerasan" tapi mentoleransi 'Pendekatan pembebasan Tanah Papua' sementara yang ditempuh oleh TPN/OPM saat ini dan akan datang ini sebagai amanat kongres TPN/OPM dirimba raya beberapa waktu lalu. Karena itu kita mengerti dua laki-laki dari "pasukan koteka" Pegunungan Tengah ini, disatu sisi tidak setuju tapi disisi lain orang tua mereka sudah memulai dengan pendekatan cara mereka sendiri. Cara pendekatan yang mereka tempuh itu difahami kaum intelek sebagai pendekatan "violence" yang penuh resiko dengan korban rakyat banyak berjatuhan nanti.
Dari kedua kelompok komentator yang disebut kelompok pertama dan yang paling terakhir dapat disimpulkan memiliki perspektif yang sama, walaupun menggunakan redaksi berbeda, namun membahasakan dengan tingkat penghayatan dan keterlibatan emosi berbeda, namun tujuan mereka sama, 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' tidak dengan cara kekerasan. Tetapi juga tidak secara tegas, mereka, menolak apalagi menyalahkan pendekatan yang dicoba dimulai di Mulia oleh TPN/OPM. Para komentator umumnya dalam komentar mereka, hanya basa-basi tapi tidak secara tegas kalau setuju alasan ini, dan kalau menolak alasannya ini, adalah suatu sikap keragu-raguan yang sesungguhnya tidak memberi manfaat, apalagi, dapat dikatakan menguntungkan bagi Papua Barat kedepan.
Mengomentari dengan bahasa dan cara "penuh kebijakan" sepintas lalu menetramkan, tapi akibatnya membuat kita ragu-ragu, dan ini resikonya cara berkomentar seperti ini. Karena memiliki implikasi kurang baik buat masyarakat awam karena kurang memilki ketegasan, 'Ya, apa,'Tidak. Apalagi buat masyarakat kita biasanya, bikin, ka.. ato, Tidak! Itu masalahnya, jadi, kalo ko mo' Merdeka, Bikin.. bikin to.. Barang apa jadi!
Ini mengindikasikan bahwa masyarakat umun biasanya menunggu komando. Kalau begitu kesimpulannya kedua kelompok pertama dan terakhir ragu-ragu, bahkan tidak memberikan alternatif lain jikalau mereka tidak menyetujui pendekatan TPN/OPM sebagai mana di Mulia sebagai pendekatan "Perjuangan Babak Baru" Pembebasan Tanah Papua. Disini semakin menambah ketidak jelasan bagi kita, jalan mana yang sebaiknya harus ditempuh menuju 'Pembebasan Tanah Papua itu, memang semakin runyam urasannya.
Tapi ada yang lebih menarik dari mereka adalah bahwa; keduanya sepakat dan menganggapnya bahwa 'Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' sebagaimana ditempuh TPN/OPM dapat dimaklumi dan menganggap cara ini adalah sebagai jalan lain menjawab sementara jalan kebuntuan PDP/DAP, sehingga TPN/OPM sebagai sayap militer dianggap wajar melakukan pendekatan' Pembebasan Tanah Papua' dengan pendekatan yang telah dimulai di Mulia sebagai pendekatan wajar. Sekalipun semuanya sepakat dengan mengatakan bahwa, menolak pendekatan Pembebasan Tanah Papua dengan Kekerasan.
Tapi hal ini sangat menarik dan apresiasi saya buat saudaraku, Tuan Yosep Rumasep, walaupun tidak secara langsung, tapi dalam nada lain, tegas menolak, pendekatan perjuangan Pembebasan Papua dengan kekerasan. Demikian dengan tegas Tuan Yosep Rumasep, sebagaimana juga sejak lebih dini ditolak Freedom dalam merespon tulisan atau komentar biasa saya (Ismail Asso), dalam apa yang saya sebut sebagai "TPN/OPM : PERJUANGAN BABAK BARU".
Hanya sayang, Tuan Freedom, dan Yosep Rumasep tidak memberikan solusi altertif lain dari dua pendekatan yang senantiasa menjadi polemik pejuang pemikir Papua itu. Maka rasa apresiasi kita terasa kurang lengkap jika memang komentar tanpa memberikan solusi alternatif, sebagaimana Oktovianus Takimai dan Hendrik Ayamiseba (jikapun mereka ini lebih Ok lagi kalau mampu lobby Amerika), karena itu simpati saya pada Komentar Tuan Peter Efraim yang nertal walaupun tanpa solusi pemikiran juga.
Demikian dalam pekan ini, "suatu perdebatan hangat", untuk mencari 'Format Pendekatan Pembebasan Tanah Papua' oleh para intelektual Papua. Menarik sekali untuk diikuti dan saya pribadi sangat interesting dan menganggapnya sebagai salah satu wacana (dialektika) penting, guna mencari format ideal pendekatan Pembebasan Tanah Papua oleh "anak-anak Papua" sendiri dalam mencari titik persamaan untuk menentukan arah dan kebijakan perjuangan dari kenyataan dead loc PDP/DAP, sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan dalam agenda, Pelurusan sejarah Papua, (amanat, Kongres ke II, 2001), yang merdeka dan berdaulat penuh pada tanggal 1 Desember 1961.
Stagnasi keadaan demikian menjadi alasan wajar bahwa TPN/OPM sebagai sayap militer dan sebagai oraganisasi perlawanan utama menarik kembali mandatnya dari PDP/DAP yang dianggap gagal memperjuangkan dan membawa Papua untuk berdaulat penuh. Bahkan Rakyat Papua melalui TPN/OPM menganggap selain Thoha Al-Hamid dan kawan-kawannya yang masih eksis di PDP/DAP, telah mengkhianati aspirasi dan Amanat Rakyat Papua. stagnasi dan keadaan dead loc demikian menjadi alasan masuk akal bagi kita, kenapa, TPN/OPM yang dalam kongresnya mengeluarkan sebuah resolusi yang isi diantaranya itu mencabut kembali mandat yang pernah diberikan kepada PDP/DAP, dalam kongres ke II Papua tahun 2001. (Bersambung)
Akhir Kalam
Perdebatan masih lanjut....! Tapi paling penting adalah pemikiran secara holistik, agar bagaimana, yang berarti cara yang harus dilakukan, untuk menempuh, diantara jalan mana, dari kebuntuan dan polemik dari dua jalan, adalah yang terpenting disini menurut saya, tanpa mengedepankan egoisme primordialistik dan menyerang sesama saudara Papua yang itu dapat meruntuhkan dan semakin membuat jarak antara sesama Papua untuk mengambil jalan mana sebaiknya untuk disepakati bersama dalam usaha perjuangan' Pembebasan Tanah Air Papua Barat.